RUU Omnibus Cipta Kerja dinilai bakal melanggengkan ketidakpastian hukum terhadap masyarakat adat. Rancangan regulasi ini pun diperkirakan memperkeruh tumpang tindih hak atas wilayah adat.

Oleh May Rahmadi

Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja lagi-lagi menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil. Kali ini datang dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati masyarakat adat. Pemerintah, sebelumnya, telah menyodorkan rancangan kebijakan beserta naskah akademisnya ke DPR RI pada pertengahan Februari 2020.

Rancangan regulasi yang berisi 1.224 pasal itu dianggap kalangan pemerhati ini sebagai melanggengkan ketidakpastian hukum dan lemahnya pengakuan terhadap masyarakat adat serta berpotensi memperkeruh tumpang tindih hak atas wilayah adat di Indonesia.

Rancangan omnibus law juga dinilai mengabaikan perlindungan hak masyarakat hukum adat dan lingkungan hidup. Dalam Kertas Kebijakan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) yang diterima Ekuatorial, RUU Cipta Kerja dikatakan berorientasi pada kemudahan dan percepatan investasi yang dianggap mampu menciptakan lapangan kerja.

Namun usaha memuluskan investasi ini dilakukan dengan mengabaikan perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat hukum adat.

Penelitian Perkumpulan HuMa menemukan penggunaan peristilahan yang tak seragam mengenai pengaturan masyarakat adat dan hak atas wilayah adat dalam rancangan Omnibus Law Cipta Kerja. Ketidaksinkronan ini dikhawatirkan bakal mengakibatkan kian rumitnya proses pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.

“Perbedaan frasa-frasa tersebut terjadi karena di berbagai undang-undang sektoral yang diubah oleh RUU ini memang menyebutkan istilah yang berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Dan ternyata persoalan itu dilanggengkan oleh RUU ini,” tukas Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia Dahniar Andriani dalam diskusi peluncuran “Kertas Kebijakan Pengaturan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dalam Omnibus Law Cipta Kerja” di Jakarta, awal Maret, yang dilakukan bersama dengan para peneliti hukum adat dari universitas (di antaranya UGM dan Universitas Andalas), dan wartawan.

Contohnya, terkait konteks subyek hukum, dalam rancangan aturan itu ditemukan istilah istilah seperti masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Sementara untuk pengaturan wilayah adat, ditemukan frasa hak ulayat, hak tradisional, wilayah adat, desa adat, kawasan adat desa, dan wilayah kelola masyarakat hukum adat.

Jika dijabarkan lebih lanjut, RUU ini memuat penggunaan 23 istilah Masyarakat Hukum Adat, lima Masyarakat Adat, lima Masyarakat Lokal, enam Masyarakat Tradisional, 10 Kearifan Lokal, tiga Hak Ulayat, dua Hak Tradisional, dua Wilayah Adat, dua Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat, satu Desa Adat, empat Tanah Hak Ulayat, dua Tanah Ulayat, satu Lahan Hak Ulayat, satu Tanah Milik Adat, satu Hak Milik Adat, satu Kawasan Adat dan, tiga istilah Bangunan Gedung Adat.

Dari apa yang nampak tersebut, masyarakat sipil curiga akan adanya upaya melestarikan ketidakjelasan prosedur. Belum lagi soal syarat substantif berupa pembatasan definisi masyarakat adat yang dipertahankan dalam rancangan Omnibus Law Cipta Kerja ini. Pasal 38 ayat 2, misalnya, mensyaratkan masyarakat hukum adat harus memiliki kelembagaan.

“Persoalan utamanya adalah pengakuan dengan syarat prosedural dan substantif tersebut mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-hak tradisionalnya. Padahal UUD 1945 mencita-citakan agar masyarakat hukum adat dapat menikmati hak-hak tradisionalnya,” terang Pakar Hukum Adat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rikardo Simarmata.

Problem juga ditemukan dalam pengaturan wilayah adat, misalnya, dalam pendefinisiaan hak ulayat yang hanya diartikan sebagai kewenangan untuk memanfaatkan. Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adat menurut HuMa, juga termasuk kewenangan untuk mengatur dan menguasai.

“Dapat disimpulkan beberapa hal, pertama RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang pemerintah untuk menyelesaikan tumpang tindih pengaturan ternyata sama sekali tidak menyelesaikan sektoralisme pengaturan masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat,” ungkap Pakar Hukum Adat dari Universitas Andalas, Kurnia Warman.

Selain itu, Kurnia melanjutkan, ketidakjelasan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan kelompok ini rentan menjadi korban perempasan tanah demi kepentingan investasi. Hal lain, lanjutnya, alih-alih mendorong penyelesaian konflik agraria, rancangan Omnibus Law Cipta Kerja justru mengekalkan penguasaan tanah serta pengelolaan sumber daya alam yang tak berpihak ke masyarakat hukum adat.

Petaka bagi masyarakat adat

Beberapa kalangan menganggap Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja ini telah gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan pelestarian lingkungan. Jika jadi diundangkan, rancangan Omnibus Law Cipta Kerja justru akan menempatkan masyarakat adat pada kondisi yang lebih buruk.

Menurut Manajer Advokasi di Rimbawan Muda Indonesia, Wahyubinatara Fernandez, rancangan regulasi ini mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai subyek yang paling rentan terdampak investasi. Misalnya, pengadaan lahan untuk kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan mengancam masyarakat adat dalam RUU Cipta Kerja.

“Pengadaan lahan ini akan diamanatkan melalui Bank Tanah yang masuk menjadi bagian RUU tanpa berdasar pada kajian khusus dalam naskah akademiknya,” kata Wahyubinatara melalui keterangan tertulis.

Dia menjelaskan, salah satu wewenang Bank Tanah yang diatur pada Pasal 171 adalah mengakuisisi aset berupa hak izin atau konsesi kawasan yang ditelantarkan lebih dari dua tahun. Selain itu, Bank Tanah juga bisa menerbitkan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai selama 90 tahun.

Wahyubinatara pun menunjuk kepada potensi meningkatnya konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat. Sebab, rancangan Omnibus Law Cipta Kerja tak menempatkan masyarakat adat sebagai subyek.

Riset Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2018 menunjukkan masyarakat adat turut memberikan kontribusi nyata pada perekonomian daerah. Nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat misalnya, menghasilkan Rp159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp170,77 miliar pertahun.

“Dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya,” tutur Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, Muhammad Arman.

Beberapa contoh di antaranya Koperasi Simpan Pinjam atau Credit Union masyarakat Dayak di Kalimantan Barat yang meluas ke Papua, Nusa Tenggara Timur dan Jawa. Kendati begitu perlindungan bagi masyarakat adat sendiri dianggap masih setengah hati.
“Masyarakat masih memandang Masyarakat Adat secara sepotong-sepotong, mengakui tari-tariannya tetapi merendahkan kepercayaan dan pengetahuannya,” aktivis dari Forum Masyarakat Adat Pesisir, Bona Beding, mencontohkan.

Menurut AMAN, pemerintah terlalu sering mengabaikan eksistensi masyarakat adat sekalipun konstitusi jelas mengakui dan melindungi sebagaimana diatur Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Temasuk ditunjukkan dengan pelbagai aturan dalam RUU Cipta Kerja.

AMAN berpandangan, selain memperkuat pengakuan bersyarat masyarakat adat yang panjang dan berbelit-belit, rancangan regulasi juga kian menghilangkan pekerjaan tradisional masyarakat adat seperti berladang, mengumpulkan madu atau juga melaut.

“RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) tidak menyiapkan kerangka pengaman untuk mencegah dan menyelesaikan konflik di wilayah adat. Hal ini akan menyebabkan pejuang-pejuang pembela hak masyarakat adat semakin terancam mengalami kriminalisasi,” jelas Sekretaris Jendral AMAN Rukka Sombolinggi di laman resmi AMAN.

Catatan AMAN menunjukkan terdapat 125 anggota masyarakat adat di 10 wilayah yang menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Kesepuluh Wilayah tersebut adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Tindak pidana yang kerap dialamatkan ke masyarakat adat di antaranya adalah memasuki tanah PT Perkebunan Nusantara tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dan menguasai tanah tanpa izin.

Bahkan menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), dalam beberapa kasus spesifik, masyarakat adat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, mengancam, atau dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

“RUU Cilaka disusun secara tertutup. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan organisasi masyarakat sipil lainnya terutama yang bekerja pada isu-isu agraria dan lingkungan hidup, tak pernah dilibatkan,” kata Rukka.

“Saat ini yang dibutuhkan dan sifatnya mendesak bagi Masyarakat Adat adalah Undang-Undang Masyarakat Adat yang akan mengharmonisasi tumpang tindih berbagai perundangan dan peraturan terkait masyarakat adat,” pungkas Rukka. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.