Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan terus terjadi. Hal tersebut ditenggarai karena belum adanya peraturan yang melindungi partisipasi warga dalam mengelola lingkungan. Peraturan tentang Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation atau Anti-SLAPP, masih sekadar wacana.

Oleh May Rahmadi

Hermanus Bin Bison, mengembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Murjanis Sampit, Minggu (26/4) dini hari. Petani di Kalimantan Tengah itu meninggal menahan sakit yang dideritanya, sementara berada dalam tahanan di Polres Kotawaringin Timur. Berdasarkan keterangan temannya, 2 petani adat lainnya yang ditahan bersama nya, Hermanus sudah lama kesulitan menggerakkan badannya.

Hermanus, petani adat asal Desa Penyang Kecamatan Telawang Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ditahan dengan tuduhan mencuri buah sawit padahal lahan dimana sawit itu berada masih dalam sengketa.

Hermanus ditangkap bersama petani lainnya, Didik Bin Asap dan James Watt yang juga aktivis lingkungan, di bulan Februari 2020. Ketiganya sedang menjalani proses hukum dan ditahan.

Sejak persidangan pertama di Pengadilan Negeri Sampit, Hermanus sudah harus menggunakan kursi roda. Penasihat hukum sempat mengajukan permohonan penangguhan penahanan dan rawat inap di rumah sakit. Tetapi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit menolaknya.

Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan meminta pertanggungjawaban seluruh pihak yang diduga lalai dan abai dalam penanganan kesehatan Hermanus selama menjadi tahanan. Anggota koalisi yang juga aktivis Greenpeace Arie Rompas mengatakan, koalisi menginginkan pengusutan yang terang benderang untuk mengetahui penyebab kematian Hermanus.

“Sejauh ini masih belum jelas terkait penyebab pasti tentang kematian almarhum, kami dari koalisi dan juga keluarga almarhum masih meminta pengusutan secara transparan dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang terkait,” kata Rompas kepada Ekuatorial pada Sabtu (2/5).
Rompas menilai, kepolisian dan kejaksaan perlu memberikan keterangan yang transparan dan terbuka mengenai kronologi dan juga sebab kematian Hermanus dengan disertai bukti medis.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati, salah satu faktor yang juga jadi penyebab meninggalnya Hermanus adalah kerumitan sistem birokrasi. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Walhi, kepolisian mengetahui Hermanus dalam kondisi sakit pada Sabtu (25/4). Polisi lalu menghubungi keluarga. Tetapi, Hermanus baru diantar ke rumah sakit pada pukul 21.00 WIB.

Menurut Nur Hidayati, seluruh lembaga yang berwenang mengawasi jalannya proses hukum perlu terlibat dalam investigasi meninggalnya Hermanus.

“Badan Pengawas Mahakamah Agung, Komisi Kejaksaan, Propam Polri, Kompolnas dan instansi yang berwenang untuk memeriksa hakim, jaksa dan polisi yang menghambat proses berobat yang dimohon almarhum Hermanus dan penasihat hukumnya. Termasuk Komnas HAM, harus responsif menyikapi kejadian ini,” kata Nur Hidayati.

Koalisi pun mendesak pengadilan membebaskan dua teman Hermanus yang saat ini masih ditahan. Arie Rompas khawatir, dua teman Hermanus yang juga dikriminalisasi itu mengalami nasib serupa Hermanus. “Mereka juga akan menjadi rentan kesehatannya di situasi pandemi. Dan kami meminta penghentian proses pengadilan kasus ini. Penjara adalah salah satu area yang paling rentan di masa pandemi ini, kami berharap juga ada rapid test bagi para tahanan,” kata Rompas.

Kasus Hermanus dan dua temannya bermula ketika warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih meminta PT Hamparan Masawit Bangun Persada mengembalikan bekas ladang warga seluas 1.865,8 hektare. Warga menemukan perusahaan tersebut menanam di luar batas hasil pengukuran Hak Guna Usaha (HGU).

Konflik antara warga dengan PT HMBP itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 2006. Pada Oktober 2010 dan Agustus 2011, Bupati Kotawaringin Timur bahkan sudah mengeluarkan surat peringatan ke PT Hamparan Masawit Bangun Persada, yang intinya mendesak perusahaan agar mengembalikan lahan ke masyarakat.

Komnas HAM pun pada Maret 2011 telah menyurati Direktur PT Hamparan Masawit Bangun Persada untuk menindaklanjuti surat Bupati. Surat ini merupakan respons dari pengaduan warga desa ke Komnas HAM terkait potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Namun serangkaian sengketa itu berujung pada penangkapan warga dan petani pada Februari dan Maret 2020 lalu. Sampai akhirnya, Hermanus dan dua temannya menjalani proses hukum tuduhan pencurian buah sawit.

Anti-SLAPP harus lebih dari sekadar aturan

Ini bukan pertama kali kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. WALHI mencatat, 146 pejuang lingkungan hidup telah dikriminalisasi sepanjang 2014-2019. Kasus tersebut terjadi di Jakarta sebanyak empat kasus, Jogjakarta 29 kasus, Jawa Tengah 15 kasus, dan Jawa Timur 103 kasus. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, ada 279 konflik agraria yang terjadi sepanjang 2019. Dari jumlah itu, 258 petani dan aktivis agraria mengalami kriminalisasi.

Hal tersebut terjadi karena minimnya peraturan yang melindungi pejuang lingkungan. Karena itu, Arie Rompas meminta pemerintah segera membuat aturan khusus Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP).

Konsep Anti-SLAPP merupakan aturan hukum yang melindungi hak dan akses masyarakat untuk terlibat aktif dalam perlindungan pengelolaan lingkungan hidup. Tidak hanya hak dan akses berpartisipasi, aturan ini juga memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tuntutan maupun gugatan hukum.

Takdir Rahmadi, Hakim Agung di Mahkamah Agung, dalam salah satu tulisan nya berjudul ‘Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia’ memandang, perlindungan hukum bagi masyarakat sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus para aktivis lingkungan hidup melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

“Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang,” tulisnya.

Dalam hukum positif di Indonesia, ada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan aturan yang dikategorikan Anti-SLAPP. Pasal itu menyebut, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Namun hal tersebut belum cukup. Arie Rompas menjelaskan, perlu ada aturan tersendiri yang mengatur detail mengenai hal tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sempat berencana menyusun Peraturan Menteri mengenai hal tersebut pada 2018. “Namun belum jalan hingga kini,” kata Rompas.

Rompas mengakui, memang belum ada sumber data terintegrasi mengenai kondisi para pejuang lingkungan dan agraria secara global. Sebab, data mengenai aktivis dan warga yang diproses hukum karena mempertahankan tanahnya, terserak di pelbagai lembaga.

Namun ia memastikan, kekerasan terhadap aktivis dan masyarakat adat terutama di situasi pandemi Covid-19 ini terus meningkat. “Misalnya di wilayah Amazon. Di Papua, juga masih terjadi konflik,” kata Rompas. Pada Sabtu (16/5) lalu, seorang warga Distrik Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua, bernama Betera meninggal dunia di klinik dekat perkebunan kelapa sawit milik PT Tunas Sawa Erma. Dugaannya, Betera meninggal setelah dianiaya polisi.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hairansyah mengatakan, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan masih terus terjadi di masa pandemi. Komnas HAM telah mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk fokus pada penanganan covid-19. Sebab, Komnas HAM sudah membaca kemungkinan ada pihak yang memanfaatkan situasi pandemi ini

“Di awal-awal pandemi kita mengimbau pemerintah dan kepolisian untuk tidak melakukan tindakan kontraproduktif semasa pandemi. Kita membaca, jangan sampai situasi ini dimanfaatkan karena ketidakmampuan kita menjangkau akses pengawasan itu secara maksimal, secara langsung,” katanya.

Kasus Hermanus hanyalah salah satu dari banyak kasus yang dipantau Komnas HAM. Menurut Hairansyah, apa yang terjadi terhadap Hermanus bukanlah hal yang bisa diwajarkan. Sebab, status Hermanus belum terbukti bersalah melakukan tindak pidana.

“Mereka sebagai tersangka, sebelum berkekuatan hukum tetap, mestinya dianggap sebagai orang yang tidak bersalah,” kata Hairansyah. “Sehingga perlakuannya harusnya dimungkinkan untuk pengobatan di luar rumah tahanan. Mestinya diberi keringanan”

Hairansyah mengatakan, penyebab terjadinya kriminalisasi ini adalah tidak adanya aturan yang jelas tentang perlindungan terhadap pembela HAM dan pembela lingkungan. Aturan Anti-SLAPP (Pasal 66 UU 32/2009) yang berlaku saat ini tidak cukup untuk memberikan perlindungan.

Menurutnya, harus ada aturan baru atau revisi aturan lama kembali untuk memperkuat aturan tersebut. Penjelasan mengenai definisi ‘pembela lingkungan’ dan ‘pembela HAM’ harus lebih rinci dijelaskan.

“Karena Indonesia menganut hukum positif, maka aturan tersebut harus diatur dalam UU,” katanya. “Tidak cukup melalui Peraturan Menteri karena segala yang berkaitan dengan hak harus ada di peraturan setingkat UU.”

Menurut Rompas, aturan ANTI-SLAPP perlu terbit sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan tersebut memuat hak, akses berpartisipasi, hingga perlindungan hukum bagi masyarakat yang terlibat aktif dalam perlindungan pengelolaan lingkungan hidup.

Hermansyah juga menambahkan bahwa profesionalitas penegak hukum juga masih menjadi masalah. Ia menjelaskan, aturan yang baik tidak akan efektif tanpa disertai semangat penegakan hukum yang baik. Selama ini, keberpihakan aparat penegak hukum kepada masyarakat masih kerap dipertanyakan. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.