Kelangkaan bahan pangan berpeluang terjadi di masa pandemi. Perlu penguatan sistem pangan lokal untuk mengantisipasi potensi krisis itu.
Oleh May Rahmadi
Pandemi virus corona mengisyaratkan kemungkinan timbulnya krisis pangan. Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan mengenai bahaya yang mungkin timbul sebagai dampak wabah ini. Tetapi, memang sampai saat ini belum ada yang tahu pasti kapan krisis pangan akan menghantam Indonesia.
Namun tanda-tandanya sudah mulai tampak. Rara Sekar (29), perempuan yang tinggal di Kabupaten Bogor, mengaku mulai kesulitan memenuhi kebutuhan harian sayur mayurnya.
“Observasiku belakangan ini di supermarket, sayuran segar itu sangat langka, sudah susah carinya,” cerita Rara dalam diskusi daring bertajuk Sistem dan Cadangan Komunitas Saat Pandemi pada Senin (20/4).
Musisi sekaligus pegiat urban farming ini menyambangi supermarket dua pekan sekali, untuk membeli sayur dan kebutuhan lain. “Karena aku suka makan sayur, maka aku menyiasatinya dari membeli di satu platform jual beli namanya Kecipir. Kecipir itu jadi jembatan antara pembeli dengan petani-petani langsung yang ada di daerah terdekat. Jadi dia membeli dari petani di sekitaran Bogor,” kata Rara.
Tapi dari jasa online itu pun, tak semua sayuran mudah didapat. Dan ada jenis tertentu yang menurut Rara, memang sudah mulai langka.
Kondisi tersebut tak mengherankan. Sebab, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di beberapa wilayah, termasuk di Bogor sejak tanggal 15 April yang lalu, mau tak mau memengaruhi rantai distribusi pangan dari produsen, yakni petani, ke konsumen. Kini boleh saja persediaan sayuran yang sulit didapat, kelak bisa jadi beras atau bahan pokok lain.
Kelangkaan beberapa varian sayur di pasar atau supermarket adalah salah satu dampak dari pandemi virus corona yang sejak awal Maret 2020 menjangkiti Indonesia. Masyarakat sempat berbondong membeli bahan pokok, hingga pemerintah memerlukan untuk menghimbau warga untuk tak melakukan panic buying seraya mengklaim dan meyakinkan bahwa stok pangan masih terjamin.
“Harga-harga komoditas barang kebutuhan pokok sebagian besar menunjukkan stabilitas yang baik. Stok di pasar-pasar cukup terpenuhi dan aman sehingga masyarakat bisa tenang menjalankan puasa Ramadan,” tutur Menteri Perdagangan Agus Suparmanto seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Perdagangan.
Rara mengatakan, pandemi membawa hikmahnya sendiri. “Baru ini, pas Covid masuk, jadi sangat terasa pentingnya memiliki akses pangan sendiri. Dalam artian, kami jadi sangat-sangat bersyukur karena kami menanam makanan, walaupun mungkin tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan kami, mungkin 50 persen,” kata dia.
Rara sedikit tertolong karena memiliki kebun. Bersama pasangannya, ia telah berkebun sejak 2016, menanami pekarangan rumah mereka yang tak terlalu luas dengan di antaranya, cabai, jagung, kecipir, dan sawi. Hasil kerja mereka bisa memenuhi sekitar setengah dari kebutuhan pangan rumah tangga mereka.
Selain dari panen kebunnya, Rara pun beruntung karena sekitar 80 persen warga di kompleks perumahannya juga sudah terbiasa bercocok tanam. Dia mengaku sering bertukar hasil panen dengan tetangga. Belakangan, penghuni salah satu kompleks di Kabupaten Bogor itu bahkan berinisiatif memanfaatkan sebuah lahan kosong untuk dijadikan food forest—semacam hutan pangan.
“Dan jujur, kalau aku sendiri nggak pernah bertujuan 100 persen mandiri. Karena persoalan pangan itu persoalan sosial, jadi kita akan saling bergantung dengan orang lain–yang memiliki kondisi-kondisi bisa menanam tanaman tertentu. Jadi saat aku menanam di lahan basah, aku pasti butuh hasil dari mereka yang menanam di bahan kering,” kata lulusan S2 Cultural Anthropology Victoria University of Wellington itu.
Walhasil, saat stok dan pasokan bahan pangan serba terbatas, dia tak terlalu kepayahan. Sebuah kemewahan, menurutnya, karena tak semua warga bisa merasakannya.
Tati (59), misalnya, seorang ibu rumah tangga di Tangerang Selatan, masih harus membeli kebutuhan dasar di pasar dan supermarket setiap bulan. Padahal ia sadar, sebagai lansia, ia punya resiko lebih mudah terpapar Covid-19 di tengah keramaian.
Ia pun meminta anaknya, Dian (27), untuk belanja kebutuhan pokok. “Tapi, kan, dia gak tahu mana yang bagus mana yang ngga,” kata dia. “Jadinya sering kali dapat yang jelek.”
Tak hanya sayur
Bagi Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), kekhawatirannya adalah kondisi kelangkaan tak hanya akan dialami komoditas sayur. Bukan tak mungkin, kelak mampetnya arus bahan pangan juga menjalar ke komoditas lain, seperti padi, karena kebutuhan pangan Indonesia mayoritas terpenuhi dari impor.
“Lebih dari 60 persen konsumsi pangan kita berbasis gandum. Kita juga importasi besar gula, kedelai, jagung, bawang putih, garam, bahkan beras sekalipun. Ini sangat membahayakan karena importasinya sangat besar. Supply chain berubah, distribusi mulai terganggu sehingga konsumen mulai terbatas,” kata Said.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor lebih dari 4 juta ton gula, 2,6 juta ton kedelai, dan 444 ribu ton beras pada 2019.
Menurutnya, kalau terus seperti ini, yang akan paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kota. “Walaupun ada online-online [shops] dan lain-lain itu, tapi itu seberapa kuat?” katanya.
Ketika memperingatkan dunia akan kemungkinan timbulnya krisis pangan akibat pandemi Covid-19, FAO juga menghimbau setiap negara untuk juga memikirkan upaya menjaga rantai pasokan makanan. Badan PBB ini memperkirakan gangguan pangan ini mulai terjadi antara April-Mei 2020.
Dalam laporan yang dirilis FAO pada April 2020, komoditas bahan pokok yang padat modal diprediksi tak akan banyak terpengaruh. Yang terdampak justru adalah komoditas yang padat seperti sayuran dan buah-buahan. Saat petani sakit maka alur distribusi pun akan terseok.
Organisasi ini merekomendasikan negara-negara Asia Tenggara untuk menyiapkan tindakan antisipatif. “Melaksanakan rehabilitasi pengairan, diversifikasi mata pencaharian petani, memperkuat tepian sungai guna melindungi tanaman, akuakultur atau kolam. Dan, menyusun langkah evakuasi untuk ternak, juga mulai memikirkan antisipasi risiko tinggi banjir setelah musim kering,” tulis laporan tersebut.
Pentingnya menanam
Krisis pangan memang belum terlalu terlihat di Indonesia saat ini, akan tetapi Said khawatir bahwa jika wabah berlanjut, dampak terhadap kebutuhan pangan kemungkinan baru akan terasa sekitar tiga hingga empat bulan lagi.
Sementara musim panen tahun depan—jika tak mundur—baru akan terjadi pada April-Mei 2021. Artinya, ada rentang waktu yang mengharuskan warga memiliki cadangan pangan yang cukup. Kalau sudah begitu, dampaknya bukan saja akan berimbas pada orang-orang di kota melainkan juga di desa.
“Tapi kalau Oktober sampai bulan selanjutnya, yang berbahaya menurut saya itu justru dua-duanya. Karena ada goncangan stok di level desa, dan itu akan pengaruhnya dua kali lebih besar di kota. Dua kali lebih besar dibandingkan saat ini,” kata dia.
Itu sebabnya, dia menyarankan penguatan sistem pangan lokal pada tingkat masyarakat. “Bisa unitnya komunitas atau desa. Jadi bisa yang adaptif dengan pangan lokal, dan tidak seragam. Mulai rentang produksi, distribusi sampai konsumsi. Dengan begini, daya lenting masyarakat lebih kuat,” kata Said.
Angga Dwiartama, Dosen Biomanajemen Institut Teknologi Bandung yang mendalami ilmu sosiologi pertanian, pangan, dan lingkungan, memandang sistem pangan lokal sebagai sangat diperlukan di masa pandemi seperti ini. Komunitas petani lokal dinilainya bisa sangat menolong kebutuhan pangan masyarakat.
“Kalau kita bisa mengandalkan pasar lokal dengan jarak yang dekat, pangan milik kebun sendiri atau komunal, akan sangat menyelamatkan,” kata Angga.
Di Flores, dia menjelaskan, masyarakat yang menanam kopi dan memasok kopi ke daerah lain memang terganggu karena pandemi, namun masih bisa tetap bertahan memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebab, mereka memiliki kebun-kebun kecil yang digunakan untuk menanam kacang merah, jagung, beras, yang diperuntukan bagi kebutuhanb mereka sendiri atau dipasarkan antar kampung.
“Itu membantu banget. Dari situ, kebutuhan mereka sehari-hari terpenuhi. Sistem pangan lokal cukup adaptif terhadap perubahan,” kata dia.
Angga mengatakan kebutuhan pangan masih belum terganggu dan produksi pangan negeri ini sebenarnya tidak bermasalah sejauh ini.
Namun kemarau panjang berpotensi merubah hal ini. “Kalau dulu kita punya back up atau bisa impor, mungkin sekarang tidak bisa,” kata dia. “Peran pemerintah menjadi sangat besar di sini.”
Saat orang-orang di kota mulai kebingungan dan kewalahan mencukupi pangan selama wabah melanda, orang-orang di desa ternyata merasa baik-baik saja. Setidaknya di Indramayu dan Lombok Utara.
Salah satu Kepala Desa di Indramayu, Masroni, menuturkan cadangan berasnya masih mencukupi sampai Mei bahkan Juni. Dia malah berniat menyalurkan hasil panen itu ke daerah lain. Tapi apa boleh buat, distribusi macet.
“Kebetulan kami baru memulai panen ini. Kalau hitungan pangan skala desa, luas lahan produksi itu 275 hektar. Sehingga untuk stok bahan pangan itu kami belum pernah ada yang namanya kelaparan. Kalau stok pangan di kami kan ada 1.000 ton gabah, itu ada. Kalau dirata-ratakan minimal 6 ton, ya sudah cukup,” kata Masroni.
“Di desa ini, warga, walaupun tidak punya sawah—istilahnya sebagai buruh derep—minimal 200 kilogram atau dua kuintal gabah itu punya di rumah. Jadi untuk stok pangan masih aman,” kata dia yakin.
Indramayu adalah Kabupaten produsen beras terbesar di Jawa Barat bahkan pada tingkat nasional. Data Badan Pusat Statistik terbaru (2019) memperlihatkan bahwa Indramayu menghasilkan lebih dari 1,3 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Jumlah itu terbesar di Jawa Barat, disusul Kabupaten Karawang yang menghasilkan lebih dari 1,1 juta ton GKG.
Di desa lain, di Lombok Utara juga demikian. Seorang kepala desa di Kabupaten Lombok Utara, Abu Agus Salim, mengatakan, desanya memiliki lahan tanam padi sekitar 316 hektar dengan perkiraan dapat menghasilkan 1.700 ton, jumlah yang dinilainya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
“Jadi dalam menghadapi situasi pada saat wabah ini, Insyaallah siap dengan kesediaan pangan di desa,” katanya. Agus Salim menjelaskan, kelebihan hasil panen masyarakat akan dibeli oleh Badan Usaha Milik Desa untuk mengisi lumbung pangan desa. Nantinya, lumbung pangan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama wabah.
Pandemi virus corona ini sudah semestinya menjadi momentum untuk merombak sistem pangan lokal. Pemerintah, menurut Koordinator KRKP Said Abdullah, bisa memformulasikan tata kelola sistem dan pengembangan pangan lokal.
“Tidak hanya di desa, tapi juga di kota. Kolektifitas menjadi penting. Momentum penting juga untuk bicara cadangan pangan,” kata Said.
Rara Sekar berpandangan serupa. Baginya, menanam atau berkebun bukan hanya soal mencukupi kebutuhan pangan melainkan juga mengasah dan menumbuhkan rasa kolektifitas. Karena masyarakat bisa belajar lagi untuk mengolah serta berbagi ketika memiliki hasil berlimpah.
“Aku rasa itu praktik yang sangat penting, praktik kolektif, karena itu yang sering tergerus di kota karena kita sudah terindividualisasi, terkungkung dalam kamar kosan, apartemen atau tembok dan pagar-pagar tinggi kita. Dan tidak ada waktu yang lebih urgen untuk menjadi sangat kolektif selain sekarang,” kata dia.
“Ketergantungan kami, orang kota kepada desa ini sangat mengkhawatirkan. Mungkin dalam tiga empat bulan masih bisalah kita ‘normalkan’ dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ketika krisis ini menjadi krisis multidimensional, ke ekonomi, sosial dan lain-lain maka perlu kita memikirkan untuk menjadi masyarakat yang punya ketahanan. Tidak hanya ketahanan pangan, tapi juga ketahanan sosial, ekonomi dan lainnya,” dia melanjutkan.
Di Ibu Kota DKI Jakarta, kebutuhan pangan sejauh ini masih bisa terpenuhi kendati sempat terjadi panic buying beberapa waktu lalu. Kepala Bidang Pangan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Bambang Purwanto mengatakan, stok beras untuk warga DKI Jakarta masih ada untuk tiga sampai empat bulan ke depan.
“Kita sudah hitung kebutuhan sembilan bahan pokok selama setahun. Nanti BUMD pangan yang mendapat tugas terkait pasokan pangan dan stok, juga para pelaku usaha pangan, dan mungkin juga Bulog, akan merencanakan business plan ke depannya untuk menjawab kita akan dapat dari mana,” kata Bambang.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun sudah melakukan contract farming dengan berbagai daerah produsen untuk mendapatkan beberapa kebutuhan pangan di antaranya beras, telur, cabai, bawang. Dengan demikian, Bambang memastikan kebutuhan pangan masyarakat Jakarta akan terjamin.
“Jadi sudah ada ikatan antara BUMD kita dengan petani di daerah produsen,” kata Bambang.
“Pak Presiden juga sudah menjamin bahwa pasokan pangan dijamin aman. Untuk beberapa check point pangan lancar. Tidak ada aduan. Selama ini tidak ada kendala. Semua tersedia di pasar tradisional dan pasar swalayan.”