Nelayan tradisional, salah satu profesi yang terpukul oleh pandemi Covid-19, khususnya nelayan tuna, yang hasil tangkapannya diekspor ke luar negeri. Kini mereka Hidup dengan megandalkan tabungan dan sebagian, bantuan pemerintah.

Oleh May Rahmadi

“Hari ini mereka merasa resah karena harus kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarga mereka,” kata Salman Adam, 35 tahun, perwakilan nelayan tuna di Ternate, Maluku Utara, (16/4) dalam laporan penilaian cepat (rapid assesement) para peneliti Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). “Oh covid-19 cepatlah berlalu, kami rindu harga tuna sesungguhnya.”

Biasanya, Salman, seorang nelayan tradisional penangkap tuna, mulai menangkap tuna sejak pukul empat pagi, sampai pukul tujuh malam. Tetapi pandemi Covid-19 kini mengubah kebiasaan itu.

Sejak awal Maret, Salman tak melaut lagi. Bukan karena tak ada ikan tuna, tetapi karena hasil penjualan tidak sebanding dengan biaya operasional. Akibatnya, dia akan merugi jika memaksakan pergi melaut.

“Kita tidak keluar mancing. Kalau mancing kan biayanya besar, satu juta rupiah lebih. Bayangkan kalau dapat dua atau tiga ekor, itu tidak menutup uang operasional kita. Makanya kita putuskan untuk tidak beroperasi,” kata Salman kepada Ekuatorial, Sabtu (6/6).

Semenjak Covid-19 menjadi wabah global, banyak negara menerapkan kebijakan lockdown. Akibatnya, pasar ekspor pun tutup. Para eksportir kini tak bisa lagi mengekspor ikan tuna ke Amerika Serikat misalnya.

 Harga ikan tuna pun anjlok.

“Harga tuna turun sangat drastis dari Rp45 ribu per kilo, menjadi Rp18 ribu per kilo di Ternate,” kata Salman. “Saya tidak pernah mendapatkan penghasilan sama sekali. Ikan Tuna yang dijual kan diekspor ke Amerika Serikat, sementara itu tidak bisa (sekarang).”

Dikutip dari laman KKP.go.id,  Direktur Misi USAID Indonesia Erin E. McKee pada April 2019, mengatakan, Amerika Serikat adalah pasar terbesar tuna Indonesia. Data 2016, misalnya, Indonesia mengekspor tuna ke Amerika Serikat 1,2 juta  metric ton. Sedangkan pada 2017, Amerika Serikat membeli tuna dari Indonesia dengan total US$1 miliar.

Sebelum pandemi, ketika harga ikan dan permintaan masih normal, Salman dapat memperoleh penghasilan bersih rata-rata sekitar Rp7 juta per bulan. Perhitungan ini dengan asumsi Salman melakukan 15 trip setiap bulan dan mendapat sekitar 30kg tuna setiap trip. Dia, membutuhkan 58 liter BBM dalam sekali trip.

Karena sudah tidak masuk akal lagi untuk beroperasi, Salman kini tak berpenghasilan sama sekali. Dia kini hanya mengandalkan uang tabungannya untuk hidup sehari-hari. Pemerintah juga tak membantu banyak. Dia mengaku, sejauh ini hanya mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah kota, termasuk beras dan mie instan. Itu pun sudah habis.

Salman menyampaikan, masih banyak pula nelayan-nelayan yang tidak mendapat bantuan sama sekali. Masalahnya ada pada data kependudukan. Banyak teman Salman tidak tercatat sebagai penerima bantuan dari pemerintah setempat. Diduga, itu karena data pemerintah setempat mengenai nelayan tidak diperbarui.

“Nelayan ternate belum tersentuh bantuan sama sekali,” kata dia. “Tolong Kementerian Kelautan dan Perikanan perhatikan di daerah-daerah sebab kondisi sekarang sangat tidak baik bagi kita.”

Data kondisi nelayan tradisional selama pandemi

Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), yang berfokus pada kegiatan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dan konservasi sumber daya perikanan dan ekosistem di Indonesia, melakukan penilaian cepat pada 20 Maret sampai 5 Mei 2020 untuk mengetahui dampak pandemi Covid-19 terhadap nelayan tuna seperti Salman Adam di enam provinsi.

Ke-enam provinsi itu adalah Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.

Menurut riset MDPI, sebanyak 117.395 nelayan ada di Maluku, 20.286 di Maluku Utara, 75.850 di NTT, 64.953 di NTB, 154.701 di Sulsel, 69.476 di Sulteng, dan 129.231 di Sulut.

Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018, 2,2 juta lebih orang di seluruh provinsi di Indonesia berprofesi sebagai nelayan pada tahun 2016.

Pengumpulan data dalam penilaian MDPI dilakukan dengan cara membuat kuestioner maupun wawancara terhadap total 187 nelayan tradisional yang beroperasi sehari penuh saja (One Day Fishing).

 Direktur Eksekutif MDPI Yasmine Simbolon menjelaskan, mereka menggunakan kapal berukuran 1 GT (Gross Tonnage).

Berdasarkan risetnya, jumlah trip operasi penangkapan ikan/bulan mengalami penurunan semenjak pandemi Covid-19 mulai merebak, yaitu pada awal Maret.

 Penurunan di Maluku Utara dari 5,71 trip, menjadi 3,43 trip. Sulawesi Utara dari 2,30 trip menjadi 1,73 trip. Maluku dari 7,66 trip menjadi 6,17 trip. Sedangkan Sulawesi Tengah dari 2,82 trip menjadi 2,78 trip.

Jumah trip penangkapan yang dilakukan nelayan per bulan di empat propinsi. Nelayan di propinsi Maluku Utara memhgalami penunurunan paling signifikan, sebanyak 40%. Sumber: Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI)

 

“Pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan rata-rata jumlah trip operasi penangkapan ikan/bulan bagi nelayan yang beroperasi harian di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, namun tidak demikian di Toli-Toli (Sulawesi Tengah),” kata Yasmine.

 Tetapi, pandemi Covid-19 tidak membawa pengaruh pada jenis hasil tangkapan.

Yasmine menjelaskan, hasil tangkapan para nelayan tetap didominasi tuna besar di semua lokasi dengan proporsi berkisar antara 59%-100% dan tuna kecil berkisar antara 0% -41%.

Namun harga ikan tuna mengalami penurunan drastis di semua lokasi, baik tuna besar loin (olahan) maupun utuh.

Sebabnya, ada penurunan permintaan dari Unit Pengolahan Ikan yang melakukan ekspor ke luar negeri.

 “Oleh sebab itu, bilamana pandemi Covid-19 tidak dapat dikendalikan, maka harga ikan hasil tangkapan diduga cenderung akan terus mengalami penurunan,” kata Yasmine.

Penurunan harga ini tidak seiring dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan para nelayan tradisional. Ketersediaan Bahan bakar minyak jenis pertalite yang biasa digunakan nelayan, memang cukup, namun harganya tidak mengalami penurunan.

 “Rata-rata harga bahan bakar minyak sebelum dan mulai Covid-19 relatif stabil atau tidak terdampak,” kata Yasmine.

Dari aspek kondisi sosial, Yasmine menerangkan, bagi para nelayan tradisional ini, melaut merupakan pekerjaan utama. Meskipun, ada pula yang memiliki pekerjaan lain seperti sebagai tukang bangunan, petani, dan berkebun. Setiap nelayan memiliki tanggungan sekitar 3-5 orang/ keluarga.

“Nelayan One Day Fishing yang paling banyak terkena dampak Covid-29 berturut-turut adalah Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara serta Sulawesi Tengah,” kata Yasmine.

Kerentanan Ekonomi Nelayan Tradisional

Secara umum, kerentanan ekonomi merujuk pada risiko-risiko yang disebabkan goncangan dari sumber-sumber internal maupun eksternal terhadap tiga sistem kunci dari ekonomi, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Yasmine menerangkan, dalam konteks ekonomi, bagi nelayan tradisional penangkap tuna, goncangan ini bersumber eksternal, yaitu pandemi Covid-19.

Pandemi memberikan dampak terhadap kegiatan produksi atau penangkapan ikan yang timbul karena adanya gangguan terhadap distribusi atau kegiatan pembelian ikan oleh supplier. “Gangguan distribusi yang timbul karena Covid-19 secara langsung menurunkan kegiatan produksi (penangkapan ikan) yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi nelayan,” kata Yasmine.

Menurutnya, gangguan produksi dan distribusi ini membawa dampak sosial yang kian serius jika tidak diatasi. Minimnya permintaan, mahalnya ongkos operasional, dan anjloknya harga ikan membawa dampak negatif terhadap ekonomi rumah tangga nelayan tradisional.

“Bila hal ini terus berlanjut dikhawatirkan akan membawa dampak sosial yang sangat serius bagi kehidupan keluarga nelayan,” kata dia.

Kepala Program Perikanan MDPI Wildan menerangkan, dampak buruk pandemi terhadap nelayan tradisional penangkap tuna ini akan sangat bergantung dengan kondisi global. Pasalnya, para nelayan selama ini menangkap ikan dengan target tuna besar berkualitas ekspor. Jadi, kalau pasar ekspor belum normal, mereka akan terus merasakan dampak buruknya.

“Kalau masa pandemi ini masih berlanjut secara global, apalagi di pasar Amerika Serikat – kita cukup sering kirim ke sana, otomatis ini akan terus berdampak,” kata Wildan.

Kebijakan pemerintah untuk nelayan tradisonal terdampak Covid-19

MDPI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi terhadap nelayan ini. Pemerintah diminta mengupayakan kenaikan harga ikan hasil tangkapan nelayan hingga kembali ke tingkat harga sebelum pandemi Covid-19.

Wildan menjelaskan, misalnya dengan cara mengontrol peredaran ikan-ikan yang dijual di pasar lokal sehingga nelayan tuna bisa beralih mencari ikan lain yang harganya masih stabil untuk dijual di pasar lokal.

Pemerintah juga dapat memberikan insentif atau keringanan kredit bagi pelaku usaha Unit Pengolahan Ikan agar mampu melakukan usaha produksi. Dengan demikian, permintaan pasokan ikan dari nelayan akan bertambah seiring dengan kenaikan harganya.

Pemerintah pun perlu memberikan subsidi BBM serta bantuan keuangan, sembako, dan bantuan lainnya untuk mendukung kehidupan nelayan dan keluarganya selama pandemi. Bantuan juga bisa berupa sarana perikanan tangkap seperti kapal atau alat penangkap ikan maupun sarana penangkapan ikan di atas kapal dan di darat.

Kepala Sub-Bagian Kerjasama dan Humas Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Djoko Arye mengatakan, berdasarkan data masuk usulan nelayan per 18 Mei 2020, ada 294.002 nelayan terdampak Covid-10.

 

Djoko mengklaim KKP memiliki program untuk para nelayan terdampak pandemi.

KKP menginisiasi program bakti nelayan untuk membantu nelayan. Bantuan ini, menurut Djoko, berbeda dari bansos yang disampaikan oleh pihak Pemerintah Provinsi atau Dinas Kelautan setempat.

“Bantuannya ada berupa bantuan sembako dan Alat Pelindung Diri, serta program nasi ikan di wilayah sekitar pelabuhan perikanan berada, termasuk di sekitar wilayah pelabuhan perikanan nusantara Ternate,” kata Djoko.

Selain itu, KKP juga sudah mengajukan surat kepada Menteri Keuangan (Kemenkeu) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengusulkan penambahan anggaran guna memberikan stimulus untuk nelayan. Sampai saat ini, Djoko mengatakan, KKP masih menunggu pembahasan dan persetujuan Kemenkeu dan Bappenas.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar menyalurkan insentif pada sektor kelautan dan perikanan. Usul tersebut disampaikan Edhi saat sidang kabinet pada akhir Mei lalu. Namun sampai saat ini, Bappenas dan Kemenkeu masih membahasnya.

Jumlahnya Rp1,024 triliun. Sebagian dari dana tersebut, bakal digunakan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk enam program. Pertama, pemberian bantuan untuk melaut. Kedua, bantuan alat penangkap ikan. Ketiga, pemberian 500 kendaraan roda tiga bermesin pendingin untuk mengatasi distribusi kelimpahan ikan yang tidak tersalurkan agar bisa dipasarkan ke pelosok.

Keempat, bantuan 500 unit freezer. Kelima, pengoptimalkan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) untuk wilayah yang selama ini belum optimal. Keenam, pengembangan fasilitas di beberapa titik pelabuhan. Ekuatorial.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.