Pesantren Al-Ittifaq menjadi contoh bagaimana sebuah institusi keagamaan mampu mandiri dalam sektor pangan dengan bertani. Selain mengaji, santrinya juga diajari bercocok tanam. Bahkan, Al-Ittifaq bisa mendistribusikan hasil pertaniannya ke pasar tradisional dan swalayan di daerahnya.
Oleh Aminuddin
Bandung, JAWA BARAT. Pondok pesantren sebagai tempat menimba ilmu agama terdengar biasa saja, tapi bagaimana dengan ponpes yang memupuk santrinya untuk juga belajar ilmu pertanian. Hal itulah yang diterapkan oleh Pondok Pesantren (ponpes) Al-Ittifaq, yang berlokasi di kampung Ciburial, Alam Endah, Rancabali, Kabupaten Bandung.
Di pertenganah Juni 2020, di sebuah ruangan di pesantren yang digunakan sebagai ruang pengemasan, empat santri terlihat sibuk memilah sayur-sayuran. Tepat di tengah ruangan pengemasan tersebut terdapat meja berbentuk huruf ‘U’ dan diatasnya tertumpuk aneka sayuran, baik yang sudah dikemas ataupun yang masih berada dalam keranjang sayuran.
Celemek berwarna hitam terpasang menutupi bagian dada hingga lutut para santri. Selain menggunakan sarung tangan berbahan karet dan masker, kopiah pun tampak melekat menutupi bagian atas kepala santri-santri itu.
Di bagian depan meja yang menghadap ke pintu masuk, salah satu santri sibuk memilah buncis yang memenuhi sebuah keranjang sayuran berukuran 60×40 cm. Di bagian kanan meja, santri lainnya memilah dan menimbang terong ungu, kemudian mengemasnya.
Ruang pengemasan menjadi tempat bagi sebagian santri Al-Ittifaq melakukan aktifitas sehari-hari mereka. Biasanya, mereka bergiliran bekerja mengemas sayuran sejak pagi hari sehabis salat subuh hingga malam hari.
Ketua Koperasi Pondok Pesantren (Koponoen) Al-Ittifaq, Agus Setia Irawan mengatakan berkebun dan beternak memang masuk dalam kurikulum pesantren. Bagi santri salaf di Al-Ittifaq, kegiatan mengaji hanya dilakukan setelah salat berjamaah lima waktu.
“Istilahnya bertani menjadi bagian kurikulum di pesantren salaf atau tradisional. Jadi ngajinya itu selesai ba’da salat, sisa waktunya kita gunakan untuk kegiatan pertanian, packaging, peternakan juga,” kata Agus saat ditemui di Ponpes Al-Ittifaq, Kamis (18/6/2020).
Santri Al-Ittifaq dibagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama bertugas di perkebunan untuk menanam, merawat hingga memanen hasil pertanian. Yang kedua, bertugas mengolah pasca panen meliputi pengemasan hingga mengurus rantai distribusi. Yang terakhir, bertugas mengurus ternak.
Al-Ittifaq diasuh oleh Kiai Haji Fuad Affandi yang merupakan generasi ketiga pendiri ponpes Al-Ittifaq, pesantren yang sudah berdiri di kawasan dataran tinggi Rancabali sejak 1934.
“Awal berdirinya ponpes Al-Ittifaq adalah pesantren yang hanya fokus pada pendidikan keagamaan,” jelas Fuad yang lebih akrab di panggil Mang Haji.
Sepulangnya Mang Haji dari menimba ilmu di Ponpes Lasem, Jawa Tengah di tahun 1970, ia diberi mandat untuk mengganti peran bapaknya, Abah Haji Rifai sebagai pengasuh Ponpes.
Di awal kepimpinannya, ia merubah kurikulum pesantren. Dasar pemikirannya sederhana, yaitu bagaimana caranya agar pesantren bisa lebih mandiri. Kala itu, bukanlah pekerjaan mudah untuk bisa menghidupi puluhan santri yang belajar di Al-Ittifaq. Alhasil pertanian pun dipilih Fuad untuk memenuhi kebututuhan pangan santrinya.
“Santri semakin banyak, sedangkan namanya pesantren apalagi salafiyah kita tidak mengenakan biaya, jadi orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren, maka jadi tanggungan pesantren,” bebernya.
Al-Ittifaq kini memiliki luas lahan pertanian sekitar 11 hektar. Sebagian besar berada di sekitaran ponpes. Al-Ittifaq kini menjadi contoh pesantren yang mandiri di sektor pangan, dengan mengandalkan hasil pertanian dan peternakan sendiri untuk menghidupi santri sebanyak kurang lebih 550 orang.
“Kita juga dapat hibah dari Perhutani seluas 30 hektar, itu statusnya HGU, dan sedang ditanami kopi,” ungka Mang Haji.
Bahkan, dengan produksi sayur-mayurnya yang melimpah, Al-Ittifaq mampu menjual sayuran ke pasar tradisional dan swalayan di Bandung dan juga Jakarta. Saat ini Al-Ittifaq menjual sebanyak 63 jenis sayuran dan buah-buahan yang disalurkan ke gerai swalayan.
Per harinya, Al-Ittifaq memasok 3,2 ton sayuran ke pasar. Sebanyak 60 persen menuju pasar tradisional, sedangkan sisanya menuju swalayan, restoran, dan hotel.
Hasil pejualan sayuran itu diputarkan lagi oleh koperasi ponpes Al-Ittifaq sebagai modal pertanian, kebutuhan makan santri, dan kegiatan lain di pesantren seperti nikah masal, sunat masal, dan acara2 peringatan keagamaan seperti Maulis Nabi dan sebagainya.
Pengembangan pasar melalui jaringan ponpes
Butuh puluhan tahun bagi Al-Ittifaq agar bisa mandiri bahkan menjadi pemain kecil dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Jangkauan pasar yang mampu diakses Al-Ittifaq pun sudah semakin luas. Tingginya permintaan pasar, membuat Al-Ittifaq terus berevolusi menjadi pemasok sayuran mengandalkan jaringan ponpes.
Agus menjelaskan, sekarang tidak semua sayuran yang dijual ke pasar merupakan hasil cocok tanam di Al-Ittifaq. Namun, pesantren kini juga sudah menjadi offtaker dari beberapa kelompok tani binaan Al-Ittifaq.
Ada 9 kelompok tani, dengan jumlah total anggota sebesar 270 petani, yang dibina Al-Ittifaq. Mereka merupakan alumni Al-Ittifaq di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cianjur. Kesembilan kelompok tani ini rutin mengirimkan hasil tani mereka dua kali dalam sepekan.
“Jadi karena ada ikatan antara kyai dan santrinya, kita tetap ada kegiatan keagamaan. Tiap malam Selasa dan malam Jumat, ada pengajian di pesantren. Selain mereka membawa hasil pertanian ke sini, mereka pun ngaji mingguan,” jelas Agus.
Toat (40), petani binaan Al-Ittifaq, mengatakan kehadiran koperasi Al-Ittifaq telah sangat membantu dirinya. Sebelumnya,Toat biasa menyalurkan hasil pertanian ke tengkulak dengan harga murah. Namun, kini Toat menyalurkan komoditasnya melalui Al-Ittifaq dan menerima harga yang lebih layak.
Toat bertani di lahan miliknya sendiri yang seluas sekitar 14 tumbak, atau hampir 200 meter persegi, dan memasok sekitar 6 jenis sayur-sayuran — selada, daun salam, daun pisang, wortel baby, pohpohan, dan buah bit.
“Harga jualnya jauh. Saya kan packing sendiri itu per kg Rp 9.500, untuk selada kriting. Itu kan kalau di pasar tradisional selada dijual ke bandar Rp. 5 ribu, tapi sekarang saya masih bisa jual lebih mahal,” kata Toat.
Dalam skala lebih luas, sejak 2019, Al-Ittifaq bekerjasama dengan 16 pesantren lainnya untuk memaksimalkan potensi pertanian. Targetnya, adalah pada tahun 2024, Al-Ittifaq dan ke-16 pesantren itu bisa menjadikan Indonesia sebagai poros ekonomi syariah dunia.
“[Tahun] 2019, kita coba transfer of knowledge, 2020 kita bikin greenhouse di 16 pesantren, nah Al-Ittifaq tidak punya anggaran, rata-rata satu pesantren butuh modal sekitar Rp 350 juta, kita coba ngobrol ke BI Departemen Ekonomi Keuangan Syariah, mereka support,” ungkap Agus.
Salah satu pesantren yang bekerjasama dengan Al-Ittifaq, ponpes Bahrul Ulum, Jatinagara, Ciamis, menganggap kerjasama itu sangat menguntungkan karena membantu memaksimalkan potensi lahan yang dimilki pesantren. Bahrul Ulum memiliki lahan pertanian seluas 3 hektar. Kini sebagian lahan itu ditanami labu madu dan aneka sayuran khas dataran rendah.
“Kami benar-benar terbantu dengan adanya bantuan kerjasama dengan Al-Ittifaq, sekarang kami bisa memaksimalkan potensi lahan yang kami miliki,” kata pimpinan ponpes Bahrul Ulum, Heri Heriyanto (45).
Mereka berencana memiliki gudang hasil pertanian pada tahun 2022. Lalu, tahun berikutnya mereka ingin membangun pusat distribusi hasil pertanian di Majalengka. Maka pada tahun 2024, mereka menargetkan bisa mulai melakukan ekspor.
Ketahanan Pangan Ala Ponpes Al-Ittifaq
Tiga langkah dari pinggir kantor Koperasi Al-Ittifaq, terdapat dua petak kolam ikan berukuran sekitar 30×40 meter. Ikan disana biasa ditangkap oleh santri untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Berjarak sekitar 50 meter dari Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), berdiri megah beberapa greenhouse milik Al-Ittifaq. Udara terasa dingin saat Ekuatorial berkesempatan berkunjung ke salah satu greenhouse milik pesantren ini.
Diantar oleh Muhammad Ruslan (28), santri yang bertugas di kebun, kami melewati pemukiman warga sebelum akhirnya tiba di greenhouse. Tidak ada batas seperti benteng ataupun pagar antara pemukiman warga dengan bangunan pesantren.
Di dalam greenhouse, berjejer memanjang bedeng yang ditanami sayuran jenis bayam Jepang dan pakcoy. Di bagian tengah terdapat enam tong berwarna biru, berukuran jumbo berisi campuran air dan berbagai pupuk cair. Di pojok lainnya, ada mesin berbentuk persegi yang mampu mengendalikan penyiraman tanaman secara otomatis. Di atas mesin itu tergantung router wifi.
“Sistem irigasi dan pemberian pupuk bisa otomatis. Ini bisa dikendalikan dari jarak jauh, ada aplikasinya di handphone,” jelas Ruslan.
Menurut Agus, mentor yang melatih santri bercocok tanam berasal dari organisasi nirlaba bernama PUM Netherland Senior Expert. Selain itu, Ponpes pun didampingi pakar pertanian dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Menurutnya, ketahanan pangan bisa terwujud kalau ada kesinambungan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Makanya, sistem bertani dilakukan secara permakultur, dimana penanaman bermacam sayuran didesain agar terjadi kesinambungan dan stok pangan bisa terjaga sepanjang tahun. Konsep ramah lingkungan termasuk dalam sistem permakultur.
Praktisi Ketahanan Pangan Yayasan Odesa, Basuki Suhardiman mengatakan sistem pertanian yang digagas Al-Ittifaq bisa menjadi contoh bagaimana pengentasan masalah ketahanan pangan dilakukan dari sebuah institusi keagamaan. Menurutnya, Mang Haji mampu menerapkan nilai ajaran Islam ke dalam konsep pertanian.
“Apa yang dilakukan Al-Ittifaq itu contoh. Menurut saya pesantren yang seperti itu baru Al-Ittifaq, di Jabar. Dia punya lahan terbatas, ya udah pakai, bekas sisa makanan dijadikan pupuk untuk tanah. Itu dilakukan oleh Al-Ittifaq,” tukasnya.
“Ini kan dari value Islam, jangan ada yang mubazir, itu teman setan, Kyai Fuad selalu bilang seperti itu,” tambahnya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tisna Umbara, mengatakan Al-Ittifaq menjadi pesantren percontohan bagi pesantren lain dalam mengembangkan pertanian modern.
“Jadi kalau Al-Ittifaq mah sudah menjadi contoh pesantren. Kan itu unik ya ada kegiatan selain mengaji ada juga kegiatan pertanian yang luar biasa,” kata Tisna.
Tidak terlalu terdampak pandemi Covid-19
Hampir seluruh sektor bisa dibilang lesu akibat pandemic COVID-19 yang kini menjangkiti dunia. Namun, tidak demikian dengan kegiatan pertanian di Al-Ittifaq.
“Kalau aktivitas secara di lapangan tidak berubah, social distancing di kebun pasti jauh-jauh. Proses pasca panen kita disini dinilai oleh Albert Heijn (perusahaan retail Belanda),” ucap Agus.
Meskipun rantai pasokan Al-Ittifaq sempat terputus saat terjadi pandemi, dimana mereka tidak bisa mengirim barang untuk restoran dan hotel, tapi hal itu kemudian ditutupi oleh layanan belanja sayuran secara daring.
“Kalau kitanya bersyukur, semua ada hikmahnya, contohnya sekarang Al-Ittifaq punya pasar online di alifmart.id,” ungka Agus.
Petani asal Kabupaten Bandung, Hudan Mustakim (30) mengatakan wabah tidak terlalu berdampak pada sektor pertanian. Justru, Hudan mengaku cukup diuntungkan saat pandemi lantaran bisa menjual komoditasnya dengan harga tidak terlalu murah.
“Kemarin tanam tomat, alhamdulillah harga cukup bagus, per kg bisa terjual Rp 6.500 ke bandar. terus kan ditutup juga distribusi dari daerah lain jadi distribusi sayuran disini untuk pasar di wilayah Bandung cukup aman,” tukasnya.
*Versi panjang dari liputan ini telah diterbitkan di Suara.com pada tanggal 25 Juli 2020.