Tiga aktivis HAM dan lingkungan hidup di Samarinda dituduh positif Covid-19 oleh Dinas Kesehatan setempat dan diperlakukan dengan cara-cara janggal. Tidak pernah diperlihatkan bukti tes yang menyebut diri mereka mengidap corona, para aktivis merasa ada ‘operasi hitam’ aparat keamanan dan intelijen dalam proses tersebut.
Oleh May Rahmadi
Ketika aparat dan petugas Dinas Kesehatan Kota Samarinda berada di kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Timur, pada petang, Jumat (31/7) itu, terdengar suara teriakan yang melengking dari luar. “Angkut! Angkut!” begitu, berulang-ulang. “Angkut!”
Tak jelas dari mana asalnya suara tersebut. Kala itu, tiga aktivis pembela HAM dan lingkungan hidup dituduh positif Covid-19. Mereka hendak dijemput paksa untuk dibawa ke ruang isolasi, meski pun mereka sama sekali tidak merasakan gejala corona.
Direktur Eksekutif WALHI Kaltim Yohana Tiko adalah salah satu dari mereka. Tiko tidak bisa memastikan, apakah teriakan tadi adalah suara warga sekitar kantornya di Jalan Gitar, Komplek Prevab, Kelurahan Dadi Mulya, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
“Kita tidak tahu itu warga mana karena kita di dalam,” kata dia, mengisahkan cerita itu kepada Ekuatorial, Senin (2/8).
Selain Tiko, kedua aktivis lainnya adalah pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda Fathul Huda Wiyashadi dan Bernard Marbun. Mereka merasakan ada keanehan dalam penanganan Covid-19 yang diterapkan kepada mereka, sebelum kejadian tersebut.
Semua bermula pada Rabu (29/7). Kala itu, tanpa pemberitahuan apapun, kantor WALHI Kaltim didatangi petugas dari Dinkes setempat. Tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dan menunjukkan surat tugas, mereka melakukan tes swab kepada beberapa aktivis Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) – sebuah lembaga yang fokus pada advokasi anggaran dan kebijakan publik –, WALHI Kaltim, dan LBH Samarinda.
Tiga lembaga tersebut selama ini aktif melakukan kegiatan-kegiatan pro-demokrasi dan kebetulan, kantor mereka berdekatan.
Menurut Dinkes Samarinda, kegiatan itu adalah active case finding atau pencarian kasus baru secara aktif untuk mendeteksi penyebaran Covid-19. Kepada WALHI Kaltim, petugas Dinkes menuturkan pencarian kasus tersebut dilakukan secara acak (random sampling).
Tiko heran ketika dirinya diminta swab. Padahal, beberapa rekan lain sudah ada yang diswab saat itu. Jika memang dilakukan secara acak, seharusnya, dia tidak perlu diswab. “Kalau yang lain sudah, kenapa saya harus diswab?” katanya.
Karena WALHI Kaltim memiliki komitmen untuk memerangi virus Covid-19, Tiko akhirnya mengikuti permintaan petugas Dinkes. Dia dan rekan-rekannya kemudian dijanjikan bakal mengetahui hasilnya tiga sampai empat hari ke depan.
Tetapi, keesokan harinya, Kamis (30/7), petugas Dinkes kembali mendatangi lokasi mereka. Para petugas itu menyemprotkan disinfektan seraya menyatakan ada tiga orang positif Covid-19. Tiga orang itu adalah Tiko dan dua pengacara publik LBH Samarinda.
“Sepanjang proses itu, tidak ada surat tugas sama sekali,” katanya. “Mereka juga meminta masuk ke kantor karena kami disebut menyembunyikan orang.”
Petugas Dinkes kemudian masuk ke kantor mereka dan tak menemukan apapun. Sementara, Tiko sama sekali tidak mengetahui maksud petugas Dinkes tersebut. Tetapi yang jelas, dia semakin merasakan ada kejanggalan.
Penjemputan dan isolasi paksa
Siang pada Jumat (31/7), Tiko menerima surat dari RT setempat. Isinya, menolak keberadaan Tiko dan dua aktivis lainnya karena dinilai mengidap Corona. Meskipun waktu itu, bahkan sampai saat ini, Tiko dan kawan-kawan tidak pernah mendapat bukti bahwa dirinya positif Covid-19.
“Kami warga RT.33 Kelurahan Dadi Mulya merasa keberatan dan tidak nyaman apabila ada penghuni terjangkit corona,” tulis surat bertanda tangan Ketua RT setempat. “Oleh karena itu, apabila ada yang positif terjangkit corona, kami menginginkan agar yang bersangkutan dirawat dan diisolasi di rumah sakit yang ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan untuk isolasi mandiri, kami menolak dengan alasan untuk kebaikan warga.”
Sore hari menjelang malam, aparat dan petugas Dinkes datang untuk menjemput mereka. Saat itulah suara teriakan bernada pengusiran kepada mereka menggema.
Tiko dan dua kawannya diminta untuk isolasi di RSUD I.A. MOEIS, Samarinda. Permintaan itu tanpa memperlihatkan surat apapun. Tak ada surat tugas. Tak ada bukti dirinya positif Covid-19.
Tiko sempat membela haknya, bahwa jika memang dia positif dan tanpa gejala, dia mestinya bisa isolasi mandiri. Namun permintaan itu ditolak petugas. Perdebatan pun terjadi meski akhirnya Tiko mengalah, untuk memadamkan situasi.
Mereka pun mengikuti cara kerja petugas Dinkes. Dengan ambulans milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, mereka dibawa ke ruang isolasi RSUD I.A MOEIS yang jaraknya cukup jauh dari kantor mereka. Tiko tak paham alasan RS itu dipilih. Tiko sempat meminta untuk dibawa ke RS terdekat, namun permintaan itu tidak disetujui. Tidak ada pula penjelasan.
Sesampainya di sana, Tiko dan dua kawannya meminta hasil tes swab mereka kepada petugas ruang isolasi. Namun petugas tidak bisa menunjukkan. Petugas itu mengaku hanya menjalankan permintaan untuk menempatkan mereka di ruang isolasi.
“Dia bilang tanya saja sama yang bawa kalian ke sini,” kata Tiko. Itu sebabnya, dia tidak mau masuk ke ruang isolasi. Dia khawatir, jangan-jangan, sebenarnya tidak ada Covid-19 di tubuhnya. Memasuki ruang isolasi berarti membuka potensi virus tersebut masuk ke tubuhnya.
Petugas kemudian menyodorkan surat yang menyatakan Tiko dan dua kawannya menolak diisolasi. Tiko enggan menandatanganinya. Sebab, dirinya bukan menolak, tetapi hanya ingin meminta bukti bahwa dirinya memang benar-benar positif Covid-19.
Tiko pun coba menanyakan bukti tersebut kepada orang yang membawa mereka. Namun, jawaban juga tidak diperoleh.
Setelah dua jam terbuang di sana, Tiko dan dua rekannya kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dan melakukan isolasi mandiri. Tiko mengaku, kendati tidak jadi masuk ruang isolasi, tidak ada petugas Dinkes yang menghubunginya sampai saat ini, Senin (2/7).
Advokasi di balik tuduhan positif Covid-19
Keanehan proses penanganan Covid-19 terhadap dirinya dan dua temannya, menurut Tiko, tidak lepas dari kerja-kerja advokasi yang tengah dilakukan mereka. Dia mengaku, WALHI Kaltim dan sejumlah kelompok masyarakat sipil di sana tengah gencar memprotes wacana penerbitan Omnibus Law.
Mereka juga menolak Undang-undang Minerba yang baru.
Menurut Tiko, masa pandemi ini telah ditunggangi pihak-pihak yang memiliki kepentingan bukan hanya untuk meloloskan kebijakan bermasalah, tetapi juga untuk mengkriminalisasi pegiat HAM dan lingkungan.
“Pada 16 Juli lalu, kami aksi menolak Omnibus Law serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim,” kata Tiko. “Kami merasa dibohongi. Katanya, tidak ada sidang pas reses, tapi ternyata ada.”
Wacana penerbitan Omnibus Law oleh pemerintah memang tengah mendapat kecaman keras dari kalangan masyarakat sipil. Draf undang-undang tersebut dinilai memiliki banyak masalah, dari aspek formal, substansi, dan dimensi politik. Omnibus Law dipandang hanya memihak kepentingan para elit politik dan oligarki dan bakal merugikan masyarakat.
Sedangkan, RZWP3K Kaltim dinilai tidak mengakomodir kepentingan nelayan. “Kami menolak RZWP3K tidak melindungi wilayah tangkap nelayan, mengubah fungsi cagar alam menjadi pelabuhan,” katanya.
Rekan Tiko dari LBH Samarinda yang juga dituduh positif Covid-19, Fathul Huda Wiyashadi dan Bernard Marbun pun tengah terlibat dalam kasus penting. Fathul adalah pengacara publik yang menjadi kuasa hukum kasus tumpahan minyak di Balikpapan. Kasus perdata dengan mekanisme Citizen Law Suit itu menjadikan pemerintah setempat sebagai tergugat.
Sedangkan Bernard mengadvokasi kasus intimidasi di desa Lebak Cilong. Ada warga di sana yang dilaporkan ke polisi oleh perusahaan.
Itu sebabnya, WALHI Kaltim mengeluarkan rilis berisi catatan keanehan penanganan Covid-19 di Samarinda. Dalam catatannya, WALHI memandang kejadian 29 sampai 31 Juli yang menimpa Tiko, Fathul dan Bernard merupakan upaya kriminalisasi serta pembungkaman pejuang HAM dan lingkungan hidup.
“Bagi kami upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam aparatur keamanan dan intelejen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test Covid-19,” tulis rilis tersebut. “Tujuannya untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap para aktivis pejuang ham dan lingkungan hidup.”
Dalam konferensi pers yang diadakan pada tanggal to Agustus 2020, Bernard mengatakan, dikarenakan mereka tidak pernah menerima hasil dari swab test yang dilakukan tanpa prosedur tersebut, dia melakukan test swab tandingan secara mandiri pada tanggal 4 Augustus, dan menerima hasil test pada tanggal 6 Agustus, yang menyatakan dirinya negatif.
“Bagi saya ini adalah pembohongan dan peristiwa pidana karena sesuai dengan Pasal 8 UU Kesehatan, saya memiliki hak untuk mendapatkan hasil dari test swab yang dilakukan oleh Dinkes (Kota Samarinda), tapi samapi detik ini, hasil tersebut tidak saya terima,” tegas Bernard.
Menyelidiki kejanggalan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menerima laporan mengenai kasus tersebut. Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan, lembaganya sudah mulai menyelidiki keanehan penanganan Covid-19 di Samarinda yang dirasakan tiga aktivis di sana.
Menurut Anam, keterangan awal yang diperoleh Komnas HAM mengindikasikan beberapa persoalan serius. Pertama, adanya indikasi kuat pelanggaran protokol kesehatan. Hal ini muncul karena para petugas Dinkes Samarinda yang melakukan tes swab saat itu tidak menggunakan APD lengkap.
Kedua, terdapat indikasi pemaksaan proses. Lebih dari itu, hasil tes swab baik yang positif maupun negatif, tidak diberitahukan kepada mereka.
Ketiga, adanya proses yang diindikasikan kuat bukan untuk tujuan untuk kesehatan. Sebab, proses penanangannya menyertakan penjemputan paksa.
“Dari keterangan yang kami peroleh, maka penting bagi Komnas HAM untuk menindaklanjuti laporan atas peristiwa tersebut,” kata Anam.
“Ada dugaan kuat, proses yang dilakukan, antara lain, pemilihan random sampling, penjemputan, dan hasil swab yang belum ada, bahkan setelah sampai di RS baik hasil positif maupun negatif, maka tindakan ini adalah model penjemputan paksa yang kuat indikasinya memilki kepentingan di luar kepentingan kesehatan,” lanjutnya.
Komnas HAM tengah mendalami kasus ini dengan melakukan pemantauan dan penyelidikan. Jika ditemukan bukti-bukti adanya penyalahgunaan kewenangan dengan menggunakan instrumen penanganan Covid 19, Komnas HAM akan melaporkannya kepada penegakan hukum dan Gugus Tugas Covid 19 Nasional.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Samarinda Osa Rafshodia tidak memberikan banyak penjelasan. Dia memang mengonfirmasi kegiatan tes swab kepada aktivis WALHI, Pokja 30 , dan LBH Samarinda tersebut. Namun, dia hanya menegaskan, semuanya sudah dilakukan sesuai petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Kesehatan.
“Kami hanya mengikuti juknis Kemenkes,” katanya kepada Ekuatorial, Senin (2/8).
Dia mengklaim, tidak ada pemaksaan dalam prosesnya. Kendati membawa tiga aktivis yang tidak memiliki gejala Covid-19 ke ruang isolasi RSUD I.A. MOEIS, Osa menyebut hal tersebut sudah sesuai juknis.
“Sekarang tiga orang itu isolasi diri,” katanya. “Tidak ada pemaksaan.”
Osa tidak memberikan penjelasan mengenai tidak adanya identitas dan surat tugas yang dibawa petugas Dinkes ketika melakukan swab kepada para aktivis. Dia hanya mengulang-ulang pernyataan bahwa semuanya sudah sesuai juknis dari Kemenkes.
Padahal, dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease revisi kelima yang diterbitkan Kemenkes, petugas yang melakukan tes swab wajib membawa identitas diri maupun surat tugas. Kendati demikian, Osa mengklaim Dinkes Samarinda siap menghadapi penyelidikan yang tengah dilakukan Komnas HAM. Ekuatorial.