Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang disahkan Presiden Joko Widodo tidak hanya memberikan angin segar kepada pengusaha batu bara untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya, namun juga menjamin penarikan royalti nol persen kepada perusahaan yang dapat melakukan integrasi industri batubara di hulu dan hilir.

Alam di Indonesia semakin terancam. Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) yang disahkan Presiden Joko Widodo memberikan angin segar kepada pengusaha batu bara untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya. Sebabnya, negara kini menjamin penarikan royalti nol persen kepada perusahaan yang dapat melakukan integrasi industri batubara di hulu dan hilir.

Dampak dari kebijakan ini ada dua hal. Pertama hilangnya pendapatan negara, kedua kerusakan sumber daya alam dan lingkungan kian tak terhindarkan.

Saat penerimaan negara tidak lagi dapat diserap di sektor batu bara, maka aspek pembangunan, kesehatan, dan pendidikan yang sudah diatur di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sulit untuk diwujudkan.

Selain tidak mendapatkan untung, negara juga mengorbankan alam. Jauh sebelum pemberian royalti saja, kondisi alam memprihatinkan; deforestasi, kebakaran hutan dan lahan. Dampaknya terjadi bencana banjir maupun tanah longsor. Pemberian royalti nol persen akan mempercepat kerusakan lingkungan dalam lima tahun ke depan.

Untuk mengetahui apa saja dampak pemberian royalti nol persen kepada perusahaan batu bara, Society of Indonesia Enviromental Journalists (SIEJ) melakukan wawancare dengan penasehat senior sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus dalam isu transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif (pertambangan, minyak & gas, dan sumber daya alam), Publish What You Pay, Maryati Abdullah.

Maryati Abdullah, Senior Advisor Publish What You Pay. Foto: Dokumentasi pribadi

UU Cipta Kerja memberikan royalti nol persen untuk industri ekstraktif batu bara, bagaimana tanggapan Anda?

Hal tersebut berkaitan dengan upaya perusahaan agar dapat melakukan integrasi di hulu dan hilir. Tentu saja kebijakan itu berlebihan dalam menjaring pengusaha agar membanun industri hilir dalam negeri. Kebijakan ini justru dapat menimbulkan over eksploitasi cadangan batu bara. Kemudahan ini tidak sebanding dengan kerusakan alam akibat aktivitas industri dalam melakukan hilirasi.

Seperti yang kita tahu royalti berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan dipakai oleh pemerintah pusat dalam bentuk APBN dan bagi hasil daerah berupa APBD. Ketika dibuat nol persen maka pendapatan langsung penerima negara dapat berkurang. Ada potensi kehilangan penerimaan negara baik di pusat dan daerah. Hal tersebut tentu akan berdampak pada celah fiskal di daerah baik yang digunakan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian desa.

 

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Beberapa riset sudah banyak mengulas tentang Investment Rate industri di Indonesia, ternyata hasilnya sangat rendah. Kisarannya masih sekitar 10 persen dari tingkat pengembalian investasinya. Menurut saya kebijakan royalti tidak akan mampu mendorong perekonomian. Sebabnya pemberian royalti nol persen hanya akan menguntungkan pengusaha saja.

Sementara itu, multiplier efek ekonomi yang diharapkan pemerintah tidak akan berjalan dengan cepat. Sebab nilai fiskal yang diperoleh juga tidak banyak. Dari itu, pemerintah perlu pertimbangkan lagi aturan teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah agar tidak memberikan nominal nol persen. Setidaknya insentif yang ditarik ke perusahaan dalam bertingkat.

 

Apa dampak jangka panjang pemberian royalti nol persen terhadap perekonomian di Indonesia?

 Negara menjadi kehilangan pendapatan dan fiskal pembangunan. Katakanlah dalam jangka waktu lima tahun dengan pemberian insentif nol persen, bisa jadi capaian pembangunan yang diatur dalam Rancangan Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk mengatasi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi sulit dicapai. Sebabnya insentif tidak akan kembali dengan cepat ke pemerintah maupun masyarakat.

Seperti diketahui, saat ini royalti tarif yang dikenakan ke perusahaan sebesar 13,5 persen dari nilai perjualan. Ketika dibuat menjadi nol persen, maka ada potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp 25-30 triliun.

 

Selain ancaman kehilangan pendapatan, apa lagi ancaman yang akan terjadi?

Meningkatnya produksi ekploitasi batu bara secara besar-besaran. Terlebih saat ini pasar batu bara Indonesia yang paling laku adalah batu bara dengan kalori rendah. Akibat eksploitasi itu, tidak akan pernah terjadi pengendalian eksploitasi batu bara. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah sudah merencanakan pembatasan batu bara sebesar 400 juta ton hingga tahun 2019. Namun, batasan tersebut sulit tercapai.

Apalagi saat ini perusahaan tambang batu bara yang berada di dekat PLTU atau yang biasa disebut PLTU mulut tambang sudah dianggap bagian dari industri hilirisasi secara langsung. Ada potensi pemberian ijin untuk pembuatan PLTU mulut tambang semakin banyak.

 

Bicara soal PLTU, pemerintah juga menargetkan transisi energi ke energi terbarukan sebesar 23 persen sampai 2025. Aaakah dampak kebijakan nol person ini terhadap realisasi target tersebut?

Melihat kebijakan pemerintah dalam mengupayakan pembangunan rendah karbon di sisi energi tentu sulit. Kita sendiri tidak memiliki aturan dan kebijakan yang cukup konsisten. Rencana energi 2019 saja tidak dipatuhi, bagaimana mau mencapai 23 persen di 2025. Sementera pemerintah masih fokus pada industri berbahan fosil. Maka cukup jelas bahwa royalti membikin sulitnya penerapan transisi energi di masa yang akan datang.

Sikap dan tindakan kontradiktif pemerintah dalam melakukan transisi energi sangat berbahaya bagi pembangunan keberlanjutan. Keseimbangan lingkungan dipertaruhkan. Perubahan iklim, dan kerusakan alam juga dipertaruhkan.

 

Anda cukup khawatir pada isu korupsi. Bisa dijelaskan seberapa besar potensi korupsi dalam kebijakan royalti nol persen?

Kita bisa melihat potensi korupsi pada sektor ekonomi dan pendapatan negara. Selain itu bisa juga dipantau dalam aspek mengurus sebuah proyek hilirisasi yang akan menjadi proyek strategi nasional. Di mana pun ada potensi korupsi, baik mengurus perijinan, lahan, apapun tindakan prosedur yang akan dijalankan. Semua ada peluang korupsi.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam mengurus ijin konsesi pertambangan masih banyak praktik suap yang terjadi. Lalu seberapa parah potensi korupsi ketika ijin hilirisasi ketika diurus, kita belum tahu. Namun potensi korupsinya tetap ada.

 

Berbicara soal ijin, koalisi masyarakat sipil termasuk Publish What You Pay mempertanyakan perpanjangan dan pemberian IUPK kepada PT Arutmin. Mengapa?

Dalam proses perpanjangan dan pemberian ijin dasarnya hanya menggunakan pasal dalam Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Sementara prosedur teknisnya saja belum tertuang dalam Peraturan Pemerintah. Ini adalah bentuk pelanggaran pertama dari Omnibus law yang belum ada panduan teknis perpanjangan dan pemberian ijin untuk PT Arutmin. Ini akan menjadi preseden untuk perpanjangan perusahaan yang lain.

Kita bisa merasakan, Omnibus Law yang katanya memberikan kepastian hukum ternyata sebaliknya. Hukum yang dibuat saja tidak dipetahui. Menurut saya ini adalah bentuk inkonsistensi. Hal ini juga mencerminkan tidak kredbilitasnya pemerintah dalam memberikan ijin.

 

Saat ini berlangsung pemilihan kepala daerah serentak. Bagaimana anda melihat kebijakan royalty nol persen dengan Pilkada 2020?

Kita perlu melihat siapa pendana dari Pilkada tersebut. Selain itu, perlu melihat siapa pengendali pilkada tersebut, apakah berkorelasi dengan partai, politisi di DPR, maupun pejabat pemerintah. Kebijakan royalti nol persen akan memudahkan politisi yang sedang membangun bisnis dengan partai politik maupun calon kepala daerah. Mereka akan dapat bonus yang keuntungannya dapat digunakan untuk pendanaan pilkada.

 

Pemerintah sudah menyusun Peraturan Pemerintah, apa saja yang harus diperhatikan?

 Harus kembali kepada semangat pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Kita punya agenda mengurangi karbon, menjaga keseimbangan lingkungan, menjaga daya dukung daya tampung, maka pengeloaan sumber daya alam harus dilakukan berhati-hati dengan perencanan yang baik dan menghitung keuntungan bagi masyarakat. Pemerintah perlu melihat hal tersebut dalam PP.

Sisi regulasi, pemerintah harus mendetailkan kepastian regulasi dalam mengelola sumber daya alam. Tidak sekedar membuka investasi semata. Perlu dilihat bahwa industri ekstraktif merupakan lahan yang empuk untuk potensi korupsi, maka perlu dilihat transparansi serta kepemilikan perusahaan perlu perhatikan baik-baik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.