11 lembaga adat dalam Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) bergerak menjaga keberlangsungan hutan di Kalimantan. Atas dedikasi itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi penghargaan Equator Prize, Juni 2020 lalu. Pencapaian dalam bidang lingkungan sekaligus menjadi pengingat bagi kita untuk terus menjaga alam, sebagai sumber kehidupan.
Oleh Agus Dian Zakaria dan Aswar
Malinau, KALIMANTAN UTARA. Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai cagar alam oleh Menteri Pertanian Indonesia. Kemudian pada tahun 1996, atas desakan masyarakat adat dan rekomendasi dari World Wide Fund for Nature (WWF), kawasan ini diubah statusnya menjadi taman nasional agar kepentingan masyarakat adat dapat diakomodasi.
TNKM memiliki kawasan hutan primer dan sekunder tua terbesar yang masih tersisa di Pulau Borneo dan kawasan Asia Tenggara. Nama Kayan Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman nasional, yaitu Sungai Kayan di sebelah selatan dan Sungai Mentarang di sebelah utara.
Sebagian masyarakat juga menyebut bahwa nama tersebut diambil dari nama dataran tinggi/plato di pegunungan setempat yang bernama Apau Kayan yang membentang luas (Mentarang) dari daerah Data Dian-Long Kayan di selatan melewati Apau Ping di tengah, dan Long Bawan di utara. Dengan luas lahan sekitar 1,35 juta hektare. Hamparan hutan ini membentang di bagian utara Kalimantan Utara (Kaltara), tepatnya di wilayah Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kayan Mentarang Ir. Dolvina Damus, M.Si, mengungkap karena kerapnya terjadi konflik antar masyarakat atas wilayah pencarian, sehingga para tetua adat bermusyawarah dalam mengubah status cagar alam menjadi taman nasional dengan regulasi yang disesuaikan oleh kondisi masyarakat, agar dapat memanfaatkan hasil alam secara terbatas.
“Awalnya kawasan Taman Kayan Mentarang ini dulunya merupakan kawasan cagar alam. Kemudian masyarakat adat tidak menerima itu. Setelah sekian panjang waktu berlalu, kemudian dari ketua adat pada waktu itu mereka ketemu Dirjen Kehutanan, untuk minta supaya cagar alam ini jangan ada di sana. Jadi proses panjangnya setelah berdiskusi panjang akhirnya jadilah kawasan ini taman nasional,” cerita Dolvina yang ditemui, Selasa 28 Juli 2020 lalu.
“Setelah berganti menjadi taman nasional pengelolaannya dilakukan secara kolaboratif. TNKM ini berbeda dari taman-taman yang ada di Indonesia. Karena taman nasional lainnya, tidak ada aktivitas apa-apa di dalamnya. Sedangkan TNKM bisa beraktivitas di dalamnya. Tetapi untuk bermukim tidak dilerbolehkan,” sambungnya.
Dolvina menjelaskan selain diatur dalam regulasi pemerintah, kebijakan dalam setiap hal yang berkaitan pemanfaatan dan pengelolaan TNKM harus melalui persetujuan 11 dewan lembaga adat. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah, tidak dapat serta merta mengambil keputusan secara sepihak.Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kalyan Mentarang, Dolvina Damus menunjukkan rute Taman Nasional Kalyan Mentarang (TNKM) pada peta kepada perwakilan desa agar msyarakat dapat mengetahui batas desa di sekitar TNKM. Foto: Radar Tarakan
Kehadiran FoMMA sebagai bagian dari masyarakat adat, menjadi alat keterhubungan masyarakat adat dan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Selain itu, melalui FoMMA, lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui bidang lingkungan dapat mendapatkan informasi terhadap laporan perkembangan TNKM sebagai salah satu hutan terbesar di Kalimantan.
“Peran FoMMA juga sangat penting, karena ia memperkenalkan TNKM ini ke dunia luar. Sehingga TKNM diketahui masyarakat di seluruh dunia beserta masyarakat yang bermukim di sekitar TNKM,” tukasnya.
Ia menjelaskan, kehadiran FoMMA sejauh ini cukup efektif dalam menjaga TNKM, mencegah adanya upaya perusakan hutan dari ancaman pembalakan liar. Sejak pertama kali berdiri belum pernah ditemukan adanya kasus pembalakan liar di kawasan TNKM.
“Sepanjang kami ketahui sejauh ini belum ada pembalakan liar di TNKM. Ini semua berkat kerja sama masyarakat, FoMMA dan pemerintah. Itu sangat kami jaga, karena bagi masyarakat Dayak, hutan adalah rumah kami tempat kami mencari nafkah jadi itulah pesan para leluhur kami,” tuturnya.
Meski menyadari kemajuan zaman menjadi tantangan kelestarian hutan, namun menurutnya, setidaknya FoMMA masih dapat melakukan sesuatu untuk meminimalisir besarnya pengurangan hutan.
“Tentu ke depannya pasti kami akan menghadapi tantangan ini karena semakin pesatnya pembangunan. Sehingga mulai dari sekarang kami meminimalisir tantangan itu. Jadi kalau pemerintah mengatakan banyak ladang yang berpindah-pindah adalah ulah masyarakat, sebetulnya tidak. Ladang itu, ladang bergulir kami membuat suatu kaplingan di tempat yang satu kemudian 5 tahun berikutnya baru kembali ke tempat sebelumnya. Jadi tidak ada istilah semacam pembalakan, karena lahan itu memang milik masyarakat. Perpindahan ladang itu memang sudah ada tempatnya,” pungkasnya.
Equator Prize, prestasi paling membanggakan
Memenangkan penghargaan internasional pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020 lalu, menjadi stimulus bagi FoMMA Kayan Mentarang dalam meningkatkan pengelolaan TNKM menjadi lebih maksimal.
“Jadi FoMMA berdiri pada 7 Oktober tahun 2000. Itu terbentuknya, tapi pada wilayah adat ini berinteraksi itu sudah sejak tahun 1991. Setelah perubahan status menjadi TNKM itu banyak menimbulkan kesulitan dan konflik di masyarakat akhirnya bertemulah kepala adat besar di Krayan untuk menyepakati kita FOMMA. Di forum inilah kami berkoordinasi, komunikasi, beradvokasi serta memperjuangkan aspirasi masyarakat adat. Dari situlah kami memulai partisipatif wilayah adat. Masing-masing wilayah adatnya sebagai bukti kepemilikan kami. Akhirnya tahun 1996 berubah status cagar alam ini menjadi TNKM,” ujarnya.
Pergantian status hutan cagar alam menjadi TNKM, tidak serta merta menyelesaikan konflik. Timbul kendala baru. Yaitu adanya pembagian wilayah zona pemanfaatan yang terbagi atas 3 wilayah versi pemerintah. Tak semua hasil alam bisa diambil masyarakat.
Masyarakat melakukan protes dan akhirnya kembali dilakukan pertemuan. Namun, pertemuan tersebut belum menemukan titik temu dan akhirnya pemerintah dan masyarakat memiliki pembagian zona berbeda.
“Tapi setelah itu masyarakat mendengar jika TNKM ini dikelola berdasarkan zonasi, zonasi ini ada aturannya, zona inti. Zona inti itu apa, zona inti adalah kawasan yang tidak boleh diapa-apain. Itu yang paling ditakutkan masyarakat. Padahal, kami memiliki zona sendiri yang berbeda dari pemerintah kami punya zona pemanfaatan harian, ada zona pemanfaatan terbatas. Masalahnya adalah hutan tempat kami mencari makan, berburu, mencari kayu gaharu dan semua kebutuhan kami di sini,” tukasnya.
Meski mendapat izin dalam mengelola serta memanfaatkan hasil hutan sebaik-baiknya, namun masyarakat sekitar TNKM tidak serta merta memanfaatkan hutan sebanyak-banyaknya. Namun, masyarakat hanya memanfaatkan hasil hutan seperlunya atas aturan wilayah yang telah disepakati bersama.
“Kami juga memiliki aturan. Aturan berladang, berkebun, berburu, aturan mengambil gaharu kami memiliki aturan tersendiri dalam memanfaatkan alam. Tapi pemerintah juga memiliki aturan sendiri sehingga bagaimana hal itu menjamin kebutuhan masyarakat,” ulasnya.
“Kami memiliki konsep setiap wilayah adat pasti ada yang dilindungi untuk peruntukan tertentu dengan alasan tertentu. Setiap suku Dayak memiliki istilah berbeda dalam menyebut wilayah khusus untuk dimanfaatkan,” urainya.
Menurut Dolvina, semoga prestasi ini menjadi penyemangat FoMMA meningkatkan pengabdian dalam menjaga kelestarian bagian terbesar hutan Kalimantan. “Sudah banyak, cuma yang prestasi paling membanggakan ada penghargaan Equator Prize ini. Ini tentu sangat membanggakan karena penghargaan ini berskala internasional. Di balik kerja keras FoMMA dan ketua adat, akhirnya dunia bisa melihat bagaimana perjuangan kami selama ini,” jelasnya.
Ibau Ala, kepala Adat Besar Apou Kayan menjelaskan, prestasi tersebut merupakan sinegitas yang solid. “Tentunya saya sangat bangga sekali, dengan keberhasilan FoMMA mendapatkan penghargaan Equator Prize dari PBB. Tentu hal ini akan semakin memotivasi kami untuk melestarikan TNKM ini,” kata Ibau, Rabu 29 Juli lalu.Tersenyum. Ketua suku adat Dayak Lundayeh, Paulus Balapang, yang juga merupakan anggota Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kalyan Mentarang. Foto: Radar Tarakan
Melindungi hak masyarakat adat
Didirikannya FoMMA bertujuan untuk mengatur dan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam mendapatkan dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang mendiami kawasan sekitar TNKM.
“Pembentukan FoMMA ini juga disebabkan adanya keprihatinan yang mendalam terhadap hak adat masyarakat di TNKM yang diabaikan bahkan akan disangkal dalam sistem pengelolaan pemerintah. Karena itu, masyarakat adat di kawasan TNKM terus berupaya, agar pengalaman pahit masyarakat adat berhubungan dengan sistem pengelolaan taman nasional di Indonesia tidak terulang lagi, dan mendukung sepenuhnya pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian alam dan mengakui hak-hak masyarakat adat,” sambungnya.
Hal itu juga tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat di kawasan TNKM bahwa tujuan TNKM sebagai kawasan konservasi akan dapat tercapai jika masyarakat di kawasan terlibat dan bertanggung jawab penuh dalam perencanaan dan pengelolaan TNKM. Selain itu, menurutnya, keterlibatan dan tanggung jawab penuh dari masyarakat itu hanya mungkin terjadi apabila hak masyarakat adat terhadap wilayah itu mendapat pengakuan.
Ia menuturkan, sejauh ini tantangan FoMMA masih berkutat pada luasnya kawasan TNKM yang menjulang sampai ke perbatasan negara. Sehingga hal tersebut tentunya, cukup menyulitkan FoMMA dalam melakukan pengawasan optimal. Walau demikian, sejauh ini pengawasan dapat dilakukan dengan sinergitas antara FoMMA dan pemerintah.
“Salah satu tantangan FoMMA adalah ini adalah kawasan perbatasan dan TNKM sendiri merupakan area cukup luas. Sehingga akses menuju ke sana cukup sulit. Jadi dalam setiap lembaga adat ini kan adalah bagian dari anggota FoMMA di wilayah adat. Kami saling berkoordinasi lalu soal pengamanan itu memang seharusnya menjadi peran masyarakat adat di sana. Tapi kami bersyukur pemerintah selalu membantu FoMMA dalam menjalankan tanggung jawab ini,” sambungnya.
Meski demikian, ia mengakui jika saat ini peran pemerintah daerah lebih besar daripada pemerintah pusat dalam pengelolaan dan pengawasan di wilayah TNKM.
“Selama ini di lembaga kolaboratif ini, sepertinya Pemerintah Kabupaten Malinau lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk membiayai lembaga kolaboratif ini. Tantangan bagi kami sendiri, bagaimana transfer kepemimpinan adat ini pada kelompok muda,” jelasnya.
“Sumber anggarannya dari bantuan lembaga-lembaga mitra seperti WWF atau pemerintah baik dari maupun pusat,” pungkasnya.
Pahlawan lingkungan
Bupati Malinau, Dr. Yansen TP, M.Si, mengaku jika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malinau sepenuhnya mendukung FoMMA yang secara berkesinambungan membantu pengelolaan TNKM Kayan Mentarang.
“Ini harus kita sadari dan pahami bersama, bagi Pemda Malinau, dan khusus bagi saya, hutan itu bukan sesuatu yang sederhana. Hutan itu adalah kehidupan. Artinya itu terjaga dengan baik, eksistensi bermasyarakat. Oleh sebab itu, jangan kita berharap manfaat dari hutan itu, tapi kita enggak menjaga hutan. Ini bicara kesinambungan pembangunan,” ujar Yansen.
Menurutnya jika hutan dijaga, maka akan berdampak pada kehidupan masyarakat Kaltara. Hutan di Malinau, kata Yansen, juga menjadi sumber air bagi 4 kabupaten di Kaltara. “Bisa dibayangkan kalau hutannya gundul, air pasti akan hilang tampungannya, kemarau, kerusakan, banjir dan kehancuran. Hutan itu sangat mendasar bagi hidup kita,” jelasnya.
Yansen yang tergabung dalam Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif (DP3K) TNKM Kayan Mentarang berharap perhatian pemerintah pusat pada hutan di Malinau.
“Kita harus mengangkat ini ke tingkat internasional. Jadi sebagai paru-paru, juga ada imbangannya, dari negara-negara yang menikmatinya, menikmati udaranya. Harus sadar dengan itu. Kita menjaga hutan. Kebijakan itu yang diharapkan dari pemerintah pusat. Jangan hanya isunya. Bagaimana menjaganya, dukung lembaga yang melakukan konservasi, buat kebijakan, buat pembinaan. Hasilnya kesatuan hutan menjadi aset nasional. Oleh sebab itu, pemerintah harus menunjukkan formulasi DAU (dana alokasi umum),” jelasnya lagi.
Sebelumnya pihaknya telah mendorong formulasi itu. Hanya belum mendapat respons dari pemerintah pusat.
Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Haryanto R. Putro, MS, dilibatkan dalam merumuskan formulasi itu. Ia bertindak sebagai tenaga ahli kajian alokasi transfer daerah melalui formula DAU Pemkab Malinau tahun 2018. Setidaknya dalam kajian terungkap lahan konservasi mencapai luas 3,3 juta hektare.
“Karbon di hutan alam Malinau berkisar antara 133–235 ton karbon per hektare, jika dibandingkan perkebunan sawit, yang hanya 39 ton per hektare. Maka, perbandingan nilai karbon yang dimiliki hutan alam Malinau dengan sawit itu 3-6 kali lipat. Nilai aset konservasi di Malinau, dilihat dari perhitungan terendah, diperkirakan aset di Malinau itu sudah USD 60-78 juta.”
Lebih lanjut Haryanto menjelaskan, nilai-nilai aset itulah yang perlu dijaga. Dalam menjaga tersebut, kewenangannya ada di provinsi dan pusat, akan tetapi jika tidak didukung oleh masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjaga hutan, maka akan percuma juga.
Memusyawarakan pengelolaan hutan
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan, Hasan Basri Mursali, menjelaskan sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diterbitkan kewenangan kehutanan berada di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Namun demikian Pemkab Nunukan telah melakukan upaya pembinaan bagi masyarakat yg berada di dalam atau di sekitar TNKM. Pembinaan tersebeut dilakukan mengingat keberadaan masyarakat di dalamnya jauh sebelum TNKM ditetapkan oleh pemerintah.
“Kebijakan pembinaan yang dilakukan di antaranya melakukan pembinaan terhadap pembangunan. Pertanian organik yang secara turun temurun telah dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Lundayeh, pembinaan terkait pembangunan pariwisata,” ungkapnya September 2020 lalu.
Upaya pelestarian TNKM yang dilakukan dengan melibatkan multi-stakeholder, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten bahkan lembaga nonpemerintah yang peduli soal perlindungan dan konservasi serta pemberdayaan masyarakat adat.
“TNKM merupakan aset yang sangat berharga karena kaya akan biodiversity dan sebagai tempat kehidupan semua makhluk hidup, termasuk masyarakat yang ada di dalamnya. Pemkab Nunukan dan Pemkab Malinau, FoMMA beserta dengan Balai TNKM membentuk sebuah kelembagaan bersama yang disebut DP3K TNKM yang di SK-kan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. DP3K TNKM ini sebagai wadah dalam memusyawarahkan pengelolaan bersama mulai dari sisi perencanaan, pelaksanaan, controling dan evaluasi program dan kegiatan bersama,” ulasnya.
“Salah satunya mereka menginginkan pertanian organik dan pelestarian TNKM berjalan secara seimbang. Serta bagaimana pengelolaan pariwisata dilakukan dan melibatkan masyarakat adat tersebut. Keberpihakan lainnya adalah dengan merekrut putra-putri masyarakat adat yang memiliki kemampuan untuk menjadi bagian di dalam pengelolaan, sebagai penyuluh dan tenaga konservasi bersama dengan staf Balai TNKM dengan dibekali oleh pendidikan dan keterampilan,” sambungnya.
Menurutnya, pengelolaan kolaboratif memberikan kontribusi bagi pembangunan dan pelestarian kawasan konservasi. Dua pemda melakukan pembangunan dengan koordinasi Kementerian LHK. Koridor-koridor pembangunan diatur melalui keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK. 348/KSDAE-SET/2015 tentang Zonasi TNKM Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Sehingga melalui pengaturan zonasi tersebutlah pembangunan dapat berjalan dengan baik dengan tidak meninggalkan kegiatan-kegiatan konservasi yang menjadi program kementerian LHK ke depan.
“Masyarakat adat tetap mejadi bagian terpenting di dalam pengelolaan dan menjaga kelestarian. Mereka adalah pejuang-pejuang konservasi dan penjaga TNKM yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai konservasi dan keberadaan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Jadi ke depannya masyarakat justru akan semakin memiliki kesempatan yang luas untuk terus memberikan kontribusi terhadap keberadaan TNKM itu sendiri. TNKM juga merupakan laboratorium hidup bagi masyarakat bahkan para peneliti-peneliti baik, dari dalam dan luar negeri. Apalagi pengembangan pariwisata dan pembangunan pertanian organik dan pemberdayaan potensi lokal (garam gunung, kerajinan rotan, tenun dan anyaman) telah menjadi komitmen bersama untuk terus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan,” ulasnya.Fasilitas pembuatan garam yang dikelola masyarakat desa di dalam kawasan Taman Nasional Kalyan Mentarang (TNKM). Foto: Balai Taman Nasional Kalyan Mentarang (TNKM)
Dampingan dari WWF
Organisasi konservasi dunia, World Widlife Fund, yang telah memulai kegiatain di TNKM sejak tahun 1991 bersama Yayasan Ford, bertindak sebagai fasilitator teknis, mendukung kegiatan atau pertemuan sesuai kebutuhan dan jika diminta khususnya mendukung pertemuan DP3K sebagai dewan untuk menjalankan kolaborasi di TNKM.
WWF bermitra dengan FoMMA dan tetap mendukung proses yang telah berlangsung dan menjaga agar komunikasi selalu terbuka antar semua pihak. Jika juga tersedia anggaran maka beberapa kegiatan terutama oleh FoMMA didukung dengan dana oleh WWF Indonesia dalam rangka kemitraan demi pengelolaan kolaboratif.
“Masyarakat adat di TNKM sangat kuat dalam menjaga tradisi dan nilai adat, dan masyarakat adat juga bersatu dalam upaya advokasi pengakuan wilayah adat, hutan adat dan perlindungan kearifan tradisional dan praktik konservasi. Organisasi FoMMA adalah buktinya, setelah 20 tahun masih aktif, dipimpin oleh tokoh adat, dan baru menerima penghargaan UNDP Equator Prize tahun 2020,” ungkap Cristina Eghenter, Wakil Direktur WWF Indonesia untuk Kepemerintahan dan Pembangunan Sosial.
Koordinasi, kunci keberhasilan pengawasan
TNKM merupakan salah satu taman terbesar di Kalimantan bahkan Indonesia. Sehingga dengan luas TNKM hingga ke perbatasan negara, diperlukan kerjasama secara kolaboratif antar lembaga dan organisasi. Sehingga sistem pengawasan kolaboratif yang diterapkan dalam pengawasan TNKM menghasilkan hal positif pada kelestarian keanekaragaman hayati TNKM.
Saat dikonfirmasi, Kepala Balai TNKM Johnny Lagawurin menuturkan, ditetapkannya TNKM berdasarkan 3 prinsip. Yakni perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Ketiga prinsip inilah yang membuat hingga kini TNKM tetap terjaga.
“TNKM ini kan merupakan kawasan yang ditetapkan pemerintah, sebagai kawasan taman nasional. Tentunya, pengelolaannya itu harus dilakukan seminim-minimnya. Sesuai undang-undang nomor 5 tahun 2010 tentang pengelolaan kawasan konservasi, ada 3 prinsip di dalamnya, pertama adalah perlindungan, kami melindungi segala, apa yang di dalam kawasan itu. Baik keanekaragaman hayatinya, baik keunikannya, baik ekosistemnya, maupun ekologi yang membentuk kawasan itu,” ujar Johnny Selasa 28 Juli 2020 lalu.
“Kemudian pelestarian. Tentunya, kami menjaga supaya semua yang ada di dalam itu bisa lestari untuk jangka panjang antar generasi. Apapun yang terdapat di dalamnya, tidak terjadi kemunduran dari sisi ancaman kepunahan. Jadi kalau kita berbicara Banteng Kalimantan, bagaimana Banteng di TNKM setiap tahun harus mengalami perkembangan populasinya. Untuk meningkatkan populasi ini, kita juga harus mampu mengintervensi habitatnya. Supaya habitatnya, dipertahankan. Jangan sampai, padang rumput yang menjadi sumber pakannya, berubah fungsi, bukan lagi menjadi padang rumput yang alami,” sambung Johnny.
“Terakhir adalah pemanfaatan secara terbatas. Pemanfatan secara terbatas ini dengan cara mengambil sesuai kebutuhan dan ada kawasan yang tidak boleh dimanfaatkan. Juga ada satwa tertentu yang dilarang diburu ada juga yang yang dibolehkan. Misalnya babi hutan, dan jenis-jenis ikan,” lanjut Johnny.Perjuangan petugas Polisi Hutan menyisir salah satu sungai di Kawasan Taman Nasional Kalyan Mentarang (TNKM) sebagai bagian dari patroli tahunan. Foto: Balai Taman Nasional Kalyan Mentarang
Ia mengakui sejauh ini pemerintah tetap memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk memanfaatkan sumber alam secukupnya. “Selama ini kami mengakui kearifan sosial, adat dan lokal banyak sekali yang sejalan dengan konsep kawasan konservasi. Jadi tidak ada masalah sebenarnya. Di samping itu, konteks pemanfaatan terbatas ada yang namanya pengembangan wisatawan. Destinasi wisata. Kita jangan melihat TNKM saat ini seperti taman lain yang sudah nyaman terdapat segala aktivitasnya. Kalau ingin merasakan sensasi hutan sebenarnya, di sinilah tempatnya,” tukasnya.
Meski mengakui banyaknya objek wisata yang terdapat di dalam kawasan TNKM, namun pihaknya menyadari jika hal tersebut tidak dapat digunakan secara maksimal. Hal itu disebabkan sulit mengakses TNKM serta mahalnya biaya yang harus digelontorkan pengunjung.
Sehingga menurutnya, objek tersebut tidak dapat dirasakan masyarakat secara umum. “Dari suatu sisi mungkin orang mengatakan, apa manfaat TNKM kalau tidak dapat menjadi tempat berwisata. Persoalannya bukan tidak memperbolehkan orang datang, boleh. Tapi siapa yang mau datang. Dengan biaya yang besar dan medan yang cukup menantang, itu membuat hanya orang tertentu yang berani berwisata ke TNKM tapi tidak untuk secara umum,” jelasnya.
Ia menambahkan, sejauh ini koordinasi antarlembaga berjalan cukup baik dalam pengelolaan maupun pengawasan. Meski demikian, ia tidak memungkiri dalam perjalanannya masih adanya persilangan pendapat antar pemerintah dan masyarakat adat. Selama ini koordinasi berjalan cukup baik.
“Sejauh ini kami hampir tidak menemukan kendala dalam pengawasan. Ini berkat kolaborasi antara masyarakat dan FoMMA untuk bersama-sama menjaga TNKM. Karena kami tahu bahwa, pembangunan ini terus berlanjut. 5 tahun ke depan akan seperti apa akses menuju TNKM,” urainya.
Dengan semakin besarnya aktivitas pembangunan, dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi TNKM. Sehingga, ia menegaskan jika setiap tahun Balai TNKM terus berupaya dan berinovasi dalam pengawasannya.
“Tentu tantangan makin berat, kalau jalan sudah mulus pasti orang menuju ke sana akan semakin banyak. Nah ini yang harus diperhatikan sehingga setiap tahun kami terus meningkatkan sistem pengawasannya,” jelasnya.
Liputan ini merupakan kolaborasi antara Ekuatorial dan Radar Tarakan yang didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.