Sebagian masyarakat Provinsi Gorontalo mempercayai Julang Sulawesi sebagai burung penolak bala. Disatu sisi spesies ini diburu, disisi lain, habitat mereka digunduli. Namun pelestaraian yang berbasis data dan menitikberatkan edukasi dan partisipasi masyarakat membuahkan harapan baru.

Oleh Franco Bravo Dengo

Dari balik pepohonan yang menjulang tinggi, samar-samar terdengar suara kepakan sayap, seperti deru helikopter yang siap terbang, makin lama makin jelas; tiba-tiba sepasang Julang Sulawesi (Rhyticeros Cassidix) muncul melintas tepat di atas kepala.

Sore itu, Kamis (17/9/2020), merupakan kali pertama saya bertemu langsung dengan Julang Sulawesi di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), wilayah Resort Tulabolo-Pinogu, Kecamatan Suwawa, Gorontalo. Ditemani petugas Balai TNBNW, saya sudah beberapa hari melakukan pemantauan di sana.

TNBNW adalah rumah besar bagi satwa-satwa endemik sulawesi seperti Macrocepalon Maleo, Anoa, Musang Sulawesi dan beberapa spesies unik lainnya. Julang Sulawesi–atau orang lokal Gorontalo menyebutnya Alo—menjadi salah satu penghuni tetap di Taman Nasional seluas 282.008,757 hektare, taman nasional terluas di Pulau Sulawesi.

Baca juga: Nasib Anoa di pulau Buton berada di ujung tanduk

Namun, sejak beberapa tahun belakangan, keberadaan Julang Sulawesi kian langka.

“Akhir-akhir ini sudah susah ditemui. Kalaupun ada, tinggal sisa-sisa kepalanya saja di rumah-rumah warga,” celoteh Ardin Mokodompit (29), salah seorang anggota Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan (MMP) di Resort Tulabolo-Pinogu, Balai TNBNW.

Julang Sulawesi adalah burung yang masuk dalam kelompok 13 jenis rangkong di Indonesia. Sejak tahun 2012, lembaga konservasi dunia the International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengategorikan burung pemakan buah ini berstatus rentan terutama karena perburuan yang masif.

Tahun 2015, Ardin bergabung menjadi MMP, kelompok masyarakat sekitar hutan yang dibentuk dan menjadi bagian dari Balai TNBNW. Sebelum itu, Ardin menghabiskan masa remajanya sebagai seorang pemburu burung-burung eksotis seperti Julang Sulawesi. Dia bercerita, kala itu Alo bisa ditemui di mana-mana; di belakang rumah, di kebun maupun di pohon-pohon sekitar perkampungan.

Mudah bagi dia dan teman-temannya membidik kepala Alo dengan senapan angin.

Berbeda dengan Rangkong Gading (Rhinoplaxvigil) yang kepalanya dihargai hingga ratusan juta rupiah, kepala Julang Sulawesi justru tak berharga bagi para pemburu. Yang mereka incar hanyalah dagingnya saja karena burung jenis ini berukuran besar. Rangkong Indonesia, organisasi riset dan konservasi rangkong di Indonesia memperkirakan, panjang tubuhnya bisa mencapai sekitar 70-104 cm dengan berat sekitar 2,3-2,5 kilogram.

“Dagingnya jadi santapan pas lagi pesta miras dengan teman-teman. Kepalanya? Dibuang!” ujar Ardin.

Banyak warga yang tinggal di sekitar TNBNW menjadikan perburuan sebagai hobi. Biasanya, kata Ardin, semakin langka dan eksotik satwa yang berhasil ditembak, maka semakin bangga dan puas para pemburu. Padahal, rangkong masuk dalam kategori satwa yang dilindungi, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam webinar bertema “Kenapa Harus Kenal Rangkong Sulawesi?”, hari Jumat (18/9/2020) lalu, Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia menjelaskan, interaksi antara manusia dengan rangkong diketahui terjadi sejak lama. Penilaian itu dibuktikan dengan adanya relief di Candi Prambanan sejak 850 Masehi. Kemudian, pada abad 14 di masa pemerintahan Dinasti Ming, paruh rangkong gading sudah dijadikan target perburuan.

Selain itu, menurut Yoyok, masyarakat di beberapa tempat di Indonesia menjadikan rangkong sebagai rujukan simbol dan nilai luhur. Cara pengambilan beserta orang yang mengambil pun tidak sembarangan. Namun belakangan, dia menilai, nilai luhur itu mulai pudar yang digantikan komersialisasi.

“Rangkong sudah dilindungi sejak zaman Belanda. Meski demikian ancamannya masih tinggi,” kata Yoyok.

Sepasang Julang Sulawesi bertengger pada sebuah ranting pohon di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Gorontalo, Sulawesi, Kamis (19/3/2020). Foto: Ardin Mokodompit/anggota Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Credit: Ardin Mokodompit/anggota Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Credit: Ardin Mokodompit/anggota Masyarakat Mitra Polhut (MMP)

Masyarakat Gorontalo, khususnya yang tinggal di sekitar hutan-hutan primer maupun sekunder mempunyai kepercayaan bahwa kepala Julang Sulawesi bisa menjadi penolak bala. Tak heran, di banyak rumah warga akan ditemui kepala-kepala Julang Sulawesi yang bergelantungan.

Hal tersebut turut dibuktikan oleh penelitian dan survey yang dilakukan oleh Burung Indonesia pada tahun 2014-2015 di hutan alam Paguat-Popayato, Gorontalo. Manager Program Burung Indonesia Gorontalo, Amsurya Warman Amsa menuturkan, saat melakukan identifikasi mereka menemukan adanya keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar tingginya perburuan tersebut.

“Di desa-desa itu ada semacam kepercayaan bahwa kepala rangkong bisa menangkal bala. Ditaruh di depan rumah, kepalanya digantung,” jelas Amsurya, saat diwawancarai, Jumat (2/10/2020).

Burung Indonesia melakukan survey di lima lokasi dengan menggunakan metode Variable Particular Plot (VCP) dalam pengambilan data, kemudian menggunakan software distance dalam analisa data populasi. Hasilnya: saat itu Julang Sulawesi masih relatif mudah dijumpai di lokasi penelitian, dengan nilai perjumpaan 0,203; sementara nilai kepadatan Julang Sulawesi di hutan alam Paguat-Popayato yaitu 11.726/km2.

“Dari hasil survey itu. Julang Sulawesi cenderung masih mudah ditemui pada lokasi-lokasi tertentu,” jelas Amsurya.

Sembari melakukan riset, lanjut Amsurya, mereka juga melakukan edukasi-edukasi berupa sosialisasi kepada masyarakat tentang satwa dilindungi tersebut, untuk mengubah pola berpikir mereka dan dampak dari perburuan rangkong atas nama kepercayaan itu.

“Kami jelaskan kepada mereka, justru membunuh penolak bala bisa menjadi penyebab bala. Karena Julang Sulawesi itu membantu kita untuk menebar biji-biji di hutan, biar hutan tetap asri,” ujar Amsurya.

Burung Indonesia adalah organisasi konservasi berbasis nasional yang bekerja pada upaya konservasi burung, penelitian dan manajemen informasi, jaringan, komunikasi dan advokasi. Lembaga swadaya masyarakat ini sudah melakukan kegiatan riset dan survey di Gorontalo sejak tahun 2009, dan merupakan bagian dari kemitraan global BirdLife International yang memiliki 114 organisasi di seluruh dunia

Julang dan regenerasi hutan

Rangkong sering dijuluki sebagai “petani hutan”. Berdasarkan penelitian Burung Indonesia, jangkauan seekor rangkong dapat mencapai daerah seluas radius 100 km persegi. Dengan kata lain, burung gagah ini memiliki kesaktian menebarkan biji sejauh 100 km persegi. Kelebihan yang jarang dimiliki burung jenis lain. Mereka berandil besar dalam regenerasi hutan.

Meski punya andil besar dalam kehidupan manusia, hutan-hutan yang dipelihara rangkong masih saja dirusak oleh ulah manusia. Selain perburuan, penyebab lain menurunnya populasi Julang Sulawesi adalah degradasi hutan-hutan yang menjadi habitat mereka, baik disebabkan oleh maraknya pembalakan liar dan pertambangan.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) memperlihatkan Gorontalo kehilangan area hutan secara signifikan dari tahun ke tahun: pada tahun 2000 luas kawasan hutan alam Provinsi Gorontalo seluas 823,390 hektare (ha). Sementara pada tahun 2009 menurun 735,578 ha, tahun 2013 menjadi 715,293 ha, dan tahun 2017 tersisa 649,179 ha.

Sementara data Badan Pusat Statistik tahun 2016 menunjukkkan di Gorontalo terdapat 24 izin pertambangan bahan mineral, yang terdiri dari 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 3 izin Kontrak Karya (KK).

Di TNBNW bahkan terdapat satu perusahaan tambang terbesar yaitu PT Gorontalo Mineral dengan kontrak karya seluas 36.070 hektar.  Lokasi perusahaan tambang tersebut sebelumnya merupakan bagian dari kawasan hutan TNBNW, sebelum dialihfungsikan menjadi kawasan bukan hutan tahun 2010 silam.

Perubahan fungsi hutan itu diusulkan oleh Gubernur Gorontalo (Nomor 522/Bappeda/422/XI/2008, 9 Desember 2008 dan Nomor 910/Bappeda/050/IV/2009, 27 April 2009). Kemudian disahkan oleh Menteri Kehutanan saat itu, Rachmat Witoelar, dengan menerbitkan Surat Keputusan nomor 324/Menhut-II/2010.

Kehadiran perusahaan menjadi penyumbang terbesar deforestasi di wilayah tersebut. Belum termasuk perusahaan lain beserta pertambangan emas tanpa ijin (PETI), yang belum diketahui berapa luasnya.

Pada pertengahan tahun 2020, peride bulan Juni-Juli, wilayah di sekitar TNBNW dilanda banjir dan longsor secara beruntun.

Badan Penanggulanan Bencana Daerah Provinsi Gorontalo menyebutkan, banjir beruntun itu berdampak pada 31.679 jiwa yang tersebar di Kota Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, dan juga Kabupaten Boalemo.

Lembaga pemerhati lingkungan Gorontalo seperti Jaring Advokasi Sumber Daya Alam (Japesda) menilai, bala berupa banjir ini disebabkan oleh rusaknya hutan di bagian hulu sungai, yang merupakan habitat si burung penolak bala.

“Kehadiran konsesi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, ikut memberikan sumbangsih besar terhadap deforestasi di Gorontalo,” kata Direktur Japesda, Nurain Lapolo, dalam siaran pers bertanggal 8 Juli 2020.

Japesda pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah Provinsi Gorontalo, untuk segera mengevaluasi konsesi perizinan bagi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Serta melakukan regenerasi kawasan hutan dan lahan yang telah rusak parah.

“Pemerintah harus menindak tegas pelaku dan korporasi perusak kawasan hutan dan lahan, seperti perusahaan yang mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, pertanian, serta peruntukkan lainnya,” tegas Nurain.

Sementara Hanom Bashari, ahli konservasi burung menjelaskan, Julang Sulawesi bukan jenis yang umum diburu untuk diperdagangkan karena bukan komoditas yang laku dijual. Menurutnya, keterancaman jenis ini terutama karena berkurangnya hutan primer yang menjadi habitat utama.

“Deforestasi membuat Julang Sulawesi ini mengalami penurunan sampai 40% dalam lebih dari 3 generasi kehidupan mereka belakangan ini,” katanya.

Hanom sudah malang melintang di hutan-hutan Sulawesi. Dia pernah bergabung dengan Burung Indonesia dalam program konservasi burung endemik Sulawesi di Gorontalo dan sekitarnya. Selain itu, dia juga pernah menjadi bagian dari Birdlife Indonesia, organisasi konservasi internasional yang bergiat dengan keterlibatan masyarakat, untuk melindungi semua jenis burung di dunia dan habitatnya.

“Hal kritis dari kehidupan Julang yaitu saat mereka berbiak. Mereka butuh pohon-pohon besar dan tinggi untuk mendapatkan lubang sarang. Harusnya itu tersedia di kawasan-kawasan konservasi,” terang Hanom.

Hanom menyebut, selama ini belum banyak yang yang memiliki perhatian pada konservasi Julang Sulawesi. Baginya, pengaruh perburuan dan perdagangan tidak terlalu signifikan dalam penurunan jumlah Julang Sulawesi.

“Mempertahankan hutan yang ada adalah yang utama. “

Kepala Julang Sulawesi yang ditemui pada sebuah rumah di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Desa Tulabolo Barat, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Rabu (30/9/2020). Agar awet dan tidak busuk, kepala Julang Sulawesi diasapi terlebih dahulu. Foto: Franco Bravo Dengo Credit: Franco Bravo Dengo Credit: Franco Bravo Dengo

Konservasi kolaboratif

Sejak lima tahun terakhir, Balai TNBNW mulai menerapkan formula baru dalam mengelola kawasan taman nasional. Pengelolaan berbasis tapak atau Resort Based Management (RBM) yakni model pengelolaan kawasan konservasi yang mengedepankan resort sebagai bagian paling penting dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta melibatkan masyarakat sebagai subyek.

Kepala Balai TNBNW, Supriyanto menerangkan, RBM terlaksana berkat kolaborasi dari berbagai pihak,termasuk lembaga-lembaga konservasi seperti Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS), sebuah proyek yang dirancang untuk mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya dalam pengelolaan konservasi di Sulawesi, Wild Conservation Society (WCS), pemerintah daerah hingga pemerintah desa, serta mitra-mitra lainnya.

Selama ini, lanjut Supriyanto, petugas taman nasional sering berbenturan dengan masyarakat di sekitar kawasan. Menurutnya, melalui RBM, pihak balai bisa memetakan masalah dan mencari solusi sesuai persoalan di wilayah resort masing-masing.

“Dampak dari kegiatan itu, saat ini kita sudah memiliki data. Dan kita sudah mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di dalam kawasan,” ungkap Supriyanto.

Tahun 2020 ini, Balai TNBNW bersama lembaga-lembaga mempublikasikan data-data keanekaragaman hayati yang ada di kawasan TNBNW, melalui sebuah buku berjudul “Status Keanekaragaman Jenis Satwa dan Tumbuhan”.

Dalam buku tersebut, sebanyak 206 jenis burung tercatat keberadaannya di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone: 81 jenis di merupakan endemik Pulau Sulawesi, 58 jenis burung dilindungi, dan 10 jenis di antaranya berstatus terancam secara global, salah satunya adalah Julang Sulawesi.

Dengan data dan pemetaan permasalahan yang sudah dilakukan di level resort, lanjut Supriyanto, pihak balai akan menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pengelolaan kawasan. “Dan masyarakat akan memperoleh nilai ekonomi, kesejahteraan, karena adanya Taman Nasional itu sendiri.”

Dia menambahkan, beberapa contoh kegiatan konservasi kolaboratif yang sudah berhasil dilakukan di beberapa tempat, seperti di wilayah resort Tulabolo-Pinogu. Di sana, masyarakat diajak terlibat dalam mengelola kawasan melalui ekowisata. Masyarakat yang dulunya menduduki kawasan TNBNW, merambah hutan dan berburu, kini berperan aktif menjaga kawasan konservasi.

“Mereka yang dulunya lawan, kini menjadi kawan,” imbuh Supriyanto.

Ada enam desa di sekitar TNBNW wilayah Gorontalo yang mulai mengembangkan ekowisata, masing-masing Desa Tunggulo, Tulabulo, Ilomata, Ulantha, Bangio, dan Poduwoma di Kabupaten Bone Bolango.

Lion Linggula (42) adalah salah satu ketua kelompok ekowisata yang dibentuk Balai TNBNW. Dulu, ia bersama beberapa warga lain menduduki kawasan TNBNW dan termasuk warga yang paling menentang petugas.

“Pokoknya, yang namanya petugas TNBNW itu musuh kami. Soalnya begini, ketika kami diminta keluar dari kawasan, terus kami kerja apa?” kata mantan kepala desa itu.

Pemberdayaan masyarakat melalui ekowisata, ujar Lion, akhirnya membuat ia luluh. Kelompok “Maleo” yang terdiri dari masyarakat di Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur diberikan pelatihan dan pendampingan. Melalui dana hibah yang difasilitasi proyek EPASS, kelompok diberikan modal untuk mengembangkan usaha ekowisata seperti pengembangan homestay desa, kuliner, dan souvenir.

Masyarakat Tulabolo menjadi pintu masuk wisata alam Hungayono, wisata yang saat ini menjadi primadona, dan merupakan salah satu destinasi wisata andalan Provinsi Gorontalo. Keberadaan satwa-satwa unik seperti Burung Maleo dan Julang Sulawesi menjadi magnit bagi wisatawan, khususnya wisatawan dari luar negeri. Masyarakat pun mendapatkan dampak ekonomi langsung dari pengelolaan kolaboratif tersebut.

Lion mengungkapkan, masyarakat di Desa Tulabolo dan sekitarnya memang memiliki kepercayaan menjadikan kepala Julang Sulawesi sebagai penolak bala.

“Dulu. Sekarang, kami orang pertama yang akan melindunginya,” tegasnya.

Meski begitu, Kepala Resort Tulabolo-Pinogu, Darsono, tidak menafikan jika kebiasaan memburu satwa dilindungi oleh masyarakat masih lumayan tinggi. Selama ini bahkan pihak resort beberapa kali sempat bersitegang dengan para pemburu yang bebal.

“Di kantor itu, ada tiga senapan angin yang kami sita. Kebanyakan para pemburu ini hanya ingin gagah-gagahan saja, hanya ikut-ikutan,” kata Darsono.

Dia mengatakan ada satu desa yang hampir semua pemudanya memiliki hobi memburu. Pihak resort pun mencoba mengubah paradigma para pemburu, dengan melakukan sosialisasi tentang status Julang Sulawesi yang kini rentan menuju kepunahan.

“Mereka kami edukasi, dan mengalihkan hobi mereka itu ke arah yang positif. Beberapa di antaranya kami ajak menjadi mitra, seperti Ardin,” jelasnya.

Kini, Ardin bersulih menjadi pelindung satwa.Selain menjadi anggota MMP, Ardin juga merupakan salah seorang pemandu wisata di desa ekowisata tersebut. Dia sudah banyak mendampingi turis dari berbagai negara. Memandu mereka melihat satwa-satwa cantik di dalam kawasan.

Namun, dia mengaku masih kerap teringat dosa-dosanya semasa menjadi pemburu. Apalagi ketika para turis meminta dia untuk menunjukkan rupa burung Julang Sulawesi, yang belakangan langka disebabkan perbuatannya dulu.

“Masa iya, mereka hanya saya perlihatkan sisa-sisa kepala (Julang Sulawesi)?”.

Baca juga: Perdagangan ilegal satwa liar di Sulawesi Selatan masih marak, media sosial turut berperan

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.