Baik pedagang maupun pembeli mengakui, tidak punya banyak pengetahuan tentang hewan liar yang punah maupun dilindungi, sementara, mereka terus memperjualbelikan berbagai jenis hewan di pasar hobi. Kerjasama antara pemangku kepentingan dibutuhkan untuk menangani perdagangan hewan liar yang dilindungi.
Oleh Didit Hariyadi
Kicauan burung meramaikan Pasar Hobi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasar yang menjual berbagai jenis burung ini menarik banyak pengunjung dari berbagai daerah dari Sulawesi Selatan hingga Sulawesi Barat.
Seorang penjual, Hedar 39 tahun, mengatakan bermacam jenis burung yang ia jual didapatkan secara daring dari Sulawesi dan Pulau Jawa yang dikirimkan kepadanya melalui kargo.
“Kami komunikasi lewat telepon,” kata Hedar, Minggu, 11 Oktober 2020. Menurutnya, selain para pembeli yang datang ke Pasar Hobi, ada juga yang memesan melalui telepon atau WhatsApp.
Namun, ia mengaku tidak mengenal jenis burung apa saja yang dilindungi dan dilarang oleh pemerintah untuk dipelihara maupun diperdagangkan.
“Kita disini tidak tahu hewan apa saja yang dilarang dipelihara. Harusnya BKSDA mengedukasi pedagang dan pembeli,” imbuhnya, merujuk kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan.
Ia mencontohkan pasar burung di Jakarta, dimana terpampang jelas spanduk berisi daftar hewan yang dilindungi dan mengharapkan hal serupa dipasang di Pasar Hobi, agar semua masyarakat tahu hewan apa saja yang dilindungi.
“Biasanya ada orang yang bawa ke sini (Pasar Hobi) kemudian saya beli,” ucap Abidin, lelaki 25 tahun yang juga penjual burung di Pasar Hobi, ketika ditanya dari mana ia memperoleh barang yang diperdagangkannya, Minggu 11 Oktober 2020
Dia berujar hewan yang diperdagangkan tersebut harganya bervariasi. Misalnya burung cucak hijau dijual seharga Rp 1,5 juta dan jalak putih sayap hitam dijual Rp 1,8 juta.
“Bermacam-macam burung yang saya jual,” tutur Abidin. Namun ia juga mengaku tak mengetahui apakah diantara hewan-hewan yang ia jual ,ada yang dilindungi.
Yang ia ketahui hanyalah bahwa menjual hewan yang dilindungi, risikonya besar, sedangkan untungnya hanya Rp 200 ribu- Rp 300 ribu. “Takut saya menjual hewan yang dilarang, untung sedikit, kalau di dapat masuk penjara,” katanya.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan, Thomas Nifinluri, tak memungkiri saat ini ada beberapa jenis satwa langka dan dilindungi masih diperjualbelikan.
Ia menyebutkan antara lain burung jenis Nuri Bayan, Tiong Nias, Kakatua Jambul Kuning, Nuri Maluku, dan Kasturi Kepala Hitam. Kemudian Elang Bondol, Kasturi Ternate, Kakatua Tanimbar dan Perkici Dora. Sementara di kelas primata, jenis Monyet Dare.
Daftar satwa yang dilindungi, termasuk jenis-jenis burung, sebenarnya tercantum dalam daftar yang disertakan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Makassar, Iman Hud mengatakan dalam kondisi new normal, pemerintah mengizinkan masyarakat beraktivitas termasuk di pasar, pusat perbelanjaan, dan warung kopi.
Dengan catatan harus tetap menerapkan protokol kesehatan, berdasarkan Peraturan Wali Kota Nomor 51 Tahun 2020 tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan. “Bagi yang melanggar, diberikan sanksi sosial yaitu membersihkan sampah,” ucap Iman.
Penggemar satwa langka
Bobi (nama samaran), adalah seorang yang gemar memelihara hewan. Ketika ditemui di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar Bobi mengatakan praktik jual–beli hewan langka lumrah terjadi.
Menurutnya, jika seseorang ingin memelihara hewan bisa memesan secara online atau langsung ke Pasar Hobi.
Bobi sendiri mengaku memelihara seekor buaya nova, reptil dari perairan Papua, sejak ia berukuran 20 centimeter dan kini sudah mencapai dua meter panjangnya. Ia mendapatkan buaya itu dari komunitas hewan di Sumatera secara online tahun 2018 seharga Rp 2 juta.
Anakan buaya nova itu dikirimkan kepadanya menggunakan layanan kargo standar, dimasukkan ke dalam boks yang diisi kertas koran.
Selain buaya, ia juga memiliki Kaka Tua Raja yang didapatkan dari kerabatnya. Burung yang berasal dari Pulau Irian dan Australia bagian Utara itu juga dipeliharanya sejak masih kecil dan disimpan di pekarangan rumah.
Namun Bobi juga mengatakan bahwa untuk memperoleh hewan langka juga tidak mudah.
“Susah dapat hewan langka karena sangat tertutup dan orang-orang tertentu yang main. Intinya cara mainnya rapih (sistematis),” sebut Bobi. “Sebenarnya tergantung keberuntungan. Soalnya kadang juga kalau dokumennya tidak tepat bisa bahaya.”
Kalau lolos syukur, kalau tidak biasanya sudah ditunggu polisi di bandara.
“Ada kepuasan tersendiri kalau punya hewan langka. Apalagi nama kita akan semakin dikenal komunitas kalau punya hewan-hewan langka,” imbuh Bobi yang masih memelihara hewan langka tersebut.
Narasumber lain Rei (juga nama samaran), mengatakan keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum menjadi hal terpenting jika ingin memelihara hewan yang dilindungi.
Ia mencontohkan di Pulau Irian, banyak oknum penegak hukum yang melakukan praktik penangkapan hewan-hewan dilindungi kemudian di bawa keluar pulau termasuk ke Makassar.
“Tapi biasanya untuk dipelihara saja, tidak dijual sama sekali. Hanya saja banyak juga yang kapok pelihara karena perawatan yang sangat susah. Mau di bawa ke dokter hewan juga bahaya, nanti malah diambil,” jelas Rei, yang juga memelihara hewan yang dilindungi secara ilegal.
Menanggapi hal itu, Thomas menjelaskan perdagangan satwa dilindungi secara ilegal merupakan ancaman serius bagi kelestarian satwa di Indonesia.
Untuk menjaga kelestarian satwa khususnya di Sulawesi Selatan dan Barat, maka diperlukan langkah strategis dan berkesinambungan, ujarnya. “Meski begitu, sudah diatur mengenai larangan memperjual belikan atau memelihara satwa yang dilindungi,” lanjut Thomas.
Untuk mencegah praktik perburuan hewan langka, kata dia, dilakukan patroli secara berkala yang sekaligus juga berfungsi memonitor keberadaan satwa langka di habitatnya.
Selain itu, BBKSDA juga bekerja sama dengan masyarakat untuk menjaga kelestarian satwanya. “Kita juga memasang papan imbauan dan larangan di sekitar habitat satwa yang tergolong dilindungi,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan melakukan penyuluhan ke masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian satwa.
“Kita lakukan operasi, baik yang dilakukan secara mandiri maupun hasil kerja sama dengan aparat penegak hukum,” tambahnya. Sementara untuk satwa sitaan, BBKSDA Sulsel melakukan upaya rehabilitasi sebelum kemudian dilepas ke habitat aslinya.
Dosen Laboratorium Konservasi Sumber Daya Hutan Universitas Hasanuddin Risma Illa Maulany, mengungkapkan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama mencegah perdagangan hewan dilindungi termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Pasalnya pengetahuan pedagang dan pembeli masih rendah.
Penegakan hukum
Berbagai faktor, diantaranya ekonomi, lingkungan (pergaulan), dan kurangnya edukasi, diduga berada dibalik kenyataan bahwa perdagangan satwa dilindungi masih terjadi.
Namun apapun penyebabnya, penerapan hukum yang tegas tetap diperlukan juga untuk memberantas perdagangan ini, atau paling tidak menguranginya. Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Sulawesi pun terus berupaya menangkap para pelaku.
Kepala Balai Gakkum Sulawesi, Dodi Kurniawan menambahkan pada 18 Oktober 2020, tim mengamankan tersangka LA yang memperdagangkan satwa dilindungi yaitu labi-labi moncong babi (carettochelys insculpta) sebanyak 1.301 ekor dalam keadaan hidup dan 32 ekor dalam keadaan mati.
“Sudah lama kita pantau tersangka LA,” tuturnya.
Menurutnya, labi-labi moncong babi itu berasal dari Timika, Papua, kemudian dengan menggunakan kapal tradisional dibawa lewat jalur laut ke Kendari, Sulawesi Tenggara, dan dari sana ke Pelabuhan Bajoe, di Kabupaten Bone untuk selanjutnya masuk ke Pasar Baru Daya, Makassar.
“Masyarakat yang melapor, ada perdagangan satwa yang dilindungi,” ucap Dodi. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
Saat ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyatakan berkas perkara LA sudah tahap dua dan lengkap (P-21). Selanjutnya menunggu jadwal sidang.
Risma mengatakan ada 13 hotspot perdagangan satwa yang tersebar di enam kecamatan di Makassar. Di Pasar Hobi ditemukan sekitar 50 toko yang umumnya memperdagangkan satwa dari kelompok aves, reptil, dan mamalia.
Namun pedagang mengaku menjual hewan tersebut lantaran tak mengetahui jika dilindungi. Oleh sebab itu, kata Risma, diperlukan peran pemerintah dalam penanggulangan perdagangan satwa liar.
Kemudian sulitnya mencari barang bukti di lapangan, sehingga pihak pemerintah dan penegak hukum harus bekerja sama dalam penertiban satwa-satwa dilindungi. “Pengawasan pintu masuk di pelabuhan dan bandara juga lemah, jadi perdagangan satwa liar masih marak,” ucap Risma.
Penelitian yang dilakukan tim Universitas Hasanuddin di tahun 2018 menunjukkan terdapat 62 jenis aves, reptile, dan mamalia di Indonesia, dengan total 2.642 individu dan jumlah tertinggi yang diperdagangkan berasal dari aves (37 spesies).
Dari jumlah tersebut ditemukan bahwa 53.2 persen berasal dari Indonesia, diantaranya 18 persen tergolong dalam jenis endemik Sulawesi dan 25 persen masuk satwa yang dilindungi secara nasional dan internasional. Kemudian 50 persen menunjukkan satwa yang diperdagangkan berasal dari alam serta sekitar 41 persen dari penangkaran.