Ketika mengikuti sebuah lokakarya daring, seorang editor dan penulis dari Indonesia, Sapariah Saturi menarik perhatian dengan warna hitam-hitam yang dikenakannya. Pilihan warna itu bagi pakaiannya itu memang ada alasannya, ujarnya. “Saya memakai hitam hitam untuk mencerminkan ancaman yang semakin tinggi yang dihadapi lingkungan di Indonesia.”
Ia kemudian mencontohkan salah satu laporan yang diterbitkan medianya, Mongabay Indonesia, mengenai bagaimana penduduk dusun Lamobolo di Morowali Utara, di Sulawesi Tengah, menduduki kantor perwakilan daerah disana untuk memprotes tidak adanya tindakan yang diambil pemerintah atas polusi yang diakibatkan oleh asap dari sebuah smelter. Smelter tersebut milik sebuah konsortium yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Jinsheng Mining, sebuah perusahaan asal Tiongkok.
Perjalanan ke Morowali memakan waktu beberapa hari, belum lagi dana yang diperlukan, imbuhnya.
Sapariah adalah satu diantara 57 peserta yang mengikuti lokakarya daring selama dua hari di bulan Maret yang didukung oleh Ford Foundation dan diadakan oleh Earth Journalism Network, China Dialogue dan the Society of Indonesian Environmental Journalists. Lokakarya tersebut difokuskan kepada bagaimana media meliput dampak sosial dan lingkungan dari investasi Tiongkok.
Lokakarya, yang diikuti oleh editor, wartawan serta perwakilan kelompok masyarakat madani dari Indonesia, membicarakan isu-isu terkait dengan investasi Tiongkok di Indonesia — yang jumlahnya besar. Menurut data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 17 persen dari investasi asing langsung (FDI) datang dari Tiongkok, sumber FDI terbesar kedua bagi Indonesia setelah Singapura.
Lokakarya ini difokuskan kepada Tiongkok terutama karena telah terjadi peningkatan perdagangan serta hubungan bilateral antar kedua negara di dasawarsa terakhir ini. Peningkatan yang didorong oleh kelebihan daya saing Tiongkok dalam bidang teknologi dan pembiayaan, serta dorongan besar-besaran di Indonesia dalam hal pengembangan dan pengeluaran infrastruktur.
“Pemerintahan Jokowi ingin sekali mendorong kemitraan publik-swasta dan inilah yang membawa Tiongkok ke dalam bidang ini,” ujar Jessica Liao dari Universitas North Carolina dan seorang pakar kebijakan luar negeri Tiongkok ketika menjelaskan hasil penelitiannya atas politik ekonomi investasi Tiongkok, terutama di “Belt and Road Initiative” di Asia Tenggara
Adi Renaldi, seorang wartawan freelance multimedia yang belum lama ini membuat liputan mengenai ketergantungan Indonesia terhadap batu bara, menceritakan dalam lokakarya ini mengenai tantangan yang dihadapinya ketika meliput.
“Pemerintah kurang transparan,” jelasnya. “ Saya tidak dapat mengakses beberapa dokumen, terutama dari perusahaan listrik negara PLN dan anak perusahaannya, Indonesia Power. Juga terdapat kekurangan informasi mengenai dampak kesehatannya.”
Tetapi, ketika data dapat diperoleh, Adi kemudian mengetahui bahwa di Banten, yang memiliki 19 pembangkit tenaga listrik batu bata — jumlah terbanyak bagi satu provinsi di Indonesia — infeksi pernafasan merupakan penyakit yang paling umum di sana. Data yang lebih khusus mengenai dampak lingkungan dari pembangkit tenaga listrik batu bara ini sulit untuk diperoleh, lanjutnya.
Wartawan freelance Fira Abdurachman, yang juga mengikuti lokakarya, telah menerbitkan laporan mengenai Belt and Road Initiative dan impor plastik. Ia juga berbagi mengenai tantangan yang harus dihadapinya ketika meliput mengenai isu-isu ini.
Wartawan freelance juga tidak selalu memiliki kemampuan maupun kewenangan untuk mengunjungi daerah-daerah terpencil dimana ketidakadilan lingkungan terjadi, jelas Fira dengan menambahkan bahwa lebih sulit lagi khususnya ketika pemerintah daerah menolak untuk membuka akses ke proyek atau daerah-daerah kunci kepada mereka.
Lu Lu Ning Hui, seorang wartawan senior dari Nitium Media, sebuah media in-depth yang berbasis di Hong Kong dan menyasar pembaca berbahasa Tiongkok di Tiongkok Daratan, Taiwan dan negara lainnya, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas negara tetapi juga mengakui bagaimana Covid-19 telah merubah lanskap tersebut.
“Carilah bantuan dari wartawan Tiongkok, cobalah berbagi pendapat dan mencari mana yang dapat dihubung-hubungkan,” ujar Hui memberi saran kepada peserta lokakarya dari Indonesia.
Agoeng Widjaja, seorang wartawan dan editor senior pada media Indonesia bernama Tempo, mengatakan bahwa walaupun banyak media melaporkan mengenai dampak ekonominya dahulu, Tempo lebih ingin fokus kepada dampak sosial dan lingkungannya dengan menggunakan penilaian dampak lingkungan proyek (EIA.)
“Media tidak pernah menguji EIA in secara independen. Ini adalah tantangan yang kita hadapi karena wartawan kesulitan mengakses data,” kata Agoeng. “Media atau wartawan tersebut kemudian tidak akan dapat menjalankan penelitian yang independen.”
Para peserta lokakarya juga membicarakan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam isu ini. Agoeng mengatakan bahwa model kolaborasi antara wartawan dan LSM yang ada sekarang ini harus dirubah — dan Tempo sudah mengerjakan proyek untuk mengumpulkan LSM, akademisi dan wartawan bersama-sama dari awal.
Hal ini diamini oleh Adi.
Secara keseluruhan, lokakarya ini membuka kesempatan bagi para wartawan, editor dan mereka yang dari masyarakat madani, untuk mengidentifikasi celah-celah pengetahuan dalam peliputan isu-isu ini, saling berbagi ide mengenai kolaborasi dan mendiskusikan bagaimana menangani tantangan yang kini dihadapi wartawan di lapangan.