Tak banyak film dokumenter yang ditayangkan bioskop-bioskop di Indonesia. Salah satu yang berhasil menembus batas tersebut adalah “Pulau Plastik”. Film hasil kerja sama Visinema Pictures, Kopernik, Watchdog, dan Akarumput tersebut bercerita tentang betapa sampah plastik menghantui hidup kita, disadari atau tidak.

Ada tiga aktor utama dalam film yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono dan Rahung Nasution itu. Salah satunya, Prigi Arisandi. Dia adalah pendiri sekaligus direktur eksekutif Ecological Observation & Wetland Conservation (Ecoton), sebuah yayasan yang bekerja untuk menjaga kelestarian sungai-sungai di Provinsi Jawa Timur dan kawasan sekitarnya.

The Society of Indonesia Environment Journalists (SIEJ) berbincang dengan penerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2011 tersebut pada Rabu (26/5/2021) via Zoom.

Prigi dengan gamblang bercerita, mulai dari soal penelitian 100 sampel feses, kegiatan yang dilakukan Ecoton sejak berdiri 25 tahun lalu, serta pandangannya mengenai kepedulian warga Indonesia terhadap isu lingkungan hidup.

Tentang film “Pulau Plastik” yang tengah hits saat ini, bisa diceritakan awal keterlibatan Anda di dalam film tersebut?

Jadi, mungkin saya ini pemain cadangan. Mungkin gak ada orang, jadi saya diminta untuk masuk.

Saya senang sekali diajak terlibat. Saya dikontak sama Robi (Navicula). Dia bilang mau ajak Ecoton. Ya silakan, kami senang sekali. Terakhir kali saya tanya Mas Dandhy (Laksono), “Kenapa dulu ajak Ecoton? Ajak saya?” Dia bilang, dia melihat dari berbagai survei dan pemberitaan. Dia melihat Ecoton ini menarik, kemudian dilibatkan, diundang.

Ya jadi mungkin karena unik, menarik kali ya.

Tapi Anda kan pemenang Goldman Environmental Prize, yang disebut-sebut Nobel versi pejuang lingkungan hidup, masa tidak diajak?

Hahaha. Mungkin itu. Ya, (saya) dapat “Nobel lingkungan” itu juga mungkin karena tidak ada yang daftar. Jadi saya yang terpilih. Hahaha.

Salah satu adegan yang, menurut saya, paling menarik di film tersebut adalah penelitian 100 sampel feses. Bagaimana itu ceritanya?

Iya, betul itu. Jadi kita ini kan perang narasi sebenarnya. Isu lingkungan ini kan masih dianggap tidak penting oleh banyak orang ya. Tidak menjadi prioritas. Oleh karena itu kami selalu mencari hal yang dipikirkan dan dekat sama orang. Feses ini yang menurut saya paling dekat. Kalau kita cerita tentang bahaya kanker itu kan agak sulit kalau diterjemahkan sama pikiran orang maka kita ambil feses ini.

Tahun 2017 itu baru ada penelitian di Vienna, di Medical University of Vienna. Mereka meneliti 8 orang dari negara yang berbeda dan mengambil 10 gram (sampel feses, red.). Dari sampel itu ditemukan 20 partikel mikroplastik (berukuran 50 to 500 µm) per 10 gram per orang.

Kami mencoba untuk membuat lebih dari itu.

Andreas Agus Kristanto Nugroho (peniliti Ecoton) sebenarnya pemegang kunci (penelitian feses itu). Dia adalah labnya. Saya ini sebenarnya cuman mikrofon, amplifiernya.

Andreas ini salah satu yang menangani microplastik. Dia harus mencari bahan kimianya, mempelajari metodenya. Kami belajar dan, dengan keterbatasan kami, ternyata bisa. Kami mencoba sana sini, menggunakan mikroskop yang dimodifikasi macam-macam. Itu bisa, akhirnya.

Sebenarnya kami tidak berencana mengambil sampel sebanyak itu. Cuma bli Robi menantang, “Bagaimana kalau kita membuat rekor, 100 (sampel) gitu?” Ya kami siap. Akhirnya 100 orang itulah.

Bagaimana mencari donor fesesnya?

Donornya dari sekitar 15 kota, dari Denpasar sampai Jakarta. Awalnya risih karena kan pamali (tidak sopan, red.) kalau minta kotoran seperti itu.

Kami awali dengan orang yang terdekat dulu: saya, keluarga, anak-anak, dan bayi. Kami ambil multisample ya, berbagai jenis sampel dari perbedaan usia, desa, kota. Kami punya banyak jaringan dan itu memudahkan kami.

Jadilah ada 100 sampel itu, tepatnya 103 sampel, dan semuanya mengandung mikroplastik. Baik (feses) anak kecil, orang desa, orang kota, tua, muda, semua mengandung mikroplastik.

Kami belum tahu respons kampus terkait penelitian ini. Tapi minimal penelitian ini memberi kami keunggulan karena orang agak malas meneliti feses, membuat jijik.

Sama sekali belum ada tanggapan dari para peneliti di kampus, termasuk almamater Anda Universitas Airlangga?

Hasil penelitian ini kami verifikasi. Jadi kemarin kami membawanya ke Profesor Win Darmanto (dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga). Pak Win mengatakan bahwa penelitiannya sudah sesuai standar. Kemudian kami juga ke Reza Cordova, peneliti LIPI yang memang dia fokus ke mikroplastik di perairan pesisir.

Kami memegang rekor dengan 100 sampel. Pada Februari 2021 ada ilmuwan China yang meneliti 20 sampel feses. Kami lebih banyak.

Apakah Anda juga memasukkan pesan pribadi atau Ecoton ke dalam film Pulau Plastik?

Sebenarnya ada dua pesan yang ingin kami masukkan ke film itu. Pertama, mereka tertarik dengan kegiatan popok (kampanye setop buang popok ke sungai, red.) yang kami lakukan.

Kami mengawali revolusi popok itu pada Juli 2017 dan sengaja dalam setahun itu kami publish banyak-banyak ke media. Bahkan “Kick Andy” juga sempat meliput kegiatan kami itu. Sebenarnya pesan kampanye popok ini untuk mengkritik gaya hidup kita, konsumerisme kita. Pemerintah gagap menangani sampah popok, industri gagap, dan konsumen juga tidak ambil peduli.

Kedua tentang sampah impor. Ini yang kemudian diambil menjadi angle film itu. Ini juga penting bagi kita semua. Kebetulan rumah saya itu di depan pabrik kertas yang mengimpor sampah kertas ini. Sejak kecil saya tahu betul bagaimana sampah impor itu masuk ke Indonesia dan sampah kertas itu bercampur dengan plastik.

Inikan penjajahan bentuk baru. Negara maju mengirim sampah ke negara berkembang itu sejak 1960-an. Orang-orang di negara maju itu membuang sampahnya ke negara berkembang, termasuk sampah plastik tadi. Itu yang kita sampaikan. Negara maju itu, menurut saya, memplokoto (menikam dari belakang) kita dengan mengirimkan sampah plastiknya ke sini.

Kita selalu terlena dengan istilah daur ulang. Padahal kalau negara maju itu mau mendaur ulang sendiri, kenapa mereka tidak simpan saja sampah mereka di negara sendiri? Kenapa dikirim ke negara lain? Itu bisa diartikan bahwa daur ulang sebenarnya bermasalah, berbahaya untuk lingkungan.

Nah, sebenarnya daur ulang plastik itu bisa tidak dilakukan?

Bisa. Tapi kan faktanya sejak tahun 1950-an sampai sekarang hanya 9% sampah plastik yang kita buang itu didaur ulang. Sisanya dibakar, ditimbun di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), beredar di laut, di tanah kita.

Kalau plastik ramah lingkungan itu benar ada apa tidak?

Nah di film “Pulau Plastik” itu kelihatan jawabannya. Di film itu kan digambarkan kalau plastik ramah lingkungan itu bisa lebih berbahaya karena proses hancurnya lebih cepat dan menjadi mikroplastik.

Sejak kecil dekat dengan pabrik kertas. Apakah itu yang menginspirasi Anda masuk jurusan biologi dan kemudian mendirikan Ecoton?

Betul. Kalau di Jawa Timur, kertas memang menjadi momok karena yang merusak sungai adalah pabrik kertas. Pabrik kertas itukan haus air karena mereka harus memasak kertas, memasak pulp menjadi kertas, butuh air yang banyak, butuh energi bahan kimia yang kemudian dibuang ke sungai. Ini yang kemudian mencemari dan merusak sungai kita.

Itulah yang memotivasi saya untuk terjun menjaga sungai. Karena aktivitas industri tahun 1980an itu mengganggu dan menurunkan kualitas air Kali Brantas, merusak Kali Surabaya.

Itu juga yang kemudian mendorong saya untuk meneliti, mengidentifikasi sumber-sumber pencemaran industri ini. Apa limbahnya, apa karakternya.

Akhirnya saya dan teman-teman mendirikan Ecoton pada 1996, saat masih kuliah. Membuat kelompok studi pemerhati lingkungan. Saat lulus dari kampus pada tahun 2000, kami jadikan badan hukumnya.

Selama ini aktivitas yang dilakukan Ecoton hanya di Kali Surabaya dan Kali Brantas, atau…?

Sebenarnya kegiatan kami (berlingkup, red.) nasional. Pada 2013 kami bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Best practices yang kami buat di Surabaya didiseminasikan ke berbagai sungai di Sumatra, Gorontalo, Makassar, dan Maros.

Apa yang membuat Kementerian Lingkungan Hidup tertarik?

Perubahan di Kali Brantas. Sebenarnya kita punya problem pada segi partisipasi. Orang tidak terlibat, tidak merasa sungai bagian dari mereka sehingga tidak peduli. Jadi kita harus buat narasi baru tentang sungai. Orang tidak sayangi sungai karena tidak memahami apa yang terjadi di sungai itu. Maka Ecoton berupaya memopulerkan hasil riset yang seringkali sulit diterjemahkan. Kami munculkan banyak berita, menghasilkan banyak informasi.

Saya percaya ada lingkaran besar partisipasi yang dimulai dari lingkaran kecil informasi. Jadi, ketersediaan akses informasi itu akan menciptakan semacam ruang untuk diskusi. Setelah diskusi akan ada konsultasi, baru kemudian partisipasi besarnya.

Kalau kita mengharapkan orang terlibat, ia harus, kalau orang Jawa bilang “melu handarbeni” (merasa memiliki, red.). Itu harus dimulai dengan adanya akses informasi. Nah, kami di Ecoton ya memproduksi informasi itu dalam kerangka “tak kenal maka tak sayang.”

Jadi, diseminasi informasi adalah strategi utama Ecoton?

Ada dua hal. Kalau kita sudah bicara riset, berarti menghasilkan informasi. Informasi ini menjadi semacam software yang kita terjemahkan dalam dua bentuk; satu untuk litigasi, satu untuk non-litigasi.

Kalau untuk non-litigasi, kami ingin membuat orang menjadi lebih kritis. Jadi kami datang ke komunitas, memperkuat komunitas. Kami juga menjaga hubungan baik dengan media. Kami merasa ada simiosis mutualisme dengan media. Kami butuh bantuan mereka. Itu yang kami lakukan sejak awal tahun 2000.

Kemudian untuk litigasi kami gunakan data hasil riset itu untuk lobi. Dalam riset, kami mengejar inovasi dan scientific background. Kami uji sampel ke Jepang, Praha, Amsterdam. Kami melakukan itu untuk membangun trust orang kepada Ecoton.

Kemudian, kami juga menggugat. Kami hitung ada 7 gugatan hukum yang kami lakukan sejak 2007, menggugat pemerintah dan industri. Untuk menggugat itu perlu data yang valid.

Kami juga melobi teman-teman di DPR, gubernur. Kami meminjam mulutnya gubernur, mulutnya bupati untuk mengatakan apa yang kami inginkan. Misalnya, Khofifah (Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur). Program pertama Khofifah ketika menjabat gubernur adalah membersihkan Kali Brantas dari popok.

Jadi, inilah cara kami. Serangan langit, serangan bumi, seperti itu.

Bekerja sejak 1996, bagaimana Ecoton melihat perbaikan di Kali Brantas dan Kali Surabaya? Apakah sudah puas?

Di tengah prioritas pemerintah yang tidak ke isu lingkungan, capaian di Brantas itu ya lumayan. Artinya, ini kan gradual. Kalau kita mau cepat, itu malah akan menyakiti banyak pihak.

Minimal kini masyarakat tidak lagi mau menerima mie instan dan minyak goreng sebagai ganti pencemaran di daerah mereka. Masyarakat kini berani meminta IPLC (Izin Pembuangan Limbah Cair, red.) pada perusahaan yang ingin mendirikan pabrik di situ.

Kami pernah melakukan survei mengenai industri di Kali Brantas. Mereka kini takut “dikorankan” atau “dipolisikan”. Kemudian mereka lambat laun mulai memperbaiki pengolahan limbah dengan memakai teknologi pengolahan limbah yang memenuhi standar.

Nah sekarang yang menjadi problem adalah standarnya itu. Yang punya standar kan pemerintah, jadi pemerintahlah yang harus meningkatkan standarnya.

Sungai memang bisa self-purification, memulihkan diri sendiri. Tetapi bebannya sekarang makin bertambah. Kesehatannya sudah menurun, sehingga mudah diserang penyakit.

Pernah ada perusahaan yang mengancam Ecoton?

Tidak. Kami menggunakan peran media dengan memberikan data kepada mereka untuk diterbitkan. Pabrik tak bisa menekan kita karena kalau data sudah terbit semua orang terbuka untuk mengawasi.

Yang menarik itu, sekarang ada beberapa industri yang mengirim parsel kepada kami, tapi kami kembalikan. Karena kalau kami terima, hancur reputasi kami. Jadi kami terangkan saja bahwa ini soal reputasi.

Ecoton menjaga lingkungan untuk masa depan dan masa depan itu adalah anak muda. Bagaimana cara mengajak anak muda lebih peduli kepada masalah lingkungan?

Jadi tahun 1997 Ecoton itu ikut membidani dan berkolaborasi dengan teman-teman LSM pendidikan lingkungan untuk menelurkan sebuah jaringan pendidikan lingkungan hidup. Jaringan ini yang kemudian menghasilkan Sekolah Adiwiyata. Selalu ada ruang ditempat kami, ada ruang besar, untuk anak-anak. Karena kami menyadari children can make a difference.

Kami ada program Detektif Kali Surabaya, ada program Wisata Limbah, yang mengajak anak-anak peduli lingkungan. Kami menempatkan anak-anak sebagai bagian penting untuk perubahan lingkungan.

Kira-kira feasible-kah membersihkan sungai-sungai di Indonesia, dimulai dari Kali Surabaya dululah?

Feasible, sangat feasible. Tapi yang menjadi PR kan kontribusi masyarakat yang masih rendah. Kalau saya bandingkan gitu ya, 60 persen orang Jerman itu punya KTA (kartu tanda anggota) LSM lingkungan. Atau di Jepang itu satu orang bisa punya tiga KTA; dia mungkin anggota Birdlife, WWF.

Untuk punya KTA, mereka mau mengeluarkan modal, berkontribusi. Soal kontribusi (untuk lingkungan) itu di Indonesia masih sangat minim. Kalau untuk seperti Badan Amil Zakat, Dompet Dhuafa itu banyak. Isu lingkungan masih kalah dari teman-teman yang bergerak di organisasi agama.

Maka kemudian kami harus menguatkan narasi. Narasi kami harus bisa merangkul lebih banyak orang agar mau mengeluarkan duit untuk menyelamatkan sungai.

Oleh karena itu, melakukan gerakan yang populer, seperti membuat film Pulau Plastik, menjadi penting. Begitu?

Betul. Penting untuk menarik perhatian orang. Selama ini sekitar 70-80% anggaran Ecoton dari orang asing. Dari badan pembiayaan asing seperti pemerintah Belanda, LSM Amerika Serikat. Jadi masih tergantung funding asing.

Kami kepingin seperti teman-teman gerakan Islam yang dananya disokong masyarakat Indonesia. Inikan karena kegagalan kita membangun narasi sehingga orang-orang tidak mencintai sungai.

Jadi orang asing lebih peduli pada kerja Ecoton ketimbang warga Indonesia atau masyarakat Jawa Timur sendiri?

Betul. Tapi hampir semua LSM yang bergerak pada isu lingkungan mengalami hal serupa.

Kami pinginnya kuat karena kami disangga oleh uang masyarakat sendiri, uang orang Surabaya, uang orang Jawa Timur. Kami sedang mencoba itu (menggalang dana masyarakat, red.) melalui kerja sama dengan Kitabisa.com mulai bulan ini (Mei 2021).

Ada program spesifik apa yang akan dibiayai melalui penggalangan dana itu?

Sungai. Jadi Kami lagi membantu orang-orang yang berjuang untuk sungai. Ada ibu-ibu yang  menyelamatkan sungai dari popok, ada bapak-bapak di hulu yang konservasi mata air, kemudian ada nelayan di sungai yang menanam pohon, lalu ada anak-anak yang sedang berjuang melawan sampah impor.

Kami sangat ingin kami itu, istilahnya, makan duit teman kami. Bukan makan duit orang asing. Karena keberhasilan sebuah kampanye itu kan kalau warga sendiri rela mengeluarkan uang mereka untuk menyukseskannya.

Kita ini sebenarnya agak antik gitu. Kita menyelamatkan lingkungan kita, sungai kita, tapi dananya dari uang asing.

Terakhir, pesan apa yang ingin disampaikan oleh ecoton kepada pemerintah dan masyarakat?

Ini final call kita. Kita ini selalu  bicara, terlalu banyak pidato, tapi tidak terimplementasi dalam tindakan. Kita bicara tentang cinta kasih, kasih sayang, tapi itu omong kosong kalau kita tetap membiarkan sungai kita kotor, tercemari oleh perilaku kita saat ini. Itukan berarti kita gak punya cinta kasih untuk anak-anak kita. Berarti kita mengotori sungai yang nanti akan menjadi hak anak cucu kita.

Jadi, perilaku buruk kita –buruk kebijakan, buruk industri kita, buruk perilaku kita– itu nanti akan meninggalkan penderitaan besar untuk anak cucu kita. Maka kita harus lebih bijak lagi.

Tapi memang masalah lingkungan gampang diomong tapi sulit. Sebenarnya gampang kan mengurangi pemakaian plastik. Sekarang ini kita punya kampanye setop makan plastik, kurangi pemakaian sedotan, tas kresek, botol minum sekali pakai, sedotan sama sachet. Lah itu kan gampang sebenarnya, tapi ya, angel tenan (sulit sekali). Gampang diomong, tapi susah implementasinya.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.