Perempuan Cawang Gumilir masih terus berjuang merebut kembali lahan yang diambil PT Musi Hutan Persada sejak tahun 2015 lalu, sembari bekerja keras untuk bertahan hidup.

Liputan ini pertama kali terbit di Liputan6.com pada tanggal 16 Juli 2021 dengan judul “Para Perempuan Cawang Gumilir, Tergusur dan Bertahan di Tengah Ketidakpastian.

Oleh Nefri Inge

Hidup yang tak menentu juga dirasakan oleh Fatim. Ibu dua anak ini, harus merelakan putra pertamanya putus sekolah, karena lahan penghidupannya di Dusun Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan yang sudah tergusur, tak mampu lagi menjamin pendidikan anaknya.

Dulunya di Dusun Cawang Gumilir dia bisa menggarap lahan dengan tanaman jagung dan singkong, yang laris manis di pasaran. Bahkan uang berjuta-juta pun mampu dikantonginya dari hasil panen tanaman tersebut.

Fatim dan suaminya, Amin, memberangkatkan anak pertama mereka untuk mengenyam pendidikan di pondok pesantren (ponpes) di Lampung Timur. Namun sejak digusur, Fatim tidak mampu membiayai kebutuhan pendidikan anaknya, sehingga anak itu kabur dari ponpes.

“Itu karena berbulan-bulan saya tidak mengirim uang ke anak. Sempat dia ingin melanjutkan sekolah di Pulau Jawa, tapi kami tak sanggup lagi membiayainya,” ujarnya kepada Liputan6.com dengan tatapan yang sedih.

“Untuk makan saja, kami kesulitan mencari uang, apalagi untuk membiayai sekolah di sana. Akhirnya dia tinggal dengan neneknya sekarang,” ungkapnya.

Fatim juga harus berjibaku bersama Amin menjadi buruh penyadap karet di lahan karet warga Desa Bumi Makmur Musi Rawas. Sedangkan putra bungsunya, Habibie (10), harus rela ditinggalkannya sendirian di rumah, dari pagi buta hingga sore hari. Dia tak bisa mengantar anaknya ke sekolah, tak terlalu tahu dengan siapa anaknya bermain, atau apa yang menjadi keluhan anaknya selama bersekolah di SDN Bumi Makmur.

Kondisi miris pun pernah dialaminya, saat dia kemalingan getah karet di lahan yang digarapnya. Padahal saat itu, tidak ada makanan yang tersisa di rumahnya.

“Getah karet itu baru saja saya tinggalkan sebentar, saat pulang ke rumah. Tapi waktu ke ladang lagi, getah karet yang mencapai 1 pikul, sudah hilang. Langsung nangis, kami tidak bisa makan, apalagi teringat anak bungsu saya. Karena di rumah, tak ada sebutir beras pun,” kata Fatim.

Digusur saat hamil

Jika Suharmi dan Fatim masih bertahan di Desa Bumi Makmur, Musi Rawas, lain lagi dengan Yenni Noviana (29). Warga Dusun Cawang Gumilir ini terpaksa harus angkat kaki menuju tempat penghidupan yang lebih layak.

Rasa trauma yang membekas, tak bisa dilupakan Ana, sapaan akrabnya. Terlebih saat dia melihat penggusuran di depan matanya. Kala itu, dia yang sedang hamil 6 bulan dan merasa putus asa akan kehidupannya.

“Saya sempat ikut demo tapi di bagian belakang, karena sedang hamil. Rasa takut pasti ada, apalagi beberapa kali kontraksi saat demo berlangsung, takut keguguran. Ibu saya sempat menangis melihat nasib saya yang sedang hamil, tapi harus ikut tergusur,” katanya.

Apalagi panen singkong yang tak sempat diambilnya, rencananya akan dijual untuk modal biaya persalinannya. Namun, harapan tinggal harapan, semuanya pupus seketika.

Usai tergusur, dia dan suaminya, pernah tinggal bersama orang tuanya, di rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya di Bumi Makmur. Namun, karena suaminya tak bisa bekerja sebagai buruh karet, mereka pindah ke kediaman mertua Ana, di Lampung. Kini Ana sudah mempunyai tiga orang anak dan mencari nafkah di Lampung.

Keinginannya untuk kembali lagi merajut kehidupan di Dusun Cawang Gumilir masih terangkai, meskipun rangkaian harapannya satu persatu mulai pudar.

Pendampingan warga tergusur

Staf Walhi Sumsel, Febrian Putra Sopa mengatakan, dari bentangan lahan yang mendapat izin dari kementerian, awalnya banyak lahan yang tak terurus oleh perusahaan. Akhirnya ratusan KK di sana mengelola lahan tersebut dengan menanam jagung, singkong, dan lainnya.

Tanggal 14 Juli 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan surat untuk menghentikan penggusuran tersebut. Namun pada tanggal 15-17 Juli 2015, perusahaan tetap menggusur para warga.

Walhi Sumsel bersama warga yang tergusur dari kawasan HTI PT Musi Hutan Persada (MHP) menagih janji politik Presiden Joko Widodo agar bisa diimplementasikan resolusi penyelesaian konflik yang terjadi. Salah satunya dengan mewujudkan target Perhutanan Sosial, yang mencakup pemberian akses yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung, serta pemulihan lingkungan berbasis masyarakat.

Bahkan, mereka juga sudah mengusulkan Perhutanan Sosial tahun 2018 ke KLHK. Terlebih, PT MHP ditunjuk menjadi pilot project penyelesaian konflik dengan skema Perhutanan Sosial di Sumsel.

“Walhi Sumsel mengusulkan Perhutanan Sosial di tahun 2018 ke KLHK. Dengan total 37.302 hektare, yang dikeluarkan dari izin PT MHP,” kata Febrian.

“Tapi sembari menunggu perubahan Adendum, PT MHP hanya mengeluarkan lahan seluas 6.032 hektare dari yang kita usulkan. Hanya 8 desa dari total 11 desa yang kami usulkan. Itu juga tidak melibatkan Walhi Sumsel dan warga yang terdampak,” lanjutnya.

Dia mengatakan, skema Perhutanan Sosial itu hadir untuk penyelesaian konflik. Tapi kini, Perhutanan Sosial tidak bisa diusulkan jika tempat penghidupan warga masih ada di dalam izin PT MHP.

Konflik itu menorehkan trauma mendalam ke masyarakat, terutama kelompok perempuan di Cawang Gumilir. Tapi kami akan terus mendampingi mereka, hingga mereka mendapatkan keadilan

Febrian Putra Sopa, Walhi Sumsel

Liputan ini merupakan hasil dari program Fellowship Jurnalis Lingkungan: “Build Back Better, Efektivitas Skema Perhutanan Sosial dalam Penyelamatan Hutan”, yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Baca juga:

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.