Melalui film “Pulau Plastik”, Robi Navicula mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan dan bahaya sampah plastik.
Sampah plastik masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Setiap hari jumlah sampah plastik semakin bertambah, tampak jelas dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA), terutama di kota-kota besar, yang kian menggunung. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia per tahun mencapai 67,8 juta ton pada 2020. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada 2018 dengan total 64 juta ton sampah.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk bijak menggunakan dan memilah sampah plastik membuat masalah ini kian sulit untuk diatasi. Pemerintah juga tak tegas dalam mengendalikan sampah plastik melalui sanksi pelanggaran regulasi. Ditambah lagi, korporasi besar turut andil menggelembungkan sampah plastik untuk pengemasan produk. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kopernik mencatat, hanya dalam 5 menit saja sebanyak 6-9 ton sampah plastik ditemukan di Indonesia.
Sampah plastik yang tak dapat dibendung di darat kian merambah ke laut. Ribuan ton sampah yang mengapung di laut dapat merusak ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup biota laut. Tak berhenti di situ, penanganan sampah plastik yang tak serius juga berpotensi menghasilkan polutan, ancaman ketahanan pangan, hingga risiko tsunami penyakit.
Untuk mengetahui bagaimana keterlibatan seniman mengatasi masalah sampah plastik, The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) melakukan wawancara dengan vokalis band Navicula, Gede Robi Suryanto pada Rabu, 7 Juli 2021. Ia juga dikenal sebagai sosok yang tak pernah berhenti bersuara untuk kelestarian alam dan lingkungan. Melalui film dokumenter “Pulau Plastik” yang dirilis pada April 2021 lalu, Robi menggambarkan sampah plastik sebagai momok menakutkan dalam kehidupan kita.
Bagaimana awal mula Anda tertarik dengan isu sampah plastik?
Saya memulainya dari pertanian keluarga. Saya besar dari keluarga petani dan peternak, jadi kami selalu memanfaatkan apa yang ada agar tidak membeli bahan baku. Saya pikir implementasi pertanian organik mau tidak mau memanfaatkan sampah rumah yang tersedia. Selain itu, kebudayaan di Bali mengajarkan tradisi turun-temurun agar masyarakatnya beternak. Keluarga kakek kebanyakan beternak babi dan lele air tawar. Makanannya limbah organik yang tidak terpakai di dapur dan perkebunan.
Kegiatan seperti itu seperti tidak pernah terpikirkan sebagai langkah ramah lingkungan. Bagiku, ini solusi tepat sasaran. Begitu satu dekade orang membicarakan sampah plastik yang ada kaitannya dengan reuse, reduce, dan recycle, saya justru sudah pernah diajarkan sejak kecil untuk memilah dan menggunakan sampah. Saya berpegang teguh pada hal itu. Kunci penanganan sampah sebenarnya ada di pemilihan dan pengurangan.
Sepanjang mengawal isu sampah plastik, pernah tidak mendapat cibiran atau hal-hal yang tidak disukai dari masyarakat?
So far tidak ada, justru banyak dukungan. Orang pada dasarnya ingin berbuat baik. Kampanye isu sampah plastik memang bikin repot. Namun, selalu ada yang bisa dilakukan. Kalau orang melihat apa yang kami lakukan, pasti orang ingin menghargai. Kalau di sosial media, netizen selalu nyinyir dengan apa yang kami lakukan. Cibiran yang melekat kan kami dianggap Social Justice Warrior (SJW). Sekarang ini, orang yang melakukan perubahan sosial tapi dengan gampang mendapat opini miring. Bagiku itu hal wajar di sosial media, dianggap sebagai hiburan dan humor saja.
Mengubah orang untuk peduli dengan lingkungan khususnya sampah plastik, bagaimana cara Anda melakukan kampanye tentang isu tersebut?
Saya tidak pernah memanipulasi orang, saya percaya akan kemampuan orang lain. Apalagi di Indonesia, karakteristik manusianya sangat spiritualis. Semua ajaran dan keyakinan agama mengajarkan kebersihan sebagian dari iman. Nilai ini sudah ada di masyarakat. Kalau mereka memahami nilai tersebut, pasti tidak ingin merusak lingkungan. Sebaliknya, kalau tidak diterapkan maka kerusakan lingkungan sulit dihindari, polutan sampah plastik tak terkontrol karena bisa masuk ke sungai yang diolah untuk diminum. Polutan itu akan mencemari air sungai, mengotori pantai, tentu saja dampak mengerikannya adalah biota laut mati sia-sia. Padahal kita tahu bahwa laut adalah sumber protein terbesar, kita menyumbang 45 persen hasil seafood di dunia. Semuanya ada di Indonesia, untuk itu jangan rusak dan kotori lumbung kita.
Saya berusaha untuk menjadi contoh baik, ketika orang terinspirasi, saya yakin orang-orang akan peduli terhadap sampah plastik dengan caranya masing-masing. Saya dengan rekan-rekan membangun konsep band Navicula sebagai media musik untuk kampanye lingkungan. Kami sendiri sudah 25 tahun berdiri, sudah menjelajahi kolaborasi dan kampanye besar bersama kawan-kawan aktivis lingkungan, peneliti, hingga filmmaker. Ketertarikan pada band ini membuat kami mampu menyampaikan pesan dengan cair. Navicula menjadi media dan platform yang kami suka. Kami lebih fun melakukan aksi kampanye dengan Navicula karena tidak menggurui, bahkan bisa hura-hura dengan bermain musik. Jadi kami mendapatkan kesenangan, sekaligus menjalankan ibadah.
Mengapa Navicula dan band-band di Bali seakan lebih mudah diterima oleh masyarakat dalam mengkampanyekan isu lingkungan?
Ada banyak faktor, kalau dilihat Bali sebagai ikon industri pariwisata, maka ada syarat untuk menghidupkan industri tersebut, seperti menjadi wisata bersih, aman, dan lestari. Kalau kotor tentu saja akan berpengaruh pada marketing dan wisatawan. Begitu kami membuat kampanye hidup bersih, ternyata banyak elemen setuju. Pemerintah setuju, masyarakat juga setuju.
Selain itu, budaya dan adat istiadat di Bali merekatkan hubungan manusia dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Kami mengenal konsep Tri Hita Karana – satu sama lain menyeimbangkan porsi masing-masing. Spirit yang ada di Bali mengakar dalam napas masyarakat Bali.
Dari situ, kami mendapatkan pendidikan konservasi alam secara langsung. Ritual ada, nilai etika dan filosofi hidup selaras dengan prinsip menjaga lingkungan. Kami bersyukur budaya dan adat di Bali sampai saat ini terus kuat.
Konsep pariwisata di Bali tentang kelestarian alam dan budaya. Ini seperti integrasi, budaya pertanian klasik kembali memanfaatkan sampah, menghargai makhluk lain, seperti tanaman dan hewan untuk kesimbangan ekosistem. Itu juga yang membuat pesan musisi Bali melalui karyanya lebih mudah diterima.
Apa saja tantangan dalam mengkampanyekan isu sampah plastik?
Hal yang sistemik, ketergantungan pada packaging sekali pakai. Satu sisi, ada upaya untuk mendukung UMKM yang belakangan menjadi kebutuhan masyarakat perkotaan. Bungkus makanan ini cukup banyak. Untuk mencari balance agar tidak merugikan UMKM ini menjadi tantangannya. Kami anggap ini sistemik.
Kedua, ada benturan kepentingan. Bidang industri dan perdagangan semakin cepat memproduksi barang sekali pakai. Penggunaan plastik atau pemakaian sampah plastik digenjot untuk memenuhi target pendapatan. Pandangan aktivis lingkungan sebenarnya ingin mengerem. Saya pikir kedua kebutuhan itu harus dicari solusinya.
Masalah yang lain ada?
Kesadaran masyarakat, dilihat dari pengguna sampah plastik yang masih banyak di Indonesia. Hanya butuh waktu 3 menit untuk menghasilkan 5 juta kantong plastik. Ini menjadi masalah, menggunakan sampah plastik tapi tidak melihat bagaimana efeknya pada alam.
Selain itu, sampah plastik yang di-recycle harapannya mampu membangun kesadaran konsumen, pemerintah, dan korporasi untuk mendesain kemasan produk yang gampang digunakan kembali. Kenyataanya hal itu susah dilakukan dan membutuhkan biaya yang mahal. Namun, ada solusi yang bisa dilakukan agar biaya recycle tidak mahal, desain kemasan yang disederhanakan. Caranya, jangan ada tiga plastik dalam satu kemasan.
Untuk itu, kami menolak plastik sekali pakai. Sikap kami mendukung regulasi yang menguatkan reduce agar mampu mengerem laju sampah. Jangan sampai packing di daratan bocor, kemudian tumpah ke laut. Ini akan menyebabkan masalah yang lebih besar karena harus mengeluarkan banyak biaya untuk menjaga lingkungan.
Isu sampah plastik seperti tidak pernah usai dituntaskan, bagaimana pandangan Anda tentang kebijakan pemerintah dalam menangani sampah plastik?
Ada kisah yang tak pernah saya lupakan. Saat wisatawan yang pernah surfing mengeluhkan pantai di Bali yang kotor banget. Kondisi tersebut lantas membuat pemerintah kebakaran jenggot. Bagi saya, itu statement yang memalukan bagi Indonesia. Saya yakin orang Indonesia, apalagi di level pemerintah pasti akan malu.
Sebenarnya kebijakan penanganan sampah plastik oleh pemerintah sudah cukup baik, meski belum maksimal. Patut kami apresiasi inisiatif baik pemerintah di beberapa kota yang telah mengeluarkan kebijakan penggunaan sampah plastik. Namun, pemerintah kurang melakukan sosialisasi ke masyarakat, sekaligus upgrade kesadaran tentang sampah plastik melalui pendidikan. Menurut saya, kita sebagai bangsa yang beradab harus mampu mengatasi tantangan sampah plastik. Harus diatasi bukan disembunyikan.
Anda bersama rekan-rekan aktivis, seniman, dan filmmaker membuat film “Pulau Plastik”, apa tujuan film itu?
Kami ingin terlibat langsung. Kalau kami cuma koar-koar dan mengkritik kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat, konsumen, dan produsen tentu saja kurang maksimal. Bagiku, kalau tidak mulai dari diri sendiri maka tidak akan perubahan juga.
Kami membuat film “Pulau Plastik” juga untuk membantu kerja pemerintah dalam melakukan sosialisasi regulasi yang mereka buat, sekaligus mengajak masyarakat peduli kondisi lingkungan akibat sampah plastik. Selain itu, kami mencoba untuk memberikan pandangan kepada masyarakat bagaimana sampah plastik mengepung kita saat ini.
Dalam amatan Anda seberapa besar dampak film “Pulau Plastik” terhadap perubahan perilaku publik?
Kami sedang melakukan penelitian bersama Kopernik, riset tentang perubahan perilaku usai menonton film. Kami ingin tahu pola pikir orang sebelum dan setelah menonton film “Pulau Plastik”. Ini sedang kami kembangkan. So far, kami menilai atensi dan respons publik cukup besar. Bagi kami, dampaknya akan bergantung pada seberapa banyak orang yang menonton film ini. Jumlah penduduk kita sekitar 260 juta orang, kalau 9 persen saja yang nonton sudah sangat bagus. Selain itu, kita juga butuh pemimpin daerah yang kritis, mereka yang peduli terhadap sampah plastik.
Kami berharap pemerintah daerah kompak mengadakan screening film “Pulau Plastik”. Saya yakin akan ada perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah plastik.
Membuat film tentu tidak mudah, bagaimana tantangan dalam memproduksi film dokumenter “Pulau Plastik”?
Pertama, kami memang tidak berpengalaman membuat film. Kedua, kami kekurangan referensi film dokumenter di Indonesia. Produksi dokumenter lingkungan di Indonesia masih sedikit, sejak merdeka hingga saat ini baru ada 12 film [dokumenter] yang masuk bioskop. Kami masih merintis film dokumenter dan banyak mengambil referensi dari luar negeri.
Tantangan yang lain, riset. Kami tidak ingin ada misleading informasi yang disampaikan kepada publik. Eksekusi film itu cepat, tapi risetnya membutuhkan waktu yang lama. Kami mencoba untuk menyampaikan informasi yang komprehensif. Jadi, tidak bisa ambil satu narasumber saja, ambil dua atau tiga orang sebagai pembanding dan penguat.
Kalau bicara tentang anak muda, sejauh apa ketertarikan anak-anak muda terhadap sampah plastik hingga saat ini?
Anak muda hanya ikut dari apa yang tren. Misalnya saya main musik rock dan bawa isu sosial, saya melakukan itu karena saya anggap itu keren. Orang yang dianggap influencer, punya tanggung jawab untuk menunjukkan apa yang keren. Kalau ingin anak muda berubah, jadikan isu ini keren dan tren.
Bagaimana membangun kepedulian isu sampah kepada anak muda?
Isu lingkungan merupakan isu paling krusial sampai saat ini. Dampak kerusakan lingkungan itu besar, untuk itu anak-anak muda harus aktif dalam menyuarakan kegelisahan terhadap lingkungan.
Saya tidak tahu cara paling manjur untuk mengajak anak muda terlibat. Saya hanya berusaha untuk berbagi kepada mereka yang tertarik dan peduli. Mungkin harus ada mapping dan analisis bagaimana mengajak lebih banyak lagi anak muda untuk peduli.
Harapan Anda untuk isu sampah plastik apa?
Pertama, pemerintah harus mengembalikan kepercayaan publik. Saat ini terjadi krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintah, apalagi di tengah pandemi. Selanjutnya, perkuat brand nasional. Indonesia harus mampu mempromosikan jati diri ke negara lain. Menurut saya, hal yang patut dibanggakan adalah biodiversity dan keanekaragaman hayati. Kalau kehilangan identitas, hutan kita akan terus dibabat, laut akan jadi polutan sampah plastik, bahkan mikroplastik.
Jangka pendeknya, mulailah dengan menonton film “Pulau Plastik” agar mengetahui perspektif sampah plastik di lingkungan kita sehari-hari.