Awan hitam menggantung di pegunungan di sebelah timur permukiman. Tapi matahari justru terik di Desa Bangga. Tak lama kemudian, cuaca berubah. Angin bertiup kencang. Awan hitam di pegunungan tadi bergerak cepat ke langit Bangga yang diapit gunung. Hujan pun mengguyur. Tak lama, hanya 10 menit hujan reda, lalu matahari kembali terik seperti semula.

Begitulah kondisi cuaca di Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Sabtu 21 Agustus 2021. Hujan yang datang secara tiba-tiba itu bisa saja membawa berkah bagi petani, tapi juga sekaligus menebar ancaman. “Apalagi kalau hujannya di gunung, kami sangat khawatir,” kata Hendrik, warga Desa Bangga ditemui di rumahnya, Sabtu, 21 Agustus 2021.

Wajar saja khawatir. Dia masih ingat betul bagaimana banjir bandang menerjang permukiman dan menghancurkan rumahnya pada 28 April 2019 silam. Saat itu, hujannya sama dengan hari ini, tidak begitu deras tapi tiba-tiba datang banjir bandang. Sungai Ore yang membelah Desa Bangga meluap. Air bercampur material pasir, batu, dan kayu meluber ke permukiman di kiri dan kanan badan sungai. Sekejap, rendaman hingga tiga meter. “Semua orang berlarian menyelamatkan diri,” urainya.

Baginya, bencana itu tak hanya meninggalkan duka mendalam tapi juga berkepanjangan. Dua tahun berlalu, tak ada lagi hamparan sawah. Hingga kini, ratusan rumah, sekolah, sarana ibadah masih tertimbun material pasir.

Anwar, warga Dusun II Desa Bangga, juga mengalami hal serupa. Menurutnya separuh areal persawahan yang tertimbun pasir. Tapi, separuhnya lagi tetap tak bisa ditanami padi karena saluran irigasi rusak. “Di kebun saya seluas satu hektare, ada 180 pohon kelapa. Semua tertimbun pasir, terpaksa kayu kelapa saya jual Rp200 ribu per pohon dua bulan setelah banjir,” jelas Anwar. 

Lahan milik Anwar tertimbun pasir sedalam setengah meter. Letaknya memang tak jauh dari Sungai Ore yang meluap itu, hanya 500 meter. Karena itu, sampai sekarang lahan tersebut tidak bisa ditanami apapun, meski dulunya bisa menghasilkan kopra hingga satu ton sekali panen.

Nasib serupa dialami Tasman. Padinya yang siap panen tertimbun pasir. Sama dengan Anwar, sawahnya seluas 0,25 hektare itu tak bisa lagi ditanami padi. Padahal, sebelum banjir bandang, dia bisa dua kali panen dalam setahun. “Tidak ada lagi yang tanam padi di sana. Makanya sekarang ini, petani terpaksa beli beras,” ujar Tasman, warga Desa Walatana yang punya sawah di Desa Bangga.

Anwar dan Tasman adalah dua dari sekian banyak petani yang ekonominya seret akibat banjir bandang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sigi mencatat, kurang lebih 750 hektare areal pertanian dan perkebunan di Desa Bangga yang rusak akibat bencana itu. Itu baru Bangga, belum desa lainnya yang juga dilanda bencana serupa.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sigi, Ahmad Yani mengatakan, selain Bangga, pada hari yang sama empat desa lainnya juga diterjang bencana serupa yakni Walatana, Balongga, Omu, dan Tuva. Tetapi, dari lima desa tersebut, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan terparah di Bangga. Sedangkan di Walatana 74 hektare, Balongga 20 hektare, Omu 20 hektare, dan Tuva 3 hektare.

“Itu data pada saat darurat bencana,” ungkap Ahmad Yani ditemui di kantornya, Senin 23 Agustus 2021.

Muhammad Ikbal, petani di Desa Bangga sudah dua kali mengalami gagal panen jagung. Penyebabnya, intensitas hujan yang kurang. Sementara, paling tidak butuh guyuran hujan 16 kali sampai panen, terutama saat awal tanam.

“Gagal panen karena hujan kurang. Yang baru-baru ini hujannya bagus tapi tanahnya lagi yang tidak bagus,” ujar Ikbal, Selasa 24 Agustus 2021.

Padahal, Ikbal menargetkan panen satu sampai satu setengah ton. Sebab, pengalaman sebelum banjir bandang dengan 9 kilogram bibit jagung bisa menghasilkan 4 ton.

“Ternyata hanya 176 kilogram. Sementara modal bibit saja sudah Rp500 ribu, biaya pengolahan Rp 350 ribu. Harga jual tidak menutupi biaya produksi,” ujar Ikbal.

Belajar dari kegagalan itu, kini Ikbal beralih menanam rumput gajah. “Ubi jalar bisa, tapi susah berbuah. Selain karena kondisi tanah, juga karena hujan yang tidak menentu. Sekarang mau ditanam rumput gajah untuk pakan ternak sapi,” jelasnya.

Rumput gajah ditanam di kebun yang dulunya terdapat seribu pohon kakao dan 75 pohon kelapa. Sementara itu, separuh areal persawahan yang tidak tertimbun pasir tetap ditanami jagung. Tapi, tetap saja mengandalkan hujan karena saluran irigasi sudah tak ada. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sigi mencatat, kurang lebih 750 hektare areal pertanian dan perkebunan di Desa Bangga yang rusak akibat bencana itu.

Minimnya ketersediaan lahan, membuat petani mengambil jalan lain. Kini, perbukitan di sebelah barat pemukiman mulai digarap. Menurut Ikbal, petani beramai-ramai membuka lahan yang selama ini tidak diolah di perbukitan. Jaraknya mulai dari 200 meter sampai satu kilometer dari pemukiman. 

Sebelum banjir bandang, lokasi  tersebut merupakan lahan tidur, tidak diolah karena lahan di dataran rendah masih tersedia. Yang pasti, kata dia tidak sampai masuk ke kawasan hutan karena ada tapal batas. “Di lokasi baru itu, petani rata-rata tanam jagung, ada juga rica (cabai),” jelasnya.

Petani di Desa Bangga berupaya bergerak bangkit dari keterpurukan dan mengatasi berbagai kesulitan. Roda ekonomi perlahan berputar mencari jalannya. Sayang, petani kini tersandung masalah lagi. Selain masalah irigasi dan curah hujan yang tak menentu, petani juga kesulitan mendapatkan pupuk dan bibit jagung. Harga bibit jagung bahkan melonjak dari Rp3.200 per kilogram menjadi Rp4.500 sampai Rp5.000 per kilogram.

Hendrik mengatakan, kelangkaan pupuk di Desa Bangga yang paling meresahkan, terutama yang tidak bergabung dalam kelompok tani. Petani sulit mendapatkan pupuk Urea dan Phonska. Padahal, kedua jenis pupuk itu yang sangat dibutuhkan untuk tanaman jagung.

“Saya kemarin tidak bisa beli pupuk karena tidak terdaftar dalam kelompok tani. Mau beli pupuk nonsubsidi harganya Rp300 ribu lebih. Kalau yang pupuk urea subsidi hanya Rp 110 ribu,” jelasnya.

Menurutnya, tidak semestinya pemerintah membeda-bedakan petani di Desa Bangga. Pupuk bersubsidi selayaknya diberikan kepada semua petani meskipun tidak terdaftar dalam kelompok tani. “Tidak semua petani terdaftar dalam kelompok tani, sementara semua petani di Bangga terdampak banjir bandang,” katanya.

Lebih dari dua tahun setelah bencana itu, kata dia petani kesulitan modal untuk memenuhi biaya produksi. Belum lagi ancaman gagal panen karena cuaca yang tidak menentu dan kondisi tanah garapan yang berpasir. Karena itu, dia berharap pemerintah membantu semua petani dengan pupuk bersubsidi dan bibit.

Ancaman Krisis Pangan

Rahmat Saleh, Ketua Dewan Pengurus Karsa Institute, NGO yang berkantor di Sulawesi Tengah yang fokus pada isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat desa mengatakan, dampak gempa yang kemudian memicu banjir telah merusak infrastruktur pertanian. Akibatnya, banyak sawah tidak produktif sehingga mengarah pada krisis pangan.

“Daerah pegunungan bergantung pada sistem perladangan. Sangat berhubungan dengan iklim, musim. Ketika mereka tidak bisa lagi memperkirakan iklim atau musim, sudah pasti akan gagal panen,” katanya saat ditemui, Senin, 30 Agustus 2021.

Kegagalan panen meningkat akibat perubahan iklim

Rahmat Saleh, ketua dewan pengurus karsa institute

Berdasarkan peta kerentanan pangan di Kabupaten Sigi yang diterbitkan tahun 2020, daerah-daerah pegunungan seperti Marawola, Pipikoro, Kulawi bagian barat masuk zona merah atau tingkat kerawanan pangan tinggi. “Karena itu tadi, karena kegagalan panen meningkat akibat perubahan iklim,” jelasnya.

Menurutnya, beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan. Pertama, pemerintah daerah harus mendorong peningkatan persediaan cadangan pangan dengan memberikan bantuan pertanian, alat pertanian, bibit unggul pupuk organik dan sebagainya.  “Agar produktivitas pangan meningkat,” ujarnya.

Kedua, pemerintah punya nomenklatur yang memungkinkan  untuk pembentukan cadangan pangan daerah atau cadangan pangan pemerintah. “Kita bisa mengadakan pangan, disimpan dan didistribusikan  sewaktu-waktu apabila terjadi kekurangan pangan,” ujarnya.

Ketiga, lanjut Rahmat Saleh, mendorong dan memelihara potensi keragaman pangan selain beras seperti umbi-umbian dan jagung. “Saya pernah melakukan riset di satu desa yang petaninya berladang di Sigi. Pada saat September cadangan beras menipis. Yang dikonsumsi pada September sampai Januari, ternyata adalah jagung atau campuran beras jagung, ubi dan sebagainya,” ungkapnya.

Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

Berbagai upaya mitigasi untuk mengurangi risiko bencana sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sigi. Saat dijumpai di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sigi, Selasa 24 Agustus 2021 lalu, Kepala Pelaksana Asrul Repadjori mengatakan salah satu mitigasi yang diupayakan adalah melaksanakan program “Desa Tangguh Bencana”.

Desa Tangguh Bencana adalah program yang digulirkan agar mitigasi berbasis masyarakat desa. Melalui program tersebut, dibentuk kelompok siaga bencana (KSB) di desa-desa. Mereka diberikan pemahaman tentang penanggulangan bencana tidak hanya pada saat darurat, tetapi juga memiliki kesiapsiagaan hingga penanganan pascabencana. 

Kegiatannya di antaranya penanaman pohon dan bergotong-royong mengamankan jalur sungai. “Karena tidak mungkin BPBD yang duluan hadir pada saat kejadian darurat. Makanya, kelompok siaga bencana di desa dilatih agar mengerti manajemen saat terjadi bencana,” kata Asrul.

“Peran pemerintah tentang pengelolaan bencana diambil alih oleh masyarakat desa. Di Kecamatan Dolo Selatan dan Dolo Barat hampir semua desa sudah terbentuk kelompok siaga bencana, termasuk di Kecamatan Kulawi,”  jelasnya.

Pihaknya juga telah melakukan kajian risiko bencana setiap wilayah dan dipetakan. “Bahkan dengan pemetaan itu kami buat regulasi melalui peraturan bupati, sehingga program pembangunan tetap berafiliasi pada mitigasi bencana,” katanya.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sigi, Ahmad Yani mengatakan, dalam rangka mitigasi juga telah terjalin kerja sama dengan BMKG dalam hal pemantauan curah hujan di tiga desa yang sering melaporkan kejadian banjir. Ada tiga desa ditempatkan alat takar hujan yakni Mataue (Kecamatan Kulawi); Desa Pulu dan Bangga (Kecamatan Dolo Selatan). Alat tersebut merupakan bantuan NGO. 

Alat takar hujan dilengkapi dengan layar pemantau hingga sirine. Layar tersebut ditempatkan di kantor desa dan terhubung dengan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sigi.

“24 jam terpantau kondisi hujan melalui alat takar hujan itu. Kemudian disinkronkan dengan kondisi di lapangan, mengkonfirmasi masyarakat tentang potensi banjir, pantau sungai, debit air. Jika mengkhawatirkan, kita arahkan siaga darurat, evakuasi jika makin tinggi airnya,” jelasnya.

Adapun sirine tanda peringatan bahaya ditempatkan di beberapa rumah yang dekat dengan alat penakar hujan. “Sirine akan hidup (bunyi) kalau ada ancaman yang mengarah bahaya. Kewenangan membunyikan sirine ada di tangan kepala desa,” jelasnya.

Sirene ini bukan hanya untuk mitigasi bencana di tiga desa tersebut, tetapi juga desa tetangga. Seperti ketika banjir bandang bandang di Desa Rogo pada Minggu 29 Agustus 2021, sirine di Desa Pulu segera dibunyikan. Desa Pulu adalah tetangga Desa Rogo. Sirine itu ditempatkan di tepi jalan, sekitar 200 meter dari batas desa.

Masih Butuh Rp 7 Triliun

Wakil Bupati Sigi, Samuel Yansen Pongi mengatakan, telah menyusun  master plan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-gempa bumi 2018. “Infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi untuk dibiayai melalui loan (pinjaman) difasilitasi Kementerian PUPR dan badan bencana (BNPB),” kata Samuel Yansen Pongi ditemui saat meninjau lokasi longsor di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Senin 30 Agustus 2021.

Beberapa usulan, kata dia dia sudah disetujui dan kini sedang berproses. “Termasuk jalan ini (Jalan Desa Salua) sudah ada pemenang tender. Sabar sedikit menanti mulai dikerjakan jalan ini,” katanya.

Terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sigi, Asrul Repadjori mengatakan, Pemerintah Kabupaten Sigi mengajukan kebutuhan anggaran untuk rencana rehabilitasi rekonstruksi (R3) sebesar Rp11 triliun ke pemerintah pusat. Namun, yang terealisasi baru sekitar Rp4 triliun.

“Tersisa Rp7 triliun lagi yang diajukan melalui R3 Perubahan ke kementerian lembaga untuk pembangunan infrastruktur dan kebutuhan lainnya, termasuk di dalamnya normalisasi sungai,” kata Asrul Repadjori.

Mengenai rusaknya lahan pertanian akibat bencana, merupakan tugas Dinas Pertanian. Wabup mengungkapkan telah menugaskan Dinas Pertanian mendata lahan yang rusak dan mengambil langkah-langkah penanganan.

Liputan ini didukung oleh Program Fellowship Peliputan Perubahan Iklim “Menuju COP25 di Glasgow: Memperkuat Aksi dan Ambisi Iklim Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia. Telah terbit di Harian Metro Sulawesi pada 4 September 2021.

About the writer

Syamsu Rizal

Since 2014 Syamsu Rizal has been working as an editor at the Harian Metrosulawesi, a daily newspaper based in Palu City, Central Sulawesi. He started his journalistic activities from the campus press....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.