Tak hanya rakyat yang melawan, Bupati Kepulauan Sangihe menyatakan menolak tambang PT TMS. Hingga laporan ini diterbitkan, masyarakat pun belum mendapat akses ke dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal).

Warga Desa Bowone dikejutkan dengan undangan pertemuan di gedung PAUD, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Sangihe, pagi 22 Maret 2021. Pertemuan itu diadakan oleh PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS), perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Baru Gold asal Vancouver, Kanada, serta dihadiri beberapa pejabat instansi pemerintah termasuk Koramil dan Pemda.

Dalam pertemuan yang diadakan selama tiga hari di hadapan puluhan warga tersebut, PT TMS melakukan sosialisasi rencana kegiatan penambangan emas dan mineral lainnya, serta memberikan janji-janji kesejahteraan bagi warga sekitar.

Perusahaan tersebut juga mengatakan mereka telah mengantongi izin lingkungan dan izin usaha pertambangan dari pemerintah pusat dan provinsi untuk mengeksplorasi 42.000 hektare lahan di selatan Pulau Sangihe, lebih dari separuh luas pulau, hingga setidaknya 33 tahun ke depan.

Pertemuan itu rupanya menjadi titik balik bagi warga di Bowone, sebab kehidupan mereka tak akan pernah sama lagi. Selain izin usaha yang datang secara tiba-tiba, warga kaget mengetahui tanah di desa mereka telah dipasangi harga jual oleh perusahaan. Terlebih harga yang ditawarkan tergolong rendah, hanya Rp50 juta per hektare atau Rp5.000 per meter, yang “tak cukup untuk membeli seikat kangkung,” tutur salah seorang warga.

Itu berarti, warga Bowone juga harus angkat kaki dari desa yang sudah secara turun temurun ditinggali.

Beberapa warga spontan menolak. Lainnya diam mencoba mencerna. Elbi Pieter adalah satu dari sekian warga yang keras memprotes. Baginya, keberadaan tambang hanya akan membawa mudarat.

“Tanpa tambang kami sudah bisa hidup makmur dari alam,” kata Elbi. “Kami bisa menyekolahkan anak sampai tinggi. Kami tak pernah kekurangan.”

Demam emas di Sangihe sejak tiga dekade lalu

Samsaret Barahama sudah akrab dengan alam di Sangihe sejak dia kecil. Dia paham seluk beluk bukit dan sungai di kampungnya. Dia ingat ketika demam emas melanda Sangihe di penghujung 1980-an ketika warga berbondong-bondong membabat alas, merontokkan tanaman liar, mengangkat cangkul dan menggali tanah.

Bagian selatan Pulau Sangihe memang kaya dengan emas. Selain Bowone dan Binebas, ada Manganitu Selatan, Sede, Kupa, dan sekitaran area konservasi Gunung Sahendaruman.

“Pada waktu itu memang ada kegiatan eksplorasi penambangan yang dilakukan salah satu perusahaan,” kata Samsaret, pria 40-an tahun yang aktif di Perkumpulan Sampire yang fokus pada konservasi alam. “Warga akhirnya tahu ada emas di sini dan akhirnya turut serta. Ada yang mendulang di sungai ada juga yang menggali dengan alat sederhana.”

Bagi masyarakat, potensi emas itu entah menjadi berkah atau sekaligus kutukan. Meski kaya mineral, warga Kampung Bowone tak lantas silau dengan kemilau emas. Kampung Bowone dihuni kurang dari 50 kepala keluarga. Mayoritas masyarakatnya berkebun dan berdagang.

Kendati sepi dan kecil, kampung itu kini menjadi titik panas kontestasi tambang versus masyarakat yang keras menolak sejak potensi emas ditemukan lebih dari tiga dekade lalu.

Video okeh Adi Renaldi / Tirto.id

Potensi mineral logam mulia pertama kali ditemukan secara primitif pada 1986 ketika PT Meares Soputan Mining mengeksplorasi dan mengebor petak-petak lahan di selatan Sangihe hingga 1993.

Dua prospek yang diketahui punya kandungan mineral melimpah adalah Binebase dan Bowone. Pada 1994, East Asia Minerals – anak perusahaan Bre-X yang asal Calgary, Kanada – yang mengakuisisi PT TMS melanjutkan eksplorasi hingga 1996.

Pemerintah sempat membekukan izin East Asia Minerals pada 1997 lantaran Bre-X tersandung skandal tambang emas di Busang, Kalimantan Timur. Satu dekade setelah pembekuan, kiprah East Asia Minerals nyatanya tak berhenti sampai di situ. Perusahaan tersebut kemudian lepas dari Bre-X dan berganti nama menjadi Baru Gold Corp.

Misi untuk mengeruk emas di Sangihe belum pupus. Sebabnya, syarat untuk kembali beroperasi sebenarnya mudah, suatu perusahaan wajib mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah tempat beroperasi sebelum memohon ke Kementerian ESDM.

Maka berbekal surat rekomendasi dari pemerintah Kabupaten dan DPRD Kepulauan Sangihe tertanggal 3 September 2008, PT TMS mendapat lampu hijau dari Kementerian ESDM pada akhir 2010.

Kemudian pada 2017 hingga 2020, PT TMS melakukan studi dan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hingga mengantongi izin lingkungan dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara pada 25 September 2020, lewat surat keputusan kepala dinas bernomor 503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020.

Berhasil mengantongi izin lingkungan, PT TMS lalu mengajukan permohonan kegiatan operasi penambangan ke pemerintah pusat. Pada 29 Januari 2021 Kementerian ESDM lewat Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara lantas mengeluarkan surat Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS dengan Nomor: 163.k/MB.04/DJB/2021.

“Yang pasti itu [kehadiran PT TMS] akan berdampak signifikan terhadap lingkungan,” kata Samsaret.

‘Mereka yang berpesta, kami yang cuci piring’: Sengkarut AMDAL dan regulasi

Permasalahan muncul ketika baik masyarakat maupun pemerintah kabupaten tak dilibatkan dalam perumusan dan sosialisasi AMDAL, maupun soal terbitnya izin lingkungan. Terlebih, ada regulasi yang dipangkas.

Salah satu pintu masuk perusahaan tambang adalah Rencana Tata Ruang Wilayah pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Provinsi Sulawesi Utara 2014-2034 yang telah menetapkan beberapa wilayah sebagai kawasan untuk pertambangan. Padahal jika merujuk pada luas kabupaten yang cuma 737 km2, kegiatan pertambangan jelas memiliki risiko tinggi.

Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, yang menjabat sejak 2017, dalam wawancara bersama Tirto mengklaim bahwa RTRW tersebut memang tak sesuai dengan orientasi pembangunan di wilayahnya.

Sebab menurut Jabes, pemerintahannya lebih berfokus pada perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Jabes juga mengatakan bahwa pemerintahannya akan mengajukan evaluasi Perda no.4 tahun 2014 tentang RTRW ke DPRD.

Dalam proses perjalanannya, dari pihak PT TMS pada 2017 mengajukan permohonan izin untuk AMDAL, tapi berdasarkan visi pembangunan [Sangihe], maka kami menolak memberikan rekomendasi AMDAL. Dari awal kami sudah menolak.

Jabes Ezar Gaghana, Bupati Kepulauan Sangihe

Penolakan pemerintah kabupaten nyatanya tak mempan di hadapan korporasi. Tak mendapat restu pemkab, PT TMS justru mengantongi restu dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Utara untuk penyusunan AMDAL.

Komisi Penilai AMDAL provinsi Sulawesi Utara pun disinyalir tidak mengundang pemerintah kabupaten dalam proses pengkajian AMDAL.

“Jadi AMDAL itu tidak prosedural karena kami juga masih punya kewenangan. Kami juga kaget ketika AMDAL sudah keluar,” tutur Jabes. “Kami sempat melayangkan surat protes ke pemerintah pusat, tapi kami tak bisa menentangnya. Ibaratnya mereka yang berpesta, kami yang cuci piring.”

Lewat surat Bupati bernomor 660.3/24/2345 pada 22 September 2020 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jabes mengajukan keberatan sebab tanpa pelibatan pemerintah kabupaten itu juga berarti melanggar amanat UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebab pemerintah daerah juga memiliki andil dan wewenang dalam mengatur ruang wilayahnya.

Namun pihak KLHK justru menolak permohonan tersebut lewat surat balasan pada November 2020. Sebab, menurut KLHK, penyusunan AMDAL dan izin operasi PT TMS sudah sesuai prosedur dan undang-undang.

Dalam surat tersebut, KLHK juga menyebut bahwa pemerintah kabupaten telah memberikan dukungan kegiatan pertambangan melalui Sekretaris Daerah.

Dinas Lingkungan Hidup provinsi Sulawesi Utara tidak merespon permohonan wawancara Tirto baik lewat surat resmi maupun pesan singkat dan telepon. Namun dalam wawancaranya bersama Kompas, kepala Dinas Lingkungan Hidup provinsi Sulawesi Utara Marly Gumalag mengatakan dengan adanya AMDAL tersebut, masyarakat tak perlu khawatir sebab perencanaan dan perhitungan telah dilakukan dengan matang.

”Kalau sudah ada AMDAL, itu justru baik buat kita semua. Saat melakukan pengawasan, kami bisa melihat apakah perusahaan menepati semua persyaratan sesuai dokumen amdal. Perusahaan juga wajib melaporkan apa yang sudah dilakukan, bagaimana caranya, dan apa hasilnya,” katanya dikutip Kompas.

Klaim Marly tersebut tak sesuai fakta di lapangan. Ketika Tirto berusaha meminta dokumen AMDAL yang disusun PT TMS, sekretaris Dinas Lingkungan Hidup provinsi Sulawesi Utara Tinny Tawaang menolak permintaan tersebut dengan alasan tak memiliki salinan dokumen untuk dibagikan.

Permohonan dokumen AMDAL berbentuk salinan lunak pun tak digubris. Tinny justru mengarahkan Tirto untuk menghubungi Biro Hukum Pemprov Sulawesi Utara yang tak memiliki informasi maupun andil dalam soal AMDAL tersebut.

Dalam sengkarut regulasi ini, masyarakat pun merasa hanya menjadi penonton di kampung mereka sendiri. Alfred Pontolondo, koordinator gerakan Save Sangihe Island (SSI) yang menentang beroperasinya PT TMS, mengatakan masyarakat sama sekali tak dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL.

“Tahu-tahu sudah ada izin lingkungan dan izin usaha pertambangan awal tahun ini,” ujar Alfred.

Alfred mengatakan pemerintah harus belajar dari pengalaman ketika warga Teluk Buyat di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, menjadi korban ketika perusahaan emas PT Newmont Minahasa Raya melakukan praktik pembuangan limbah merkuri secara serampangan sejak akhir 1990-an hingga awal 2000-an.

Kala itu ratusan warga Teluk Buyat terpaksa pindah dan tak sedikit yang terserang penyakit mematikan akibat paparan limbah merkuri yang mencemari teluk di atas ambang batas, mirip dengan tragedi di Teluk Minamata, prefektur Kumamoto, Jepang di akhir 1950-an.

“Kami tak ingin berakhir seperti itu,” kata Alfred.

Community Development and Government Relations Manager PT TMS, Robertus ‘Bob’ Priya Husada membantah tak mengikutsertakan warga. Dia kemudian mengirimkan dokumen berita acara rapat komisi penilai amdal yang diadakan pada 2 September 2020. Dalam berita acara tersebut, rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan masyarakat Kepulauan Sangihe, LSM, serta pejabat terkait di lingkungan Pemprov Sulawesi Utara.

Tak ada nama pejabat Pemkab Sangihe dalam dokumen tersebut.

“Ingat Amdal PT TMS itu dimulai tahun 2017. Bahkan tim kajian AMDAL yang dari Sulawesi Utara, itu juga menghadap Pak Bupati tahun 2017. Pak Bupati menerima kajian AMDAL dengan baik dan juga diskusi di rumah jabatan beliau. Kami punya video dokumentasinya itu. Kemudian ketika sidang kajian AMDAL terakhir, itu 2020, juga dihadiri oleh banyak pihak termasuk LSM, termasuk ada nama itu dari WALHI,” ujar Husada.

Petisi dan gugatan warga

Sejak pertemuan di gedung PAUD Maret lalu, perlawanan warga terhadap kehadiran PT TMS semakin kencang. Lewat petisi change.org, sekira 133.000 tanda tangan sudah berhasil dikumpulkan. Gerakan SSI pun juga turut mengumpulkan tanda tangan warga yang saat ini sudah terkumpul sebanyak 15.000, kata Alfred.

Pada Juni 2021, masyarakat yang diwakili oleh tujuh orang warga sepakat menggugat Kementerian ESDM lewat kuasa hukum JNS & Rekan. Salah satu poin gugatan tersebut adalah nihilnya rekomendasi dan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebab berdasarkan UU no.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), Kepulauan Sangihe masuk dalam kategori kepulauan kecil yang peruntukannya bukan untuk pertambangan.

Gugatan tersebut saat ini tengah memasuki masa sidang kelima. Menurut Elbi Pieter, yang juga turut serta sebagai penggugat, saat ini pihaknya sudah melakukan revisi gugatan dan masih menunggu respon dari tergugat.

“Sidang keenam masih ditunda,” kata Elbi. “Kami belum tahu lagi kapan sidang selanjutnya.”

Menanggapi absennya izin dari KKP tersebut Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Muhammad Yusuf mengatakan selama ini belum ada permohonan maupun koordinasi dari PT TMS terkait izin maupun rekomendasi. Sebab, pemberian izin usaha pertambangan dan izin operasi terkait pada beberapa kementerian dan pemda. 

“Semuanya tak pernah koordinasi ke KKP,” jawab Yusuf melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.

Deputi Koordinator bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, kepada Tirto mengatakan bahwa semestinya, KKP proaktif ke pihak perusahaan maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk berkoordinasi perihal urusan administratif yang belum dilalui.

Sebab menurut Rivanlee, hal ini penting demi transparansi dan akuntabilitas serta pertanggungjawaban daya dukung lingkungan di Pulau Sangihe. Namun, jika hal itu tidak dilakukan, maka KKP berpotensi untuk melakukan tindakan maladministrasi, tambah Rivanlee.

“Dari catatan advokasi KontraS, pembiaran atas rekomendasi menteri ini pernah terjadi pada kasus pertambangan di Pulau Romang [Kabupaten Maluku Barat Daya],” papar Rivanlee. “Konsekuensinya, pulau kecil tersebut terancam akibat pertambangan. Sudah semestinya KKP belajar dari yang lalu untuk menjaga kelestarian pulau kecil.”

Menanggapi perlawanan warga, Kementerian ESDM pada Juni 2021 mengatakan luas wilayah eksplorasi tersebut masih mungkin untuk menciut. Kementerian ESDM tengah mengkaji untuk mempersempit luas eksplorasi PT TMS dari 42.000 hektare menjadi 25.000 hektare. Namun hingga kini belum ada kelanjutan soal rencana tersebut.

Jurnalis Tirto telah menghubungi Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin melalui pesan singkat WhatsApp dan telepon, guna mengonfirmasi rencana penciutan luasan konsesi PT TMS di Pulau Sangihe, dari 42,000 hektare menjadi 25,000 hektare, pada 3 dan 5 September. Kami juga mengonfirmasi perumusan Amdal.

Namun hingga laporan ini terbit, belum ada respons dari dirjen Minerba.

Masyarakat belum mendapat akses ke AMDAL

Penolakan warga tersebut berbanding terbalik dengan klaim PT TMS dalam dokumen AMDAL yang diperoleh Tirto. Dalam bagian tentang sosialisasi dan persepsi masyarakat, PT TMS mengklaim telah mengajak elemen masyarakat dan warga dalam sosialisasi dan 90 persen warga mendukung adanya tambang emas.

Dalam AMDAL tersebut, dampak dari konstruksi dan pengoperasian tambang adalah hilangnya vegetasi alami dan budidaya seluas 35 hektare. Kegiatan konstruksi juga akan berdampak pada hilangnya mangrove akibat erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan.

Dampak lingkungan juga muncul dari penggunaan bahan kimia untuk ekstraksi. Salah satu zat kimia yang akan digunakan adalah sianida. Cairan sianida dapat menguap dan amat berbahaya bagi makhluk hidup.

PT TMS mengklaim dalam AMDAL akan melakukan detoksifikasi sebelum membuang limbah tersebut ke alam, dengan menggunakan dua tangki detoksifikasi serta menggunakan clarifier dan kolam penjernih untuk menghilangkan gumpalan zat beracun. PT TMS juga mengklaim telah menyiapkan bibit tanaman untuk menutupi areal tambang yang terbuka setelah masa beroperasi selesai.

PT TMS menyebutkan akan beroperasi di lahan seluas 65 hektare di Kampung Bowone. Kampung itu akan berubah menjadi lokasi pertambangan dan dikelilingi oleh infrastruktur pendukung seperti gudang bahan peledak, gudang alat pertambangan, area pengolahan, dan akses transportasi tambang.

Semua itu akan berdampak pada aspek sosial-ekonomi dan ekologi masyarakat, kata Samsaret Baraham dari organisasi Sampire.

Hingga kini warga maupun aktivis lingkungan mengaku belum mendapat salinan AMDAL tersebut, kendati telah meminta akses kepada pemerintah. Samsaret mengatakan warga belum mengetahui detail teknis operasi pertambangan tersebut.

Namun dari izin lingkungan yang telah diterima warga, Samsaret tak dapat membayangkan jika lebih dari separuh pulau nantinya akan dirambah.

Dari teknik penambangan berupa open pit pasti dia akan membuka lahan yang cukup besar. Limbah yang diambil dari perut bumi tadi akan dikumpulkan di atas. Mereka (PT TMS) bilang akan dikelola, tapi kalau dia di alam terbuka terkena hujan tentu dia akan mencemari ke mana-mana. Yang pasti itu akan memberikan dampak cukup signifikan untuk lingkungan.

Samsaret Barahama, warga Kampung Bowone

‘Kami jual jika harga cocok’

Puluhan tahun dilanda demam emas membuat para ‘tuan tanah’, sebutan untuk pemilik lahan di Bowone dan Binebas, tak melewatkan kesempatan untuk mereguk untung. Para tuan tanah tersebut menyewakan tanahnya kepada prospektor dengan sistem bagi hasil.

Maka merebaklah usaha-usaha pertambangan rakyat yang jumlahnya diklaim sebanyak lebih dari 200 lokasi. Tambang-tambang rakyat tersebut menarik minat para pekerja dari seantero Kepulauan Sangihe yang ingin merasakan untung dari emas.

Beberapa tuan tanah tersebut menolak lahannya diakuisisi oleh PT TMS. Namun tak sedikit pula yang mau melepas tanahnya asal harga cocok. PT TMS mengklaim bahwa harga tanah Rp50 juta per hektare tersebut sudah sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP).

Namun bagi Faris Makahinda, harga tersebut tak masuk akal meski ia termasuk salah seorang warga yang mau melepas lahannya untuk PT TMS. Kebetulan, lahannya masuk dalam rencana operasi PT TMS sebagai lokasi pembuangan limbah.

Faris memiliki lahan seluas 1.5 hektare di Kampung Salurang – yang terletak beberapa kilometer dari Kampung Bowone – yang secara turun temurun dimiliki keluarganya. Dia termasuk orang yang pertama kali mengadu nasib sebagai penambang rakyat dan pernah mencoba peruntungan membuka usaha tambang di lahannya.

Tapi malang, lahannya tak memiliki cadangan emas. Ia pun beralih ke usaha kebun dengan menanami cengkih dan kelapa. Namun sejak beberapa tahun belakangan kebunnya tak terurus. Sebab para pekerja lebih memilih menambang emas dibandingkan mengurus kebun.

“Dari pada tidak ada yang mengurus, lebih baik saya jual,” kata Faris. “Kebun saya sudah sama sekali tidak menghasilkan apalagi menguntungkan.”

Faris hanya sepakat melepas tanahnya dengan harga Rp200 ribu per meter. Ia bahkan sudah berencana membeli lahan lagi dan menabung deposito jika negosiasinya tembus. Ia akan menolak jika harga tanahnya ditawar di bawah patokannya.

Faris juga termasuk salah satu yang mendukung keberadaan PT TMS setelah mendapat sosialisasi. Menurutnya, program dan komitmen menjaga lingkungan PT TMS cukup meyakinkan dan ia yakin bisa membawa keuntungan bagi pulau tersebut.

“Mereka yang menolak PT TMS itu sebenarnya mereka yang tidak punya lahan,” kata Faris.

“Kami para pemilik lahan sepakat menjual jika harga cocok. Nah, kalau para pemilik lahan saja setuju menjual, mereka [yang menolak] bisa apa?”

Respon PT TMS dimuat dalam artikel terpisah dalam format wawancara khusus

Reportase ini terbit dengan dukungan dari Earth Journalism Network, dan pertama kali terbit di Tirto.id pada tanggal 6 September 2021.

About the writer

Adi Renaldi is a Jakarta-based freelance multimedia journalist. He has contributed to the Washington Post, Rest of World, Nikkei Asia, the Jakarta Post, NPR, China Dialogue, Mongabay, Coconuts Jakarta,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.