Lukisan purba di gua-gua di Sulawesi Selatan mulai alami kerusakan dan terancam hilang. Tim peneliti meyakini kerusakan itu dipercepat oleh perubahan iklim dan peningkat suhu.

Lukisan purba terancam hilang. Mulai terlihat bercak putih dan pengelupasan lukisan bak petaka di depan mata.

“Kita tak bisa menghentikan kerusakan lukisan ini. Hanya berusaha memperlambatnya,” kata Rustan, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan.

Selama empat tahun, BPCB membentuk tim restrukturisasi data dan identifikasi, pemantauan laju kerusakan lukisan dinding gua prasejarah. Mereka menentukan mengukur suhu, angin, ph air, hingga identifikasi tanaman di sekitaran mulut gua.

Melalui dokumentasi gambar pun, mereka menentukan titik pemotretan yang tiap periode dilaksanakan di tempat sama. Dua tahun terakhir, saya selalu manyaksikan tim ini bekerja.

Pada hasil sementara, Rustan, memperlihatkan dua foto laju pengelupasan lukisan di dinding Leang (Gua) Jarie, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pada 25 November 2018, tim BPCB memotret pengelupasan di salah satu panel gua.

Dua tahun berikutnya, 31 Agustus 2020, foto sama memperlihatkan pengelupasan sangat besar melebihi ukuran pengelupasan sebelumnya.

“Di Jarie, titik yang paling signifikan perubahannya, pengelupasan bertambah lebih 100%,” kata Rustan.

Dalam publikasi di jurnal Nature, 13 Mei 2021, dalam “The effects of climate change on the Pleistocene rock art of Sulawesi“, perubahan iklim dan kenaikan suhu membuat lukisan prasejarah di pegunungan kapur ini menjadi rentan rusak dan sangat mengkhawatirkan.

Laporan itu menganalisis 11 gua prasejarah di Maros-Pangkep.

Proses pengelupasan di kanvas seni gua itu memburuk dalam beberapa dekade terakhir. Selanjutnya, para peneliti dalam publikasi itu meyakini pengelupasan itu dipercepat dengan peningkatan suhu lingkungan, serta makin sering dan panjangnya fenomena El-Nino di Sulawesi.

Laporan itu juga menyebutkan dari 11 panel seni cadas yang diteliti, terdapat kelimpahan mineral belerang. Namun, pemanasan global membawa dampak buruk di kawasan tempat seni cadas dan membuat El-Nino makin panjang, akhirnya menjadikan proses kristaliasi garam makin cepat.

“Percepatan kerusakan seni cadas itu, sangat cepat pada 40 terakhir,” tulis laporan itu.

Seni cadas di kawasan karst Maros–Pangkep yang dalam laporan BPCB Sulawesi Selatan mencapai situs 300 gua, memiliki gambar berwarna merah dan hitam, berupa lukisan tangan, mamalia, hingga penggambaran manusia.

Lukisan-lukisan tua ini kemudian pada periode 40.000-an tahun lalu dinyatakan sebagai ledakan kognitif–ledakan pengetahuan manusia.

Apa benar kerusakan dan pengelupasan begitu besar dipengaruhi suhu iklim saat ini?

Sementara pada masa lalu, katanya, fluktuasi iklim secara ekstrem juga terjadi. Pada 800.000 tahun lalu, ada periode glasiasi, yang penumpukan es di kutub. Lalu berlanjut pada 700.000 tahun lalu.

Pada periode kedua ini, Sulawesi Selatan membentuk daratan. Di mana pada bagian tengah menjadi satu daratan, yang sebelumnya dipisahkan laut, antara Pare-Pare (saat ini) dan Kabupaten Wajo (saat ini).

Bahkan pada periode ini, Sulawesi Selatan yang saat ini dikenal masih terbagi menjadi dua pulau sendiri, antara Timur dan Barat.

Berikutnya periode glasiasi terakhir terjadi antara 40.000–30.000 hingga 17.000 tahun lalu. Pada periode ini terjadi penurunan muka laut drastis secara global hingga 125 meter dari muka laut saat ini. Wilayah Indonesia saat ini pun terpengaruh.

Dalam periode zaman es ini, manusia pendukung kebudayaan yang membuat lukisan gua sudah ada. Penanggalan di Gua Biku, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, sudah mencapai 45.500 tahun lalu.

“Nah, bagaimana kita mengetahui kerusakan yang terjadi masa itu, jika dibandingkan dengan sekarang. Sampai kita menarik kesimpulan, bahwa sangat cepat sekarang. Kalau melihat data itu kan sejak dulu dan menjadi siklus,” kata Rustan.

“Jadi, saya sampai sekarang, tidak menolak kalau ada pemanasan global, tapi menjadi tahap yang wajar. Apakah kita sedang menuju, inter-glasisas puncak (zaman pencairan es). Atau kita menuju inter-glasiasi yang ekstrem.”

Bagi Rustan, kerusakan lukisan-lukisan purba di gua-gua kawasan Maros-Pangkep, sudah terjadi sejak pembuatan lukisan itu selesai.

“Apakah kerusakan itu seperti deret hitung hingga sekarang. Ataukah seperti deret ukur yang berfluktuasi. Siapa yang bisa menjamin jika kerusakan itu terjadi per 1.000 tahun, atau per 100 tahun, atau per puluhan tahun. Kami belum sampai pada penelitian itu,” katanya.

“Bahwa lukisan itu bertahan hingga puluhan ribu tahun, adalah sebuah kejutan dan sangat mewah.”

Faktor pengendapan garam

Penelitian lukisan gua itu pertama kali dilakukan para arkeolog tahun 1950 dan baru menjadi perbincangan. Sebelumnya, naturalis Inggris yang mendatangi kawasan karst pada 1856, tak menyinggung mengenai gua dengan lukisan purba, meskipun tak menutup kemungkinan dalam rentang tiga bulan, dia memasuki mulut gua.

Pengelana lain adalah Paul dan Fritz Sarasin, kebangsaan Swiss 1900-an awal, juga tak menyinggung lukisan gua.

Kini, para arkeolog, khususnya di Sulawesi Selatan, saban waktu melihat karya purba itu, berusaha menemukan solusi tepat agar lukisan bertahan. Sementara media lukis itu adalah batuan karst atau gamping yang memiliki sifat dan sistem sendiri.

Batuan berpori, seperti busa dapat menarik, menyimpan, dan mengalirkan air. Sifat batuan kapur juga terbentuk dari dasar lautan, memiliki garam sendiri–garam geologi. Karena permukaan gamping berpori, membuat kapilarisasi–proses naik turun permukaan zat dalam satu wadah.

Batuan gamping yang memiliki pori jadikan proses ini terjadi dan sangat genting dalam pertahanan lukisan purba itu. Gambarannya serupa lentera dengan sumbu minyak, saat sumbu terbakar saat sumbu yang menjadi penghantar minyak hanya terlihat basah, tetapi tak kasat mata, cairan yang bergerak tak pernah terlihat.

Proses kapilarisasi inilah yang terjadi dibatuan karst. Saat kemarau, batuan yang terpapar sinar matahari menjadi kering, dan menarik air dari berbagai titik terdekat. Air-air yang bergerak dari bawah atau titik tertentu menghantar cairan garam, kemudian saat menemukan pelepasan sisa garam akan mengendap (kristalisasi) karena tekanan suhu luar.

Kalau jalur air itu berada di lukisan gua, akan sangat bermasalah. Kalau pigmen atau cat lukisan rapat dan padat, akan jadi selubung mineral. Lukisan itu akan menjadi perangkap dan garam tertinggal di balik cat lukisan.

Proses pengendapan garam yang berlangsung terus-menerus dan dipengaruhi cuaca sekitar karst bisa jadikan proses ini terus bergerak. Kalau musim hujan, aliran mineral air kembali lagi, ketika musim kemarau, gumpalan endapan akan bertambah. Akhirnya, mendorong lukisan terkelupas.

Kalau menelisik melalui endapan garam dalam sifat batuan karst, maka pengelupasan lukisan banyak terjadi saat musim kemarau. Sifat inilah yang tak bisa dihentikan. “Seandainya garam itu tidak dinamis, diam saja, tidak akan merusak. Gamping ini hidup. Peka pada aliran-aliran air,” kata Rustan.

Faktor lain

Penguapan di sekitar wilayah gua tempat lukisan purba menjadi salah satu risiko. Dalam laporan kegiatan restrukturisasi data dan identifikasi, pemantauan laju kerusakan lukisan dinding gua prasejarah: Kabupaten Maros, Pangkeje Kepulauan, Muna, dan Konawe Utara, BPCB Sulawesi Selatan melihat proses ini dapat membawa garam.

Genangan air atau pembukaan lahan di sekitar kawasan karst harus diminimalisir. Genangan-genangan terpapar matahari akan jadikan proses penguapan cepat, kemudian mineral akan dihantarkan angin ke berbagai tempat, termasuk pada dinding gua. Tak ada yang dapat memastikan uap air itu tak membawa mineral garam.

Asumsi inilah yang menjadikan tim di BPCB Sulawesi Selatan mencari cara menghambatnya. Menghentikan proses alamiah itu, kata Rustan, tidak mungkin. Tim pun mencoba mempertahankan pohon dan akan menanam pohon di depan mulut gua. “Kalau misalkan ada 100 mg garam terbawa oleh uap air, setelah banyak pohon mungkin 20 mg garam bisa tertahan. Itu asumsi kami untuk saat ini. Jadi, kalau ada risiko 10 dan 100, dan harus memilihnya. Kami akan mengambil risiko 10 itu,” jelas Rustan.

Fakta lain, lukisan di Leang Parewe di Pangkajene Kepulauan, mulut gua berhadapan langsung dengan empang masyarakat yang berdekatan dengan laut. Ketika musim kemarau, petakan empang itu akan beralih fungsi jadi ladang garam.

Apakah kerusakan itu terjadi pada 4 tahun terakhir, atau jauh sebelumnya? Atau akumulasi dari ribuan tahun lalu. Saat ini kita masih membutuhkan sampel dan metode tepat untuk melihatnya

Rustan, arkeolog bpcb sulawesi selatan

Bagaimana lukisannya? Dalam monitoring BPCB Sulawesi Selatan, kerusakan tak begitu massif meskipun pengelupasan terjadi. Dibandingkan Leang Jarie, yang berada puluhan kilometer dari laut, dan mulut gua masih tertutup karena banyak pohon.

Meski kemudian data lain menyebutkan, kalau rentang 1990 sampai awal 2000, di depan Leang Jarie warga membuat kandang ayam petelur.

“Empat tahun ini, benar-benar BPCB hanya monitoring dan database kerusakan. Kita belum menemukan metode yang tepat. Jika sudah terjadi kerusakan dan pengelupasan, iya itu kami sudah menemukannya,” papar Rustan.

“Apakah kerusakan itu terjadi pada empat tahun terkahir, atau jauh sebelumnya? Atau akumulasi dari ribuan tahun lalu. Saat ini, kita masih membutuhkan sampel dan metode tepat untuk melihatnya.”

Untuk mengetahui bagaimana lukisan ini rusak, para arkeolog juga berusaha menyingkap bagaimana pembuatan lukisan ini. Selama ini, para peneliti menyepakati kalau proses dilakukan dengan persiapan matang. Mulai memilih bahan oker–tanah- yang tepat, kemudian dihaluskan, lalu dicampur dengan mineral tertentu.

Tak ada yang dapat memastikan, perekat bahan oker tanah dengan cairan itu lalu kemudian disapukan menjadi sebuah lukisan.

*Liputan oleh Eko Rusdianto ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 7 September 2021.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.