Tenggelamnya pesisir utara Pulau Jawa bukan lagi sebuah prediksi, namun sudah menjadi bahaya yang semakin nyata.
Tenggelamnya pesisir utara Pulau Jawa bukan lagi sebuah prediksi, namun sudah menjadi bahaya yang semakin nyata. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), atau Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim tahun 2021, kawasan Asia Tenggara akan mengalami dampak yang cukup parah. Kerentanan kawasan ini terhadap kenaikan permukaan air laut ditemukan lebih cepat terjadi dibandingkan daerah lain. Hal ini semakin diperburuk oleh pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah.
“Hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara telah diamati dari tahun 1984-2015. Proyeksi menunjukkan bahwa permukaan laut regional rata-rata terus meningkat. Ini membuat kejadian banjir lebih sering di derah pantai. Ditambah lagi Tingkat Total Ekstrim Air (Extreme Total Water Level/ETWL) lebih tinggi di daerah dataran rendah dan erosi pantai mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir,” papar Prof. Edvin Aldrian, pakar iklim dan meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang juga merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC.
Berbicara dalam webinar bertajuk “Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa, Apa Langkah Mitigasinya?” yang berlangsung 16 September 2021, Prof. Edvin menegaskan bahwa kenaikan air laut tak lepas dari fenomena mencairnya es di kutub bumi dan pemuaian air laut karena pemanasan global. Inilah yang mengakibatkan penambahan volume air laut, serta meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir yang menggenangi wilayah daratan.
“Dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia menyebabkan tingkat banjir yang lebih tinggi, termasuk yang terjadi pada pesisir utara Pulau Jawa,” sambungnya.
Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh BRIN, Rokhis Khomarudin, mengamini pernyataan tersebut. Dia juga melihat dampak perubahan iklim terhadap pesisir utara Pulau Jawa semakin tinggi, dipicu oleh penurunan permukaan tanah di wilayah tersebut.
“Manusia ikut menjadi faktor penyebab yang signifikan. Konsumsi air tanah yang masif dan tidak terkendali menyebabkan turunnya permukaan tanah. Walaupun saat ini dampaknya belum terlalu terasa, namun risiko turunnya permukaan tanah jelas membawa kerugian besar, baik dari sisi sosial maupun ekonomi bagi negara kepulauan seperti Indonesia,” jelasnya.
Rokhis memaparkan, berdasarkan hasil pemantauan citra satelit terbukti terjadi penurunan muka tanah di DKI Jakarta antara 0.1-8 cm per tahun, Cirebon antara 0.3-4 cm per tahun, Pekalongan antara 2.1-11 cm per tahun, Semarang antara 0.9 – 6 cm per tahun, dan Surabaya antara 0.3 – 4.3 cm per tahun .
Dari data satelit tergambar bahwa pesisir utara Jawa, terutama Pekalongan, mengalami penurunan muka tanah yang paling tajam. Kondisi geologi daerah pesisir yang merupakan tanah lunak ditunjang dengan peningkatan pembangunan pemukiman dan penggunaan air tanah menyebabkan penurunan muka tanah semakin tinggi.
“Perlu adanya monitoring terhadap penurunan tanah dan laju perubahan garis pantai akibat perubahan ketinggian air laut,” imbuhnya.
Peneliti Ahli Utama BRIN, Prof. Eddy Hermawan juga mengungkapkan fenomena turunnya permukaan tanah di pesisir utara Pulau Jawa lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan selatan Jawa yang struktur geologinya cenderung berbukit.
“Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota-kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah ekstrim hingga tahun 2050.”
“Kondisi morfologi daerah pesisir yang relatif datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di utara Jawa. Ini membuat beban tanah karena bangunan dan penyedotan atas penggunaan air tanah menjadi lebih intensif dibandingkan dengan wilayah lain. Untuk itu, upaya mitigasi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan harus segera dilakukan,” ujarnya.
Tantangan dan inisiatif pemerintah DKI Jakarta
DKI Jakarta kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu kota yang berpotensi paling cepat tenggelam di Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh Irvan Pulungan, Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim.
“Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan potensi tenggelamnya Jakarta. Yaitu letak geografis DKI Jakarta yang memang 40% wilayahnya berada di bawah permukaan laut, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan pembebanan pembangunan, serta penggunaan sumber air yang masif menyebabkan turunnya permukaan tanah.” terangnya.
Ia menerangkan bahwa dampak perubahan iklim melipat tigakan permasalahan yang di hadapi, dan seluruh organisasi pemerintah daerah mengalami permasalahan yang serupa, yaitu isu global umat manusia ini hanya ditangani oleh Sub Bidang di bawah Dinas Lingkungan Hidup, di mana ruang gerak dan kewenangannya terbatas dalam menjalin kerja sama secara vertikal maupun horizontal.
Sebagai solusi, Pemda DKI Jakarta telah mengeluarkan beberapa kebijakan strategis. Misalnya, menegaskan penanganan “Dampak Bencana Iklim” sebagai salah satu prioritas kerja utama Gubernur DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta juga mendorong kolaborasi aksi pemangku kepentingan baik pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil dan organisasi akademik dalam menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.
“Di sisi lain, melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No.57 Tahun 2021, Pemprov DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta,” tegasnya.
Perencanaan pembangunan tata ruang kota yang berimbang
Menyoroti permasalahan ini, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Hariadi Kartodihardjo menyatakan bahwa persoalan paling mendasar dalam merencanakan dan menjalankan pembangunan tata ruang dapat mengikuti kehendak dan permintaan pasar (market) yang sarat akan kepentingan pihak-pihak tertentu. Pemerintah harus memiliki manajemen risiko bencana untuk mewujudkan konsistensi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.
“Perubahan iklim merupakan isu global yang kebijakan mitigasinya harus disusun dan ditaati oleh pemerintah pusat dan daerah dengan melibatkan semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, semua orang mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengimplementasikan aksi atau gerakan sosial dan adaptasinya untuk meminimalisir risiko bencana,” tuturnya.
Prof. Hariadi menekankan bahwa pemerintah daerah memegang peranan penting untuk menyusun kebijakan perencanaan pembangunan.
“Pemda bisa mengintervensi proyek pembangunan di daerah pesisir pantai. Intervensi ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan. Selain itu, pemda perlu menginformasikan kepada semua pemangku kepentingan tentang faktor pendukung pencegahan kerusakan lingkungan, seperti penggunaan air tanah dan sistem drainase yang baik,” tuturnya.
Menanggapi kebijakan pemda DKI Jakarta, Prof. Hariadi memandang pentingnya indikator kinerja yang dapat diawasi oleh akademisi, LSM, media massa, dan masyarakat.
“Kebijakan pemda akan lebih efektif jika mendapatkan pengawasan dari masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat bisa memberikan solusi yang efektif untuk tata ruang perkotaan,” tutupnya.