Menurut laporan the Coalition for Urban Transitions, perkotaan menyumbang sekitar 70% total emisi dunia yang berdampak masif bagi perubahan iklim. Hal ini menyebabkan tingkat pencemaran udara yang tinggi dan sangat berbahaya bagi kesehatan penduduk perkotaan.

Saat para pemimpin dunia terus berupaya menyusun kebijakan-kebijakan global untuk mengendalikan laju perubahan iklim, kesadaran terhadap dampak perubahan iklim ikut mendorong maraknya gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, khususnya di kalangan masyarakat perkotaan. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan sempit di perkotaan untuk dijadikan kebun buah dan sayuran.

Selain dapat memenuhi kebutuhan pangan yang lebih sehat, berkebun di perkotaan berkontribusi pada nilai ekologi, yaitu dengan bertambahnya ruang hijau di tengah kawasan yang padat penduduk. The Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) melakukan wawancara dengan Soraya Cassandra, Co-Founder Kebun Kumara, pada Rabu, 1 September 2021.

Sosok inspiratif ini aktif memberikan edukasi dan melakukan aksi nyata menjaga lingkungan. Ia membangun Kebun Kumara sebagai kebun belajar dengan tujuan untuk mengajak masyarakat kota menerapkan gaya hidup yang lebih lestari, salah satunya dengan kembali berkebun. Kisahnya  diangkat dalam film dokumenter lingkungan berjudul “Semesta”, yang diproduseri oleh Nicholas Saputra.

Melalui Kebun Kumara yang menggunakan pendekatan permakultur, Soraya merawat alam dengan menggabungkan tradisi dan kearifan lokal Indonesia yang kian tergerus modernisasi di daerah perkotaan.

Anda memilih membentuk Kebun Kumara sebagai upaya menjaga lingkungan. Bisa dijelaskan bagaimana awal mula Kebun Kumara terbentuk?

Kebun Kumara lahir dari keresahan kami sebagai anak kota akan disparitas dari pengetahuan kami akan isu lingkungan dengan kemampuan kami untuk melakukan sebuah aksi nyata untuk turut berkontribusi mengatasinya. Kami menyadari bahwa kami sungguh tidak memahami alam, hanya sekadar mengagungkannya, mengaku mencintainya, tanpa tahu betul cara merawatnya.

Kami menemukan sebuah tempat bernama Bumi Langit di Imogiri, Yogyakarta. Dari lokasi tersebut, kami belajar tentang permaculture, sebuah pendekatan untuk mendesain hidup yang lebih seimbang dengan bekerja sama dengan prinsip alam. Permaculture ini sesungguhnya bukanlah hal baru, namun sebuah pedoman yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita.

Ketika mengikuti Permaculture Design Course di Bumi Langit, kami belajar tentang cara mendesain ruang yang bisa mendukung proses berkehidupan yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan kembali menghadirkan kebun di rumah yang bisa mengintegrasi tradisi, untuk kembali menjalin hubungan dengan alam dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya, kami membangun Kebun Kumara sebagai kebun belajar yang mengajak masyarakat kota untuk menerapkan gaya hidup yang lebih lestari, salah satunya dengan kembali berkebun.

Apa saja kegiatan yang dilakukan oleh Kebun Kumara?

Kami menawarkan dua jasa utama, yaitu edukasi dan penggarapan lanskap kebun pangan. Untuk edukasi, kami menggodok berbagai kurikulum dasar seputar berkebun, mengkompos, permaculture, upcyling plastic, dan lainnya untuk dijadikan pelatihan atau webinar. Kami mendesain proses belajar berbasis experiential learning untuk segala umur – dari usia 2 tahun hingga dewasa.

Untuk jasa penggarapan lahan kebun pangan atau edible landscape, kami menawarkan jasa desain, konstruksi (build & plant), dan perawatan kebun. Kami membantu merealisasikan lanskap yang berkelanjutan untuk rumah, sekolah, dan area komunal jenis apa pun.

Pendekatan desain kami berbasis permaculture, sehingga kami betul-betul melakukan pengamatan yang holistik terhadap lahan yang ingin digarap dan menjalani proses pemetaan potensi bersama klien secara mendalam, sehingga bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan pemiliknya. Kami percaya bahwa sebuah kebun dapat memenuhi fungsi yang beragam, yang mampu memperkaya kualitas hidup dari mereka yang berinteraksi dengannya

Bicara soal lingkungan hidup, menurut pengamatan Anda, bagaimana kondisi alam dan lingkungan di Indonesia saat ini?

Tough question! Saya bukan ahli di bidang ini sehingga tidak bisa memberikan gambaran yang adil. Namun, dari apa yang saya baca, dengar, dan lihat, alam Indonesia begitu kaya sehingga terlalu banyak yang tergiur untuk terus menggerogotinya untuk kekayaan serta kepentingan segelintir kelompok.

Sebut semua kekayaan alam – jelas dari fossil fuel seperti batu bara, minyak, gas bumi, dikeruk dengan dampak yang begitu menyeramkan; lalu kekayaan tanah hutan yang dirampas dari hutan itu sendiri, pohon ditebangi dan diganti oleh pertanian monokultur sawit dan lainnya yang merusak.

Hutan yang berusia ratusan tahun bisa hilang dalam sekejap dan melemahkan jasa yang senantiasa ia beri untuk melindungi kita semua dari banjir, erosi, dan bencana alam lainnya; juga pencemaran besar-besaran yang terjadi, baik di kota maupun di area-area lain yang tidak dipedulikan nasibnya ketika ia bergelut dengan sampah plastik, limbah industri, bahkan sampah impor dari negara lain.  Sementara dari kacamata pembangunan, jelas alam kita telah dan sedang dirusak habis-habisan. Saya pikir kita sedang hidup dalam zaman krisis iklim.

Bagaimana kita dapat ikut mencegah dampak perubahan iklim?

Kalau kita bicara krisis iklim secara makro, maka beberapa hal utama yang harus dilakukan sesegera mungkin; pertama menghentikan fossil fuel dan deforestasi. Kedua butuh komitmen besar dan aksi konkret dari para pemimpin yang memegang kendali untuk mengubah alur jalannya sistem yang sekarang berlangsung. Ketiga, aksi individu dan perorangan dimulai dari kesadaran, pengetahuan dan willingness atau kemauan untuk beraksi. Ketiga hal ini harus seimbang karena aksi nyata sangat bergantung pada konteks masing-masing orang. Selama kita mengenali isunya dan mau untuk bertindak, kita pasti akan menemukan cara yang bisa dilakukan dalam keseharian.

Bagaimana Anda melihat potensi pasar urban farming di kota besar?

Diperkirakan bahwa 56% populasi Indonesia akan berhijrah ke kota besar pada tahun 2035, bahkan urbanisasi secara global akan terjadi. Diperkirakan 1/3 penduduk dunia akan hidup di kota pada tahun 2050. Jika orang akan berkumpul di kota, maka gaya hidup kita di kota harus bisa menjadi gaya hidup yang berkelanjutan dan mampu melestarikan alam serta mendukung kehidupan yang berkualitas untuk manusianya. Saat ini, kehidupan perkotaan bisa dibilang jauh dari itu.

Pola hidup yang serba instan, berlebih, dan mubazir, serta pemenuhan kebutuhan kehidupan perkotaan yang konsumtif telah menjadi sumber terjadinya kerusakan pada alam. Maka, cara kita membangun kota dan cara kita membentuk pola hidup di dalamnya harus digodok kembali.

Salah satunya adalah dengan potensi lanskap perkotaan yang dibuat asri, lebih hijau, lebih produktif, dan lebih sehat. Hal ini bisa dimulai secara perorangan per rumah. Kehadiran kebun dan pohon ikut menemani keseharian pemiliknya. Hal ini bisa juga dimulai dengan tata ruang yang lebih luas. Taman kota, hutan kota, atau kebun-kebun tempat beraktivitas mulai ditanam dan dibangun untuk menemani kehidupan di perkotaan.

Bagaimana keberadaan urban farming dalam pemanfaatan lahan, penggunaan air berkelanjutan, dan pengurangan jejak karbon individu maupun kelompok masyarakat perkotaan?

Kebun Kumara tidak melakukan urban farming skala produksi. Dari segi pemanfaatan lahan, jelas area yang digarap menjadi sebuah kebun yang berisi keanekaragaman tanaman dan pohon, akan mampu merealisasikan potensi dari lahan itu dengan memanen aneka sumber daya terbarukan yang hadir. Dengan adanya kebun, secara langsung kita memanen matahari dan air hujan. Energi tersebut diubah menjadi energi yang membuat pohon dan tanaman tumbuh subur dan besar. Kelak itu menjadi energi untuk hasil panennya, baik manusia ataupun binatang lain yang menempati kebun tersebut.

Lahan menjadi ruang kehidupan dengan ekosistem yang berjalan. Tidak terbatas pada itu, area yang dibuat hijau dengan aneka tanaman tentunya memberikan manfaat penyejukan untuk lingkungan sekitar serta menghadirkan udara yang lebih bersih.

Dari segi penggunaan air berkelanjutan, jelas bahwa sebuah kebun dapat memenuhi hal ini karena pada dasarnya kita bisa mendesain sebuah kebun untuk bisa menangkap air hujan, baik dengan instalasi penangkapan dari genteng, lubang biopori, ataupun desain drainase yang bisa menyerap air ke dalam tanah untuk disimpan di dalam kebun. Penyerapan ini jelas menguntungkan simpanan atau suplai air tanah yang kita ketahui terus-menerus menipis di perkotaan.

Lalu terakhir dari segi pengurangan jejak karbon, sebuah kebun yang ditanami pepohonan jelas membantu penyerapan CO2 dari sekitarnya dan mengembalikannya ke tanah sebagai unsur karbon yang dibutuhkan untuk kesuburan tanaman yang tumbuh di atasnya. Hal ini sering disebut carbon sequestration atau penangkapan dan penyimpanan karbon untuk jangka waktu yang lama. Karena kebun itu usianya bisa sangat lama, bahkan pohon bisa lebih dari 100 tahun sekalipun, maka jika kita terus merawat kebun tersebut, proses sekuestrasi karbon ini bisa terus berjalan.

Anda juga menjadi salah satu pemeran dalam film dokumenter “Semesta”. Bagaimana awal mula Anda terlibat dalam film tersebut?

Awal keterlibatannya waktu dikenalkan ke Mas Nicholas Saputra saat beliau dan tim sedang mencari satu perspektif dari sebuah aksi yang dilakukan di perkotaan. Tidak lama setelah itu, tim produksi datang ke Kebun Kumara dan bercerita tentang niat mereka dalam membuat sebuah dokumenter “Semesta”.

Setelah beberapa kali diskusi, mereka ingin mengangkat sedikit cerita kami dan latar belakang kami, seputar langkah yang kami ambil untuk menggaungkan kelestarian di kota. Walau kami bukan bisnis besar dan pengaruhnya belum begitu luas, kami senang bisa berbagi sedikit perspektif di balik kegiatan kami di film dokumenter tersebut.

Nilai yang ditanamkan dalam film tersebut adalah kecintaan terhadap alam dengan berpedoman pada kearifan lokal. Mengapa menggunakan pedoman kearifan lokal?

Karena pedoman kearifan lokal adalah tradisi bangsa kita, sehingga menjadi sebagian dari identitas diri kita. Lebih lagi karena kearifan lokal adalah proses yang terbukti telah berhasil menjaga keseimbangan alam dan kualitas hidup manusia selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Karena itu sudah sepatutnya kearifan lokal menjadi sumber ilmu yang dipelajari dan dikenal kembali. Ia menjadi mercusuar yang membimbing kita untuk menemukan cara berkehidupan yang lebih baik, cara yang kembali menjunjung nilai-nilai alam dan environmental stewardship.

Bagaimana film “Semesta” dapat membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan?

Dalam dunia digital seperti sekarang, saya pikir film memiliki peran yang begitu besar dalam ranah kesadaran masyarakat. Apa yang kita tonton tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga bisa menjadi sumber diskusi yang lebih mendalam lagi untuk kita gali bersama orang-orang sekitar. Kita membutuhkan semakin banyak orang yang sadar dan paham tentang cara merawat alam seiring dengan isu-isu lingkungan dan krisis iklim yang dihadapi. Sebuah film dapat menjembatani proses ini, memberikan harapan dan motivasi untuk kita semua percaya akan kemampuan kita sendiri untuk mengambil aksi. That is the power of movies.

Bicara anak muda, bagaimana mengajak lebih banyak generasi muda untuk peduli dan melek isu lingkungan, dan berkontribusi langsung untuk mencegah dampak perubahan iklim dalam kehidupan sehari hari?

Anak muda harus diajak untuk mengenal alam secara langsung dan berinteraksi dengannya. Penataan ruang harus bisa menghadirkan alam untuk bisa dinikmati oleh generasi muda, tidak hanya gedung-gedung pencakar langit dan perkotaan yang sepi pepohonan untuk menyainginya. Children need the real jungle, not concrete jungle.

Satu kegiatan yang kami percayai memiliki dampak yang luar biasa untuk mendukung hal ini adalah dengan berkebun. Ajak anak ke kebun dan izinkan dia untuk belajar menanam. Anak akan menemukan berbagai aspek alam yang sesungguhnya telah berkontribusi untuk keberlangsungan hidupnya selama ini. Ketika anak mengenal asal usul dan proses di balik makanannya sendiri, ia bisa bercermin dan menemukan sebagian dirinya pada tanah, pada daun, pada benih, pada air, pada matahari, dan pada alam semesta. Dan ketika rasa itu tersadarkan, anak akan dengan sendirinya bergerak untuk mencari cara merawat alam.

Harapan Anda untuk alam dan lingkungan Indonesia di masa depan?

Tentunya harapan saya, alam dan lingkungan akan semakin lestari. Bisa dimulai dari perubahan kebijakan dan penerapannya di lapangan. Menurut saya hal ini kunci, sebab seluruh lapisan masyarakat bergerak dari sistem yang berlaku. Jika sistem tidak dirombak, maka langkah yang kita ambil akan selalu saja terbatas.

Saya juga berharap bahwa pelaku bisnis saat ini maupun yang akan datang bisa semakin bertanggungjawab dan berperilaku adil pada alam sehingga pendekatan itu kelak menjadi norma, bukan anomali. Orang-tua, sekolah, guru, media, bahkan public figure mulai mengangkat isu lingkungan dan menguatkan kesadaran masyarakat secara bersama-sama. Komunitas, gerakan, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat luas mulai tergerak melakukan aksi nyata untuk merawat lingkungan. Secara individu, kita bisa memperbaiki cara hidup agar lebih empatis terhadap dampak yang kita berikan ke alam. Seperti bagaimana cara kita mengkonsumsi, menghemat listrik, mematikan air, mengkompos sisa makanan, dan masih banyak lagi.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.