Tiga pekan setelah pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim COP26 Perserikatan Bangsa Bangsa, kritik dari berbagai pihak terus disampaikan. Mulai dari komitmen setiap negara yang dinilai kurang ambisius, sampai negosiasi yang dinilai hanya memperdagangkan lingkungan melalui konsep netzero emissions yang ditargetkan mampu tercapai pada 2050 mendatang. Pemerintah Indonesia sendiri mengaku berkomitmen untuk mencegah dampak krisis iklim. Namun, praktik eksploitasi batu bara dan deforestasi untuk pembangunan di Indonesia justru tidak dihapuskan.

Usai pertemuan COP26 UNFCCC, sejumlah organisasi lingkungan mengkhawatirkan rencana pembangunan gaya baru dengan konsep netzero carbon emissions. Konsep ini dinilai berpotensi mengganggu ruang hidup masyarakat dengan pengembangan ekonomi hijau atas nama komitmen krisis iklim.

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan COP26 di Glasgow dan tantangan Indonesia selanjutnya pasca-COP26, the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan Siti Maimunah pada Selasa, 23 November 2021. Perempuan lulusan Universitas Jember itu merupakan delegasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang berkesempatan mengikuti langsung konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di dunia.

Selama mengawal isu lingkungan, kasus-kasus apa saja yang sering Anda tangani?

Selama ini yang saya tangani berkaitan dengan isu tambang dan perempuan. Banyak kasus diawali dengan pemberian izin tanpa diketahui masyarakat, sehingga menimbulkan konflik berlapis. Konfliknya beragam antara pemerintah dan masyarakat, perusahaan dan masyarakat, sampai tumpang tindih perizinan.

Saya mencermati pemerintah dan perusahaan memperlakukan alam seperti objek. Kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan apakah kawasan itu boleh dibongkar atau apakah masyarakat perlu diberi ruang untuk diskusi terkait proyek ekstraksi untuk kebutuhan ekspor. Pola itu terus berlangsung dan semakin akut.

Saat pemerintah mengeluarkan izin yang berpotensi merusak lingkungan, bencana pun terjadi. Ketika pemerintah tidak mampu melakukan pemulihan atas kerusakan yang terjadi, gangguan kesehatan dan bencana ekologis lainnya menyusul. Pola seperti ini yang sering terjadi dalam kasus industri pertambangan. 

Ada cerita menarik dari berbagai kasus- kasus perusakan lingkungan yang pernah ditangani?

Saya tidak pernah menangani sendiri, selalu kolektif dengan kawan-kawan. Salah satu pengalaman berharga ketika mendampingi perempuan di Molo, Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kasus pertambangan marmer di lahan adat, yang juga digunakan perusahaan untuk jaminan utang. Perempuan Molo mengajarkan kami bahwa alam itu seperti tubuh manusia, tulang itu seperti gunung batu, air itu seperti darah, tanah itu seperti daging, hutan itu seperti kulit dan rambut. Merusak alam itu seperti memakan tubuh kita. Lingkungan hidup tidak hanya urusan sains, tapi ada banyak dimensi pemulihan di luar kemampuan kita. Pemerintah tidak pernah memperhitungkan risiko yang dihadapi masyarakat ketika lingkungan tercemar.

Anda menjadi salah satu delegasi COP26 di Glasgow mewakili organisasi lingkungan. Menurut pangamatan Anda, bagaimana keseriusan para pemimpin dunia dalam menangani krisis iklim?

Mereka terlihat serius menangani krisis iklim, tapi dengan kebijakan yang justru hanya menguntungkan korporasi. Misalnya komitmen net-zero emissions, seolah-olah emisi karbon di nol-kan dalam kerangka netral karbon untuk menangani krisis iklim. Kita boleh membakar energi fosil asal tetap menanam hutan. Rekayasa-rekayasa seperti ini tentunya akan menyulitkan kita untuk segera beralih dari energi fosil, apalagi mencapai net-zero emissions.

Komitmen yang disampaikan justru tidak menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi mengkomodifikasi alam dengan sistem net-zero emissions dalam bentuk perdagangan karbon. Krisis tidak direspons dengan pemulihan, tapi dengan memperdagangkan krisisnya.

Bagaimana dengan langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia saat COP26 berlangsung?

Selain topik tentang sawit dan batu bara, Indonesia menyampaikan tentang rencana pengembangan energi hijau. Salah satunya dengan mengembangkan komoditas mobil listrik. Padahal mobil listrik juga termasuk energi kotor karena baterai mobil membutuhkan nikel. Daerah-daerah yang akan dijadikan wilayah pertambangan tentunya akan mempengaruhi ruang hidup masyarakat yang diambil untuk keperluan tambang nikel, seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Pulau Halmahera, Maluku, juga sudah tercemar parah akibat aktivitas pertambangan. Kondisi seperti ini tidak pernah ada dalam laporan Presiden saat berpidato di COP.

Pengembangan energi hijau yang disampaikan Indonesia juga menyiratkan aktivitas penambangan yang lebih besar lagi di Sumatera Utara untuk kebutuhan seng (Zn) sebagai bahan baterai listrik. Dampaknya? Lahan yang dijadikan kebun durian masyarakat akan hilang. Ekonomi berkelanjutan masyarakat juga ikut hilang, belum lagi pelepasan karbon ke atmosfer yang akan memperburuk dampak krisis iklim karena semakin luasnya lahan yang dikonversi.

Komitmen Indonesia kurang ambisius?

Menurut saya, komitmen Indonesia tidak akan menurunkan emisi gas rumah kaca. Sebaliknya, justru akan meningkatkan GRK karena tidak ada upaya menurunkan penggunaan energi fosil, terutama batu bara. Yang terjadi justru akan memperbesar dan memperburuk dampak krisis iklim yang dihadapi masyarakat.

Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembangunan dan deforestasi menuai kritik. Bagaimana tanggapan Anda?

Meski telah banyak yang dilakukan KLHK untuk perlindungan hutan, tapi memang belum maksimal.  Salah satunya pengakuan atas hutan adat – prosesnya sangat lambat dibandingkan pemberian izin untuk konsesi lahan. Pembangunan yang dilakukan sekarang justru menciptakan kesenjangan ekonomi dan kerusakan lingkungan yang masif.

Bagaimana pandangan Anda tentang bisnis pertambangan yang seringkali didukung pemangku kepentingan?

Berdasarkan temuan saat saya melakukan penelitian S2 dan S3 tentang batu bara, Kalimantan Timur menjadi pemasok batu bara terbesar di Indonesia. Kalimantan Tengah akan menjadi wilayah perluasan selanjutnya untuk dieksploitasi. Praktik eksploitasi tidak akan pernah berhenti jika perusahaan mendapatkan izin dari pemerintah dengan mudah. Penelitian JATAM telah membuktikan bagaimana para elit partai dan politikus terlibat dalam pemberian izin konsesi pertambangan. Ini yang disebut JATAM sebagai ijon politik.

Anda juga sering menuliskan catatan Anda selama berada di Glasgow. Mengapa Anda melakukan itu?

COP itu pertemuan elit. Pada 1 November lalu saat COP26 dimulai, saya menerima kabar duka dari Kalimantan Timur, satu orang lagi warga meninggal di lubang tambang. Pesan tentang meninggalnya Feby, dan sebelumnya sudah 39 orang lain meninggal di lubang tambang, rencana pengembangan wilayah tambang batu bara, dan status Indonesia sebagai salah satu negara pengeskpor batu bara terbesar di dunia adalah beberapa contoh isu-isu lingkungan yang tidak pernah disampaikan dalam agenda COP. Saya berusaha ikut menyuarakan ini dalam COP26 di Glasgow dan dalam catatan harian.

Selain itu, Glasgow merupakan kota penting sebagai refleksi penyebab krisis iklim. Glasgow adalah kota kedua imperium, di mana Britania Raya memulai revolusi industri dengan mesin uapnya. Pertemuan COP26 yang dilakukan di antara Sungai Clyde merupakan salah satu lokasi pabrik kapal. Glasgow adalah kota yang hidup dari perdagangan tekstil, tembakau, dan gula yang dieksploitasi dari negara jajahan. Penyelenggaraan COP26 di Glasgow menjadi simbol penyebab krisis iklim dan potret kapitalis yang menumpuk kekayaan dengan kekerasan dan perampasan dari negara jajahannya.

Saya lalu membayangkan apa bedanya dengan pemerintah sekarang yang melakukan kekerasan dengan memaksakan proyek pembangunan yang menyebabkan krisis iklim. Ini menjadi pola berulang dari apa yang pernah terjadi di Glasgow pada masa lalu. Alasan itu yang mendorong saya untuk membuat catatan, agar saya lebih mudah merefleksikan sejarah dan krisis iklim.

Pasca-COP26, hal-hal apa saja yang perlu terus dikawal?

Menurut saya penting dicermati konsekuensi proyek netzero emissions yang berpotensi menggusur rakyat. Misalnya, pembangunan energi terbarukan untuk solar sel dalam skala besar. Kedok proyek hijau seperti ini jangan malah merugikan masyarakat atas nama komitmen krisis iklim.

Peran anak muda dalam mengatasi krisis iklim terus didorong. Bagaimana cara melibatkan lebih banyak anak muda dalam menjaga lingkungan?

Anak muda harus diperlakukan sama pentingnya dengan nelayan, petani, dan perempuan, dan entitas lainnya. Sebagai entitas yang punya kebutuhan khusus, pandangan, dan pengalaman hidup yang berbeda, mereka akan menjadi generasi berikutnya yang menghadapi dampak krisis iklim. Mungkin dampak krisis iklim yang mereka hadapi justru akan lebih buruk dibandingkan sekarang, sehingga penting untuk membangun kesadaran mereka tentang ancaman krisis iklim, tidak menjadi perusak alam berikutnya, dan melibatkan mereka secara langsung dalam upaya menjaga lingkungan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.