Semut merah berbaris melintasi tanah basah. Akar pohon sebesar lengan yang menyeruak dari dalam tanah, tak menghalangi iring-iringan semut. Tampak rombongan semut melipir di akar pohon lalu menaiki batang kekar dengan kulit yang kasar. Tak lama berselang, rombongan semut menyebar ke sela-sela kulit kayu. Di puncak pohon setinggi 10 meter itu, burung Merbah (Pycnonotidae) berkicau kelaparan.

Pohon dengan lingkar batang sebesar paha orang dewasa atau berdiameter sekitar 20 centimer ini bernama mahoni (Swietenia mahagoni). Dia tumbuh cepat di alam bebas. Sepasang pengantin sedang kasmaran telah menanamnya di jantung hutan kota. Tanda cinta dari pasangan pengantin itu kini sudah berumur delapan tahun.

Pohon mahoni menjadi yang pertama kali ditanam oleh pasangan pengantin yang menikah di Kota Jambi pada 2013. Hal ini bertepatan setelah pemerintah mengeluarkan aturan Taman Hutan Sejuta Cinta seluas lima hektare. Setiap orang yang hendak menikah pun, mulai sejak itu, ‘dipaksa’ menanam pohon sebagai syarat tambahan untuk menikah.

Aturan tambahan ini mendapat respons beragam dari pasangan pengantin yang hendak membangun bahtera rumah tangga. Sebagian kecil pengantin keberatan. Mereka menganggap hanya akal-akalan pemerintah untuk menarik uang ‘pelicin’ dari pasangan pengantin.

Pemerintah bergeming, tetap kokoh melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa manfaat menanam pohon adalah untuk masa depan anak cucu. Pohon yang ditanam berguna untuk menyerap racun yang dihasilkan kendaraan bermotor. Dengan demikian, udara di perkotaan akan semakin bersih.

“Saya sama sekali tidak keberatan. Dan mendukung pemerintah menangani kerusakan lingkungan dan mengurangi efek gas rumah kaca,” kata Suci Mahayanti, warga Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Legok, Kecamatan Danau Sipin, Kota Jambi.

Suci, yang baru menikah pada 12 September 2021 ini, mengaku sangat mendukung program menanam pohon dari pemerintah. Menurutnya, sebagai warga kota yang terkadang mengabaikan persoalan lingkungan selama dia hidup, kini diberikan kesempatan untuk ‘bertobat’ dengan menanam pohon.

Kendati kecil, kata isteri dari lelaki bernama Rendi Akbar ini, setidaknya kita telah berkontribusi dalam merawat Bumi yang sakit. Pada intinya, Suci ingin berguna untuk lingkungan. Untuk itu, dia menanam pohon rambutan di Taman Hutan Sejuta Cinta.

“Sebelum memutuskan pohon yang akan ditanam. Saya coba cari tahu, tentang Taman Hutan Sejuta Cinta. Rupanya di sana, sudah ada monyet dan hewan-hewan. Jadi pohon buah adalah pilihan terbaik,” Suci menjelaskan.

Suci berharap niat dan perbuatan baiknya itu akan berdampakn positif bagi kehidupan rumah tangganya. Cita-citanya, seperti pohon yang ditanam, cinta mereka akan terus tumbuh, semakin kuat, dan memberi manfaat kepada orang banyak.

Program menanam pohon dari pemerintah, kata Suci, harus konsisten diberlakukan terus kepada pasangan pengantin. Sebab Kota Jambi terus berkembang sebagai kawasan urban, lalu pertumbuhan perumahan yang tak terbendung, semakin mempersempit ruang terbuka hijau.

Rimbun pohon di hutan kota, sambung Suci, mampu menjaga kualitas udara tetap bersih dan sehat dengan menyerap emisi karbon, sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim.

Pengantin lain, Aulia Fadli, yang menikah pada 2015, mengaku sempat keberatan dengan aturan yang meminta pasangan pengantin menanam pohon. Fadli merasa pemerintah memaksa warga yang tak bersalah menanggung dosa puluhan perusahaan yang menjadi biang kerok kebakaran hutan.

“Itu artinya perusahaan yang makan mewah di suatu pesta, kita warga biasa yang disuruh cuci piringnya,” kata Fadli dengan nada kesal.

Awalnya Fadli keras hati dan memilih menikah di kota lain. Namun, setelah dibujuk sang calon istri, Fadli luluh.

Menurut istrinya, Fadli bercerita, menanam pohon bukan perkara membersihkan dosa orang lain, tetapi menjadi contoh kecil gerakan perubahan. Agar orang-orang menyadari pentingnya menjaga lingkungan, terutama keutuhan hutan yang sangat berguna untuk keberlanjutan kehidupan manusia.

Itu artinya perusahaan yang makan mewah di suatu pesta, kita warga biasa yang disuruh cuci piringnya

Aulia Fadli, warga Kota Jambi

“Saya akhirnya menyadari, dengan menanam pohon, orang-orang akan sadar kalau untuk memperbaiki keadaan kita tidak harus menuntut orang lain, tetapi mulailah dari diri sendiri. Mungkin itu juga, yang diyakini pemerintah,” kata Fadli, yang lalu menanam 10 pohon tembesu, mahoni, rambutan, durian, dan jengkol saat menikah.

“Ini artinya pemerintah tidak sedang menyuruh warganya menanam pohon, tetapi sedang membangun kesadaran warganya, agar sama-sama peduli dengan lingkungan,” kata Fadli.

Gandeng KUA

Untuk menjalankan program menanam pohon bagi pengantin ini, pemerintah kota bekerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap kecamatan. Saat akan mengajukan syarat menikah di KUA, mereka diminta membawa bukti berupa dokumen telah menanam pohon atau menyerahkan bibit tanaman ke pihak pemerintah kota di tingkat kelurahan.

“Iya pasangan pengantin biasanya melampirkan foto telah menanam pohon, sebagai syarat tambahan untuk mengurus pernikahan di KUA,” kata Iwan Setiawan, Penghulu Nikah KUA Jambi Timur, Kota Jambi, 15 Desember 2021.

Iwan mengatakan syarat menanam pohon itu memang harus dilengkapi pasangan pengantin, karena ini merupakan kebijakan Pemerintah Kota Jambi dengan Kantor Kementerian Agama yang dimandatkan ke KUA.

Ia mengungkapkan, beberapa pasangan pengantin ada juga yang melayangkan protes dengan syarat menanam pohon ini. Hanya saja, pihaknya langsung memberikan pengertian akan manfaat program ini bagi keberlanjutan lingkungan hidup.

Lalu, apa sanksi bagi pasangan calon pengantin yang tidak menjalankan program menanam pohon? Sukri Ahkam, Sekretaris Kecamatan Pelayangan, Kota Jambi, menjelaskan, surat pengantar nikah dari kelurahan yang akan dibawa ke KUA akan ditahan bila pasangan calon pengantin tidak menanam pohon atau membawa bibit pohon.

“Saat saya masih menjabat Lurah Mayang Mangurai, untuk mendapatkan surat pengantar nikah. Selain melampirkan tanda bukti lunas pembayaran pajak bumi bangunan (PBB), pasangan calon pengantin memang harus membawa bibit pohon,” kata Sukri melalui sambungan telepon, 15 Desember 2021.

“Bagi yang tidak sempat menanam sendiri, bibit pohon akan kita tanam di lingkungan RT,” kata Sukri.

Bangun Kesadaran Warga

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Hutan Kota Muhammad Sabki, Kota Jambi, M Fauzi membenarkan bahwa pemerintah memang sedang membangun kesadaran warga tentang kelestarian lingkungan hidup. Menurut Fauzi, Wali Kota Jambi, Syarif Fasha sedang ‘memaksa’ warganya agar peduli terhadap kerusakan lingkungan. Pemerintah pada dasarnya mengharapkan dukungan warga untuk peduli dan merawat lingkungan agar tetap berkualitas sebagai ruang hidup manusia.

Pemerintah Kota Jambi berkomitmen untuk menyediakan 30 persen luas lahan kota sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk mencapai target itu, salah satu upanya dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Jambi Nomor 742/2014 yang menetapkan kawasan hutan kota di Kelurahan Bagan Pete, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi.

Guna mendukung target 30 persen RTH tersebut, Pemerintah Kota Jambi menetapkan hutan seluas 41,7 hektare sebagai hutan kota, dengan 5 hektare dikhususkan bagi calon pengantin untuk menanam pohon ketika hendak menikah; disebut Taman Hutan Sejuta Cinta.

“Sekarang sudah 2 hektare lahan yang ditanami pohon oleh pengantin, ada sekitar 900 pasangan pengantin yang menanam pohon di sini,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Hutan Kota Muhammad Sabki, Kota Jambi, M Fauzi pada Senin, 13 Desember 2021.

Dia mengatakan, Taman Hutan Sejuta Cinta itu sengaja didedikasikan untuk para pengantin. Di Kota Jambi, pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan terlebih dulu diwajibkan menanam pohon. Program ini sudah dimulai sejak 2013 lalu. Kota Jambi, sebagai daerah berkembang, butuh daerah serapan air karena berada di aliran Sungai Batanghari yang rawan meluap dan banjir.

“Ini juga bisa sebagai langkah mengurangi emisi karbon. Dan tentunya daerah kita menjadi makin sejuk karena banyak pohon,” ucap dia.

Pemerintah Kota Jambi meminta pasangan pengantin untuk menyediakan bibit yang akan ditanam. Jenis bibit pohon yang direkomendasikan adalah pohon mahoni dan tembesu. Namun, pasangan pengantin juga dibebaskan untuk menanam jenis pohon apa saja sesuai dengan keinginan mereka.

Fauzi mengatakan, kini di Hutan Kota Bagan Pete sudah terdapat beberapa hewan jenis primata yang dilindungi, dan burung-burung yang dilepas oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Maka alangkah baiknya, Hutan Sejuta Cinta itu juga ditanami jenis-jenis pohon berbuah, seperti lengkeng dan durian.

“Pohon berbuah itu bisa menjadi pakan satwa tersebut, sehingga hewan-hewan itu tidak mengganggu habitat di tempat lain, maupun di pemukiman warga di sekitar kawasan hutan kota,” kata Fauzi.

Selain itu, pasangan pengantin juga dibolehkan menanam pohon itu di tempat lain, asal mereka jujur dan bisa memberi laporan yang dipercaya.

“Harapan kita kepada pasangan pengantin yang menanam pohon itu bisa memberi ruang penghijauan dan bisa tempat tinggal satwa dilindungi,” kata lulusan Pascasarjana Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Jambi ini. “Ini juga merupakan aksi mitigasi dalam mencegah laju perubahan iklim.”

Dengan luas lahan 5 ha, Taman Hutan Sejuta Cinta bisa menampung sekitar 1.200 pohon per hektare dengan jarak tanam 3×3 meter. Artinya, ada sekitar 6.000 batang pohon yang bisa ditanam.

Untuk penghijauan, sejak tahun 2003 Pemerintah Kota Jambi terus melakukan perluasan kawasan hutan kota yang kini luasnya mencapai 77,7 hektare. Hutan kota tersebut tersebar di tiga kecamatan. Yakni Kecamatan Alam Barajo, Kota Baru dan Kecamatan Telanaipura.

Harapan kita kepada pasangan pengantin yang menanam pohon itu bisa memberi ruang penghijauan

M. Fauzi, Kepala UPTD Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi

Dari catatan UPTD Hutan Kota, pada tahun 2003 pemerintah kota memperluas Hutan Kota Muhammad Sabki dari 10 ha menjadi 11 ha. Kemudian pada tahun 2006 ditetapkan Hutan Kota Rengas Teluk Kenali dengan luas 25 ha. Dan pada tahun 2014, ditetapkan Hutan Kota Bagan Pete seluas 41,7 ha, termasuk di dalamnya Taman Hutan Sejuta Cinta.

Dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi, Volume 3 Nomor 2 Desember 2019, peneliti Sunarti, dari Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi mengatakan, Hutan Kota M Sabki mampu mengurangi emisi karbon sebesar 1.122,58 ton/hektare.

Tidak hanya itu, hutan ini mampu memproduksi 1.109,77 ton/hektare oksigen. Kendati demikian, kata Sunarti, pemerintah tetap harus meningkatkan RTH. Menurutnya, ruang terbuka hijau ini berbanding lurus dengan besar atau kecilnya produksi oksigen dan penyimpanan karbondioksida.

Sunarti menjelaskan, konsumsi oksigen penduduk adalah sebesar 0,864 kg/jiwa/hari. Dengan jumlah penduduk sebanyak 610.854 jiwa (Kota Jambi Dalam Angka, 2018), maka konsumsi oksigen Kota Jambi adalah 527.78 ton O2 per harinya.

Jika luas ruang terbuka hijau di Hutan Kota M Sabki adalah 11 hektare, maka produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh RTH adalah sebesar 1935.185 ton oksigen/hari. Sehingga Kota Jambi perlu menambah RTH.

Sunarti memproyeksikan kebutuhan udara bersih warga dan penyerapan karbondioksida di Kota Jambi bisa dipenuhi dengan menambahkan minimal dua unit hutan kota lagi dengan luas masing-masing 10 hektare.

Maksimalkan 55 Titik RTH

Selain program menanam pohon oleh pasangan calon pengantin, upaya lain yang dilakukan Pemerintah Kota Jambi untuk meredam efek gas rumah kaca adalah dengan memaksimalkan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tercatat ada 55 RTH yang tersebar di Kota Jambi, RTH-RTH itu di antaranya berupa taman kota dan pedestarian.

“RTH dan beberapa pedestarian di Kota Jambi kami tanami pohon pelindung jenis mahoni, tabebuya dan trambesi,” kata Parmono, Kasi Pengelolaan Taman, Bidang Keanekaragaman Hayati (Kehati), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi, Senin 13 Desember 2021.

Selain menanam, Pemerintah Kota Jambi melalui DLH juga melakukan pemeliharaan dan perawatan RTH. Mereka memangkas pohon yang terlalu tinggi, serta pohon yang rawan roboh dan berpotensi membahayakan masyarakat. Pohon yang ditebang akan diganti dengan menanam bibit baru.

Penanaman pohon dilakukan terutama di ruas jalan-jalan utama di Kota Jambi, seperti di Jl.  Soekarno Hatta, Sudirman, Soemantri Brodjonegoro, Agus Salim, dan Basuki Rahmat.

“Pak Wali Kota lebih suka pohon yang selain memiliki fungsi lindung, juga memiliki fungsi keindahan, untuk estetika kota, yaitu pohon tabebuya. Ada tiga jenis tabebuya yang kita tanam. Tabebuya kuning, emas dan merah muda,” kata Parmono.

Namun, semenjak pandemi melanda, menurut Pramono DLH Kota Jambi kesulitan anggaran. Untuk mengatasinya, mereka berinisiatif untuk melakukan budidaya atau pembibitan sendiri. Beruntung, Pemkot Jambi bisa mendapatkan hingga 1.000 bibit pohon pelindung secara cuma-cuma dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Batanghari.

“Kita ajukan proposal, kita ambil bibit pohon yang berumur satu tahun. Lalu kita besarkan hingga tinggi 2 meter, baru kita tanam di kawasan RTH karena pohon yang minimal tinggi 2 meter yang sudah memiliki fungsi pelindung,” kata Parmono. “Secara alamiah pohon tersebut juga sudah bisa menyerap emisi karbon.”

Sepanjang tahun 2020 dan hingga Juni 2021, tercatat Pemerintah Kota Jambi telah memanam 946 batang pohon pelindung dengan jenis mahoni, tabebuya dan ketapang kencana.

Sedangkan untuk bibit tanaman hias, dalam periode yang sama. Pemerintah Kota Jambi telah menanam 24.142 bibit berupa tanaman jenis asoka, soni india, hanjuang, lili paris, kana, begonia, tricolor, bakung, kaladi dan lolipop.

Bukan hanya persoalan minimnya anggaran yang dihadapi DLH Kota Jambi, mereka juga kewalahan dengan kurangnya jumlah tenaga kerja. Saat ini, dengan luas Kota Jambi 205,4 km persegi, pihaknya hanya memiliki 160 pekerja harian lepas (PHL) yang terdiri dari 90 tenaga perawat taman, 28 tenaga pemotong rumput, 18 tenaga pemeliharaan pohon pelindung dan 24 tenaga di bagian pembibitan.

Sementara itu, ekspansi besar-besaran bisnis properti juga disiasati Pemkot Jambi dengan membuat peraturan yang mewajibkan developer untuk menyediakan lahan RTH. Developer harus membuat sertifikat terpisah untuk RTH yang kemudian diserahkan ke Pemkot Jambi. Perawatan RTH tersebut akan dilakukan pemerintah kota.

“Ada sekitar 100 titik RTH di kawasan perumahan yang akan kita kelola, yang masing-masing luasnya 200 hingga 300 meter persegi,” kata Parmono.

Kualitas Udara Masih Kategori Baik

Semua upaya yang dilakukan Pemkot Jambi tersebut juga dijalankan untuk membantu menjaga kualitas udara di kota yang semakin diramaikan kendaraan bermotor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Provinsi Jambi mencapai 2.129.998 unit, naik 6,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Selain kemacetan, bertambahnya kendaraan tentu saja mempertebal asap polusi sehingga memicu terjadinya efek rumah kaca. Efek tersebut bisa memperpanas suhu sehingga akhirnya berdampak negatif dalam perubahan iklim.

Namun, berkat upaya perluasan hutan kota, Pemkot Jambi mengklaim bahwa hingga saat ini kualitas udara di Kota Jambi masih dalam kategori baik. Hal ini berdasarkan data Air Quality Monitoring System (AQMS), perangkat pemantau kualitas udara yang diletakkan di lapangan kantor Wali Kota Jambi.

“AQMS ini memantau kualitas udara di Kota Jambi dalam 24 jam,” kata Henri Wibowo, Kasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Bidang Perencanaan, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, DLH Kota Jambi.

Output pemantauan AQMS adalah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Nilai ISPU 0-50 masuk kategori baik, 51-100 sedang, tidak sehat 101-199, sangat tidak sehat 200-290, dan di atas 300 masuk kategori berbahaya.

“Di Kota Jambi kondisi udara masih bagus (nilai ISPU 0-50) berdasarkan AQMS,” kata Henri. “Jika tidak ada kebakaran hutan dan lahan, serta kiriman asap dari kabupaten tetangga, kondisi udara di Kota Jambi dalam kategori baik,” katanya.

Henri mengatakan, program car free night dan car free day yang dicanangkan Wali Kota Jambi, Syarif Fasha, juga berkontribusi dalam menekan laju pencemaran udara di Kota Jambi, karena jumlah kendaraan yang melintas berkurang. Sayangnya, program tersebut dihentikan selama pandemi.

Harus Ada Data Terbuka

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu lingkungan hidup, mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Jambi yang mewajibkan pasangan pengantin menanam pohon. Walhi Jambi juga mengapresiasi kebijakan Pemkot Jambi terkait pembatasan penggunaan kantong belanja plastik.

“Untuk menutup hutang karbon, dua kebijakan tersebut saya rasa sangat mendukung dalam menekan efek gas rumah kaca. Masyarakat yang menanam pohon tentu merupakan salah satu langkah kongkrit,” kata Dwi Nanto, Manajer Advokasi Kajian dan Kampanye Walhi Jambi, pada Selasa 14 Desember 2021.

Hanya saja, kata dia, yang menjadi tantangan adalah bagaimana publik bisa mendapatkan sajian data secara terbuka mengenai pengurangan emisi melalui dua kebijakan pemerintah kota tersebut.

“Mestinya pemerintah melakukan kajian-kajian, atau riset ilmiah terkait penurunan kadar emisi dengan dua kebijakan itu. Artinya, kebijakan yang dikeluarkan memang berjalan efektif,” kata Dwi.

Menurutnya, RTH ideal di daerah perkotaan bila merujuk pada pasal 29 ayat 2  UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang adalah paling sedikit 30 persen. Terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. Bila disesuaikan dengan wilayah Kota Jambi yang luasnya sekitar 205,4 kilometer persegi, itu berarti sekitar 60,1 kilometer persegi merupakan kawasan RTH.

“Tapi kalau kita lihat kondisi sekarang, dimana pesatnya pembangunan perumahan dan properti lainnya di wilayah kota, porsi 30 persen RTH itu sulit tercapai,” kata Dwi.

Walau demikian, kata Dwi, kebijakan menanam pohon bagi pasangan calon pengantin dan pembatasan penggunaan kantong plastik yang diterbitkan Pemkot Jambi sudah merupakan langkah maju dalam menghambat laju perubahan iklim.

“Tinggal bagaimana pemerintah kota konsisten menerapkan dua kebijakan ini, dan terus memperbanyak RTH,” tegas Dwi.

Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), serta terbit pertama kali di Kompas.com pada 22 Desember 2021.

About the writer

Suwandi

Suwandi is a journalist based in Jambi, Sumatra. Interested in covering the issue of the climate crisis and environmental crimes. He is active in writing social culture for indigenous people, which has...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.