Posted inLiputan khusus / Perkotaan

Kelola sampah, tangkal bah: Upaya perempuan Semarang tahan laju perubahan iklim

Udara yang kian panas dan banjir yang semakin sering menghampiri adalah indikasi kuat cepatnya laju perubahan iklim. Sejumlah perempuan di Kota Semarang berupaya mengurangi laju perubahan iklim dengan mengelola sampah.

Siang menggantang. Panas udara Kota Semarang, Jawa Tengah, membuat Sunarti Nur Chomsah beberapa kali mengibaskan tangan untuk mencari angin. Kerudungnya dilonggarkan. Beberapa tanaman dalam pot yang menghiasi halaman rumah perempuan asal Pati itu tak mampu menyejukkan suhu siang yang garang.

Bagi perempuan yang biasa disapa Ning itu, udara panas bukan hal baru. Lebih dari 20 tahun dia telah menetap di Kota Semarang dan mengakrabi udara siang yang menggantang. Namun suhu udara di Kota Atlas diakuinya semakin garang beberapa tahun belakangan.

“Maklumlah Mbak, tidak banyak pohon,” katanya, awal Oktober lalu. “Di sini rata-rata warga tidak punya tanaman keras karena lahan yang terbatas. Kalau nanam tanaman jenis itu takut akarnya merusak bangunan.”

Di permukiman padat penduduk di Kelurahan Genuksari, Kecamatan Genuk, Semarang, tersebut nyaris tak ada pohon besar. Hanya beberapa pot bunga yang yang menghiasi beberapa halaman rumah. Rata-rata rumah di kawasan itu memiliki lantai dengan tinggi jauh di atas ketinggian jalan. Setengah bagian rumah Sunarti memiliki ketinggian satu meter dari tinggi jalan, tapi separuhnya lagi lebih rendah. 

“Sengaja kami tinggikan agar tidak kebanjiran. Rumah yang lama awal tahun lalu kebanjiran,” katanya mengenang. 

Pada Februari 2021,  lebih dari sepekan dia bersama warga sekampung harus berjibaku dengan banjir. Nyaris semua kegiatan lumpuh. Akses menuju perkampungan terendam. Untuk mendistribusikan bantuan bahan makanan warga harus menggunakan perahu karet.

Rumah Sunarti yang sebagian telah tinggi digunakan sebagai tempat pengungsian para ibu yang kediamannya tergenang. Adapun musala di depan rumahnya menjadi tempat pengungsian para bapak. 

“Itulah mengapa saya menyisakan sebagian lahan untuk ditanami. Ibu-ibu di sini juga kami ajak untuk menanam. Apapun jenis tanamannya. Pokoknya yang bisa ditanam ya ditanam. Namun ini memang susah karena lahan yang terbatas,” kata Sunarti.

Dia mengatakan, saat ini warga  lebih mengandalkan pengelolaan sampah melalui bank sampah sebagai salah satu ikhtiar untuk mencegah banjir.

‘’Alhamdulilah meski pandemi Bank Sampah Langit Biru masih jalan. Rencananya untuk tahun ini hasilnya akan kami gunakan untuk bakti sosial,” kata relawan Dinsos Kota Semarang itu panjang lebar. Dia berharap, langkah kecil tersebut mampu membantu menjaga kelestarian lingkungan.

Sunarti mengatakan, Bank Sampah Langit Biru berdiri sejak 2019. Meski belum lama, warga telah menikmati manfaatnya. Selain lingkungan yang lebih sehat karena sampah yang terkelola, warga juga menikmatinya secara ekonomi. Hasil penjualan sampah yang telah dipilah bisa digunakan untuk biaya piknik warga.

Jauh sebelum Sunarti tergerak untuk mengelola sampah, Tatik Sri Rochiati telah terlebih dulu tergerak untuk bergelut dengan sampah. Melalui Bank Sampah Mawar Merah, Tatik mengelola sampah warga di Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.

Meski usianya telah mencapai tujuh dasawarsa, Tatik masih gesit dan tangkas. Dengan suara bersemangat dia menjelaskan jenis-jenis sampah yang teronggok di gudang Bank Sampah Mawar Merah. 

“Ini yang siap dijual. Sudah dipilah oleh ibu-ibu kader Bank Sampah Mawar Merah. Sebagian botol telah kami jadikan ecobrick,” kata Tatik sembari memegang botol air mineral bekas, Jumat siang medio Oktober lalu. 

Di gudang berukuran 6×6 meter itu menumpuk berbagai jenis sampah. Sebagian besar botol dan gelas air mineral. Namun ada juga kardus, panci, wajan, hingga televisi dan sepeda rusak. Sejumlah botol beling juga teronggok di sana.

Barang-barang tersebut merupakan buangan para nasabah Bank Sampah Mawar Merah. Setiap sepekan sekali sampah dikumpulkan untuk kemudian dipilah di gudang tersebut. Sampah yang telah dipilah akan dibeli oleh pengepul yang datang saban akhir bulan.

“Jangan salah, selain dijual ke pengepul, sebagian sampah juga diubah menjadi aneka barang kreasi. Sampah plastik misalnya, selain dijadikan ecobrick juga disulap jadi bunga hias yang menawan. Ada pula tas dari bungkus kopi instan dan celengan dari botol air mineral,” ucap Tatik. 

Barang-barang kreasi tersebut dipajang dengan rapi di rak yang ada di pojok kiri kantor bank sampah. Kantor yang berada satu kompleks dengan kantor kelurahan Tugurejo itu bersebelahan persis dengan gudang bank sampah. Adalah Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang yang membangun kantor tersebut. Adapun gudang merupakan bantuan dari BKM.

Tatik mengatakan, semua fasilitas itu tidak diperoleh secara instan. Tatik memulai upaya pengelolaan sampah melalui Bank Sampah Mawar Merah sejak tahun 2010. Kala itu Tatik yang baru pensiun dan menempati rumah baru di Kelurahan Tugurejo merasa prihatin dengan kondisi lingkungan sekitar. Dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai ketua PKK, dia pun kemudian merangkul warga untuk membentuk Bank Sampah Mawar Merah. 

“Awalnya sangat tidak mudah karena warga belum mempunyai kesadaran mengelola sampah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, upaya kami membuahkan hasil. Apalagi setelah warga merasakan manfaatnya,” kata Tatik.

Ditukar Emas

Tatik mengatakan, saat ini nasabah Bank Sampah Mawar Merah telah mencapai 418 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di tiga RW. “Dulu pas awal hanya 58 KK di satu RT,” katanya, Jumat (22/10/2021). 

Jumlah personel yang aktif juga semakin banyak. Jika dulu semua tugas dilakukan Tatik seorang diri, kini ada 14 kader yang membantu. Mereka secara bergiliran bertugas untuk menjemput sampah di tiap RT untuk kemudian dibawa ke bank sampah. Saat ini saban bulan rata-rata hasil penjualan di Bank Sampah Mawar Merah mencapai dua juta rupiah. Keuntungan dari penjualan tersebut dibagi dua, separo untuk tambahan modal dan separo untuk operasional kader. 

Tatik mengklaim, kegiatan pengelolaan sampah mampu menekan volume sampah yang terbuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga 75 persen. “Bahkan plastik kresek pun kami manfaatkan menjadi ecobrick. Kami gunakan untuk membuat kursi dan pagar taman. Adapun sampah organik kami sulap jadi pupuk dengan memanfaatkan takakura,” kata Tatik. 

Sejumlah warga yang rajin mengumpulkan sampah diberi penghargaan emas.

Tatik Sri Rochiati, pengelola Bank Sampah Mawar Merah

Dia menambahkan, selain bermanfaat terhadap kelestarian lingkungan, kegiatan bank sampah juga memberi manfaat secara ekonomi bagi warga. Uang kas hasil penjualan sampah digunakan untuk keperluan warga seperti membeli tong sampah atau piknik. Selain itu juga untuk bakti sosial.

“Sejumlah warga yang rajin mengumpulkan sampah diberi penghargaan emas. Jadi uang hasil mengumpulkan sampah bisa diambil dalam bentuk emas. Ini cukup menarik warga,” ujar Tatik.

Jika di Kelurahan Tugurejo ada Tatik Sri Rochiati, di Kelurahan Bangetayu Wetan, Genuk, Semarang, ada Hartatik. Selama lima tahun terakhir dia juga getol mengupayakan pengelolaan sampah. 

“Warga yang punya sampah yang bisa didaur ulang bisa kapan saja meletakkan sampah itu ke pos bank sampah. Pada Sabtu terakhir setiap bulan, sampah diambil oleh pengepul. Rata-rata per bulan menghasilkan sekitar dua ratus ribu rupiah. Untuk satu dasawisma atau 22 keluarga,” kata Hartati.

Selain berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan, kata Hartati, pengelolaan sampah juga memberikan manfaat ekonomi bagi warga. 

“Uang yang terkumpul pada  tahun pertama misalnya telah dimanfaatkan untuk piknik bersama. Pada tahun kedua dan ketiga dibelikan peralatan rumah tangga, demikian pula pada tahun keempat. Pada tahun lalu atau tahun kelima, uang hasil bank sampah digunakan untuk membeli sembako bagi warga yang terdampak pandemi,” katanya.

Pilihan Efektif

Mengelola sampah tampaknya  menjadi pilihan efektif warga Semarang untuk mengurangi laju perubahan iklim. Dengan dipilah, sampah yang terbuang semakin berkurang sehingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan pun semakin sedikit. 

Untuk diketahui, sampah yang dibuang begitu saja bisa menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang kontribusinya pada efek pemanasan global mencapai 15 persen. Sampah organik yang dibuang di tempat pembuangan landfill misalnya, akan terdekomposisi secara anaerob sehingga menghasilkan gas metan, yaitu emisi gas rumah kaca yang menurut Indeks Potensi Pemanasan Global, efeknya 21 kali lebih beracun daripada gas karbondioksida. 

Selain itu, pembakaran sampah juga menghasilkan karbondioksida. Ini masih ditambah dengan emisi gas yang dihasilkan oleh transportasi yang membawa sampah ke tempat pembuangan tersebut.

Sebagai kota pesisir dengan laju pembangunan yang pesat, Kota Semarang tak bisa terhindar dari laju perubahan iklim. Sejauh ini dampaknya telah terasa.  Selain suhu udara yang kian panas, banjir juga semakin sering menghampiri Kota Lunpia. 

Dalam tiga tahun terakhir rata-rata terjadi delapan kali banjir di kota ini. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mencatat, terdapat delapan kali banjir di Kota Semarang pada 2018. Jumlah ini bertambah menjadi sembilan kali banjir pada 2019. Pada tahun lalu, banjir mampir sebanyak delapan kali. 

Meski secara frekuensi berkurang, dampak banjir pada 2020 jauh lebih besar. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, terdapat enam korban meninggal  dan 17.258 warga yang harus mengungsi dalam bencana banjir tahun lalu.  Adapun jumlah rumah yang terendam sebanyak 2.626 buah.

Dampak ini jauh lebih parah dari yang terjadi pada 2019. Pada banjir 2019, hanya terdapat satu korban jiwa sementara yang mengungsi sebanyak 14.289 orang. Jumlah rumah yang terendam pun hanya 174 rumah.

LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, pembangunan yang masif dan kerusakan lingkungan menjadikan Semarang rawan bencana perubahan iklim, bahkan rawan tenggelam.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2011-2031, terdapat alih fungsi lahan pada dua zona rawan banjir, yaitu di kawasan Semarang Utara dan Tugu. Di Semarang Utara, terjadi perubahan ruang terbuka hijau menjadi permukiman padat penduduk, yaitu di Kampung Nelayan Tambak Lorok. Sementara itu daerah Mangunharjo, Tugu, yang berpotensi abrasi yang seharusnya menjadi sempadan pantai, justru dijadikan kawasan tambak. 

Di sisi lain, hasil studi Sudarwani & Ekaputra (2017) menunjukan bahwa dari 16 wilayah kecamatan di Kota Semarang, terdapat delapan kecamatan yang persentase luasan RTH-nya kurang dari 30 persen. Salah satunya adalah Semarang Utara yang hanya memiliki RTH seluas 107,34 ha atau 9,47 persen dari total luas wilayahnya. 

Tujuh kecamatan lain yang persentasi RTH-nya kurang dari 30 persen adalah Kecamatan Gajahmungkur, Candisari, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara, Semarang Tengah, dan Semarang Barat.

Padahal dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, diatur bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit seluas 30 persen dari luas wilayah kota.

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, Pemkot Semarang telah mengambil beberapa kebijakan untuk mengeliminasi dampak bencana perubahan iklim. Selain membangun sistem pengendali banjir dengan pompa penyedot, Pemkot juga menerapkan manajemen pengelolaan dan pengendalian sampah. 

Masalah sampah

Sebagaimana kota besar lainnya, Semarang juga menghadapi problem pengelolaan sampah. Dari data Capaian Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga  tahun 2019, diperkirakan jumlah timbulan sampah yang dihasilkan di Kota Semarang sebesar 1.276 ton/hari dan 1.071 ton di antaranya dikirim ke TPA Jatibarang setiap harinya.

Pada tahun 2025 diprediksi jumlah timbulan sampah meningkat menjadi 1.437 ton/hari dan di tahun 2046 bakal mencapai 2.000 ton/hari. Dengan cara pengelolaan sampah saat ini, diperkirakan kapasitas TPA Jatibarang hanya mampu menampung sampah sampai tahun 2021. Untuk itu diperlukan adanya solusi dan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Bappeda Kota Semarang dalam Buku Putih Pengelolaan Sampah menyatakan,  sampah dan intervensi teknologi yang tepat mutlak dibutuhkan, dari hulu sampai dengan hilir, dari sumber sampai dengan TPA. Apabila tidak teratasi, masalah ini bisa menjadi bom waktu. 

Sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang untuk mengelola sampah. Diantaranya melalui gerakan Semarang Pilah Sampah yang dicanangkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2021 pada 12 Maret 2021 lalu. 

Kepala DLH Kota Semarang Sapto Adi Sugihartono mengatakan, Pemkot memiliki target dalam kebijakan strategi daerah. Pada 2020, target penurunan sampah sebesar 22 persen telah tercapai. Jika semula sampah yang masuk ke TPA Jatibarang berkisar 1.200-1.300 ton sampah, kini menjadi 800-900 ton sampah. Semua itu, kata Sapto, tak lepas dari peran masyarakat dalam mengelola sampah, termasuk melalui bank sampah.

Program Sang Puan

Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kota Semarang Krisseptiana Hendrar Prihadi menyatakan kegiatan bank sampah selama ini bertumpu kader PKK. 

“Melalui Pokja 3 kami mengembangkan bank sampah. Hasilnya bagus, bisa untuk piknik atau beli seragam. Di Tegalsari hasil bank sampah bahkan dimanfaatkan untuk membayar iuran BPJS mandiri bagi warga kurang mampu. Ini penting untuk memupuk kepedulian sosial. Di sisi lain, tujuan untuk kesehatan dapat, dari sisi ekonomi dapat, dari sisi bagaimana peduli pada lingkungan juga dapat,” katanya. 

Perempuan yang akrab disapa Tia itu menambahkan, selain bank sampah pihaknya sejak lama juga telah menggencarkan edukasi pemanfaatan lahan kosong. Para kader dilatih untuk memanfaatkan lahan kosong, baik yang luas maupun yang sempit. Ada pula program pelatihan tanggap bencana.

“Kami punya banyak program dengan menggandeng pihak ketiga dalam upaya mengeliminasi dampak bencana perubahan iklim. Kami menggandeng BPBD untuk melatih para ibu menjadi Srikandi Dasawisma yang tangguh bencana. Yang jadi tantangan adalah bagaimana menjaga agar tetap konsisten, berkesinambungan, tidak sekedar dapat bantuan atau pelatihan lalu selesai. Karena itu peran penggerak sangat penting.”

Dalam program Srikandi Dasawisma yang tangguh bencana, jelas Tia, para perempuan dilatih melakukan evakuasi dini saat terjadi bencana. Saat terjadi bencana banjir misalnya, mereka telah memahami upaya penyelamatan seperti apa yang harus dilakukan.    

Dia menambahkan, berbagai upaya juga dilakukan PKK untuk mendorong kebijakan pemerintah, termasuk terkait penanganan perubahan iklim, agar lebih berperspektif gender. Di antaranya melalui program “Sang Puan” atau “Sayang Perempuan”.

“Melalui Sang Puan, para perempuan didorong untuk menyuarakan gagasan mereka, juga menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Mereka bisa merumuskannya dalam kegiatan Sang Puan dan setelah itu mengajukannya ke Musrenbang.”

“Ini adalah upaya agar perempuan juga melalui proses-proses pembangunan, termasuk yang terkait penanganan bencana perubahan iklim. Merencanakan, memonitoring, mengevaluasi. Perempuan juga harus mengikuti. Jadi tidak hanya manut pada bapak-bapak,” kata Tia.

Pakar lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) Sudharto P Hadi mengatakan, pilah sampah yang dilakukan warga, terutama para perempuan,  berkontribusi signifikan untuk menghambat laju perubahan iklim. Sebab, dengan mendaur ulang sampah maka volume pembakaran sampah juga akan berkurang. 

“Namun ini harus dibarengi dengan edukasi kepada warga tentang prinsip pengelolaan sampah. Tidak hanya recycle atau mendaur ulang saja, namun juga harus ditekankan pentingnya reduce atau mengurangi sampah dan reuse atau menggunakan ulang barang-barang sehingga tidak semakin banyak sampah yang dihasilkan. Ini untuk memastikan agar jangan sampai bank sampah justru memicu orang untuk memproduksi sampah,” kata Sudharto. 

Selain itu ada peran lain yang juga tak kalah penting dari perempuan. Yaitu sebagai agen pendidik sadar lingkungan. Perempuan, katanya, bisa menjadi agen sadar lingkungan, minimal bagi anak-anak mereka.  Apalagi berdasar hasil penelitian Rusmadi (2017),  rata-rata kebijakan terkait perubahan iklim di Kota Semarang belum cukup responsif terhadap isu-isu gender. 

“Perempuan bisa membuat kelompok-kelompok untuk menyuarakan keadilan lingkungan. Untuk itu memang perlu local leader, orang yang punya passion. Itu butuh waktu. Tapi kalau sudah ditemukan satu orang, lalu mengarahkan, mereka bisa menjadi semacam komite pemantauan,” kata Sudharto.

Menurut Sudharto, dengan memberi contoh membuang sampah pada tempatnya, mengurangi konsumsi plastik, para perempuan telah berperan memberikan pendidikan sadar lingkungan. Menurutnya, apa yang dilakukan para ibu melalui bank sampah adalah salah satu bentuk aksi nyata yang mampu mengedukasi anak-anak untuk memilah dan mengolah sampah.

“Apalagi jika sampai pada tahap pengolahan sampah organik menjadi pupuk dan sampah anorganik menjadi barang kerajinan. Ini tentu luar biasa,” katanya.

Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), dan terbit pertama kali dalam tiga bagian di harian Suara Merdeka edisi 1-3 Desember 2021.

About the writer

Maratun Nashihah

Starting her career as a data and information center staff of Suara Merdeka Daily, Maratun Nashihah is now in charge of international news in the same media. Even so, her interest in health, environment,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.