Posted inOpini / Lingkungan Hidup

Agenda lingkungan dan kemanusiaan yang belum selesai…

Tahun 2021 baru saja usai. SIEJ merangkum berbagai isu lingkungan hidup yang mengemuka di Indonesia dan dunia sepanjang tahun lalu.

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) merangkum berbagai isu yang mewarnai jurnalisme kita membingkai isu lingkungan sepanjang 2021. Sebagian besar kami bahas di dalam forum editor meeting dan workshop jurnalis. Kami menghadirkan para narasumber pemerintah, NGO, dan akademisi.

Ibarat mengalirkan listrik, kami berusaha untuk terus menjadi hub atau tepatnya jangkar informasi bagi jurnalis. Mendistribusikan kajian-penelitian para akademisi dan CSO. Kami hadirkan kisah-kisah inspiratif dari para pegiat lingkungan, yang kami juga distribusikan melalui kanal-kanal media sosial dan nawala yang secara rutin diterbitkan.

Demi mendorong jurnalisme lingkungan yang berkedalaman lagi berkualitas, beberapa pelatihan yang digelar dibarengi dengan program beasiswa. Sepanjang 2021 kami mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk menyelenggarakannya. Sebagian hasil liputan tersebut diterbitkan di Ekuatorial, situs geojournalism milik SIEJ.

Sesungguhnya tak banyak yang menggembirakan tentang kondisi lingkungan kita dalam setahun terakhir. Di tengah upaya keras semua pihak dan pemerintah untuk segera keluar dari pandemi, agenda penyelamatan lingkungan seperti jalan di tempat.

Bencana demi bencana yang masih saja tinggi sepanjang 2021.

Data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menunjukkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor masih mendominasi dari total 3.058 kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2021. Kejadian cuaca ekstrem pun tinggi, turut memicu sejumlah bencana banjir bandang, kebakaran hutan, gelombang tinggi.

Namun tingginya curah hujan dan cuaca ekstrem bukanlah semata penyebab seperti yang kerap dilontarkan pemerintah bila menanggapi banjir dan longsor. Degradasi kawasan, penurunan daya dukung lingkungan serta kebijakan tata ruang juga punya andil besar.

Faktor perubahan iklim semakin nyata membawa dampak bagi keberlangsungan ekosistem, terutama menjadi penyebab bencana beberapa dekade terakhir. Banyak penelitian merilis kenaikan suhu bumi meningkat di berbagai belahan dunia. Misalnya panel ilmuan dunia dalam penelitian iklim, yakni Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di mana Indonesia ada di dalamnya, merilis laporan terbaru pada Agustus lalu mengenai kenaikan suhu bumi.

Temuan emisi gas yang membuat suhu bumi menghangat saat ini kemungkinan akan melampaui batasan yang telah ditetapkan hanya dalam waktu 10 tahun. Laporan IPCC menyebutkan kenaikan suhu bakal menembus 2 derajat celcius, lebih cepat dari yang kita bayangkan.

Dokumen IPCC menyatakan bahwa tidak dimungkiri lagi, manusia telah membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan, dan daratan. Laporan inilah yang kemudian dibawa dalam konferensi perubahan iklim COP ke 26 di Glasgow November lalu.

Tidak heran bila bencana iklim (krisis iklim) akan terus melanda berbagai wilayah tak terkecuali di Indonesia. Kita tentu masih ingat, banjir berkepanjangan Kalimantan beberapa waktu lalu menggenangi 12 kabupaten kota, dengan durasi banjir hingga satu bulan.

Banjir juga menggenangi wilayah yang nanti akan menjadi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya tak memungkiri banjir Kalimantan disebabkan kerusakan lingkungan.

Wilayah resapan sungai-sungai utama di Kalimatan makin terbuka dan rusak seiring deforestasi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Tentu deforestasi itu kebanyakan disebabkan perizinan, alih fungsi lahan, dan ditambah rencana tata ruang yang buruk.

Demikian halnya dengan banjir bandang Kota Batu, Jawa Timur, yang terjadi di waktu bersamaan. Wilayah resapan air di hulunya gundul, pohon-pohon yang sejatinya penyerap dan penyimpan karbon, dibabat.

Sulit untuk tak mengatakan bahwa ini semua buah dari kebijakan dan regulasi yang kebanyakan untuk mengakomodasi kepentingan investasi. Seperti tambang dan HTI di berbagai daerah. Banyak data menunjukkan laju deforestasi kita tinggi, meskipun pemerintah terus berusaha mengklaim terjadi penurunan siginifikan dalam kurun 20 tahun terakhir atau deforestasi terendah.

Panggung COP26 di Glasgow November lalu lebih dari 100 negara berkomitmen untuk menghentikan deforestasi 2030 serta berkomitmen mengembalikan hutan dan degradasi lahan. Meskipun kata “menghentikan deforestasi” sempat menuai polemik karena disebut klaim yang miss-leading dari Menteri Iklim dan Lingkungan Internasional Inggris, Zac Goldsmith, yang menyatakan 105 negara mendeklarasikan penghentian deforestasi pada 2030.

Padahal, dalam Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use tidak menggunakan terminologi “penghentian deforestasi”. Termasuk Indonesia yang juga menolak terminologi nol deforestasi yang menurutnya tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan mempertegas terminologi FoLU (Forestry and other Land Use) net carbon sink 2030. FoLu tidak bisa diartikan zero deforestation. Pembangunan Indonesia, menurut Siti Nurbaya, tidak boleh dihentikan atas nama emisi karbon dan deforestasi.

FoLU net carbon sink artinya tidak menambah jumlah gas rumah kaca ke atmosfer saat memanfaatkan hutan dan lahan lainnya. Untuk bisa mencapainya berarti mengurangi emisi sebanyak mungkin, dan menyeimbangkan emisi tertinggal dengan menghilangkan emisi lain dalam jumlah yang setara.

Terlepas dari perdebatan dan perbedaan terminologi, pemulihan hutan dan menjaganya dari kerusakan adalah keniscayaan. Krisis pandemi dan bencana alam telah menyebabkan kerugian menjadi berkali lipat. Terutama dampak ini paling dirasakan oleh masyarakat kecil berpenghasilan rendah.

Kami juga menyoroti isu transisi energi, yang sependek pengetahuan kami masih akan melalui jalan terjal menuju energi bersih. Transisi energi dengan menghapuskan energi fosil batubara adalah satu-satunya yang gagal disepakati dalam COP26 lalu. Tak semua negara bersepakat namun berkomitmen meninggalkannya secara bertahap.

Sebelas dua belas dengan Indonesia. Transisi dari energi batubara ke energi terbarukan menghadapi sejumlah tantangan. Tapi setidaknya sebagai negara berkembang dan penghasil energi fosil, Indonesia katanya akan memulainya secara bertahap. Salah satu misalnya membaurkan energi fosil dengan biomassa, dari sampah dan limbah kelapa sawit.

Langkah ini tetap dikritik oleh pegiat lingkungan. Greenpeace Indonesia menilai cara ini tetap saja akan menghasilkan emisi yang sangat besar.

PLTU batu bara bakal bercokol sebagai penghasil sumber listrik terbesar. Sebab pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat dan tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Demikian kesimpulan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2022.

Kurang kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia dan komitmen politik yang tidak konsisten membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga kuartal ketiga 2021, bauran energi terbarukan masih di angka 11,2%.

Lalu terkait krisis iklim, kami juga menyoroti aspek pangan. Krisis iklim tak hanya mendatangkan bencana, tetapi mengancam keberlangsungan pangan, berdampak kepada sistem pertanian di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Direktur Eksekutif, Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Dr. Lawrence Haddad dalam Kelas Belajar dan Lomba Karya Jurnalistik: Sistem Pangan Lestari Untuk Adaptasi Perubahan Iklim, yang diselenggarakan SIEJ dan The Food and Land Use (FOLU) Coalition beberapa waktu lalu, mengungkapkan ketidakpastian iklim global dalam dekade terakhir ini mengakibatkan sistem pangan menjadi ‘korban’.

Di tengah pandemi ini, pangan adalah sektor yang sangat krusial. Maka narasi ketahanan pangan pun kembali mencuat dengan beragam konsep. Namun faktanya ada ketimpangan penguasaan lahan yang membuat cita-cita ketahanan pangan, kemandirian pangan, ataupun kedaulatan pangan sulit terwujud.

Dalam skala besar, misalnya, pemerintah terus menempatkan proyek seperti food estate sebagai solusi ketahanan pangan. Banyak kalangan, terutama akademisi dan CSO, mengkritik proyek ini karena akan menimbulkan deforestasi dan memicu konflik.

Bicara mengenai konflik lahan, masyarakat adat adalah yang paling rentan didiskriminasi. Sepanjang 2021 ini kami juga mengangkat tema-tema dan problmatika seputar masyarakat adat, baik melalui editor forum maupun workshop jurnalis. Eksistensi masyarakat adat harus kita akui sebagai komunitas yang terus menjaga ekosistem hutan, menjaga kebaragaman pangan, dan pewaris nilai-nilai luhur. 

Tapi sayangnya, keberadaan mereka masih terpinggirkan, menjadi korban diskriminasi, hingga dikriminalisasi. Selain itu RUU Masyarakat Adat hingga kini masih “mangkrak” belum kunjung dibahas dan disahkan.

Sederet isu di atas tentu tak akan lekang oleh waktu. Mereka menjadi agenda yang akan terus kami angkat. Kami ingin jurnalisme lingkungan bertumbuh di dalam perspektif keadilan dan berpihak pada kemanusiaan, Tak hanya melontarkan kritik, tapi jurnalisme yang  menawarkan solusi-solusi bagi pembuat kebijakan, bagi semua pihak. 

Pandemi Covid-19 memberi kita banyak pelajaran. Tentang hubungan keberlangsungan ekosistem alam dan interaksi manusia di dalamnya. Pandemi harusnya juga momentum merefleksikan hubungan itu.

Komitmen untuk memulihkan bumi, menjauhkannya dari hal-hal yang bersifat merusak, ekploitatif, yang akan mendatangkan “murka” di kala krisis. Akhirnya, SIEJ mengucapkan selamat menyambut tahun baru 2022. Mari menjadikan penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan sebagai agenda bersama.

Salam Lestari!!!

About the writer

Joni Aswira Putra

Joni Aswira Putra is currently the General Secretary of the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.