Pembangunan, sampah, serta macetnya tanggul aliran air menjadi faktor-faktor penyebab meluapnya Sungai Deli. Kini Pemerintah dan warga berupaya memperbaiki dan melestarikan ikon Kota Medan tersebut.

Berbicara tentang fungsi dan perannya, sungai memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Tak hanya sebagai maskot daerah wisata, mata pencaharian, dan transportasi saja, namun menjadi wadah untuk menampung debit air yang turun ke tanah saat hujan agar tidak banjir. Salah satu sungai yang terkenal di kota Medan adalah Sungai Deli.

Sungai Deli merupakan satu dari delapan sungai yang ada di Kota Medan. Sungai tersebut memiliki luas areal Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 48.162 hektare (ha).

Secara administratif DAS Deli berada pada tiga kabupaten/kota yaitu Kabupaten Karo (3% dari luas total), Kabupaten Deli Serdang (61,55%), dan Kota Medan (35,45%). Ada tujuh Sub DAS yang membentuk DAS Deli, yaitu Sub DAS Petane, Sub DAS Simai-mai, Sub DAS Deli, Sub DAS Babura, Sub DAS Bekala, Sub DAS Sei Kambing dan Sub DAS Paluh Besar.

Pada masa Kerajaan Deli, sungai ini menjadi pusat perdagangan. Sungai Deli dijadikan jalur transportasi dalam aktivitas perdagangan pada masa itu. Pada masa kejayaannya Sungai Deli memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam menumbuhkembangkan Kota Medan. Sungai Deli merupakan pusat Kesultanan Deli.

Kini Sungai Deli sudah mengalami pencemaran yang sangat parah. Air yang berwarna cokelat, tumpukan sampah plastik di pinggiran sungai menjadi penampakan Sungai Deli saat ini. Walaupun begitu, masih banyak anak-anak yang bermain dan berenang untuk mengisi kekosongan mereka. Warga pun masih menggunakan air Sungai Deli untuk mandi serta mencuci pakaian. Bisa dilihat bahwa Sungai Deli masih berperan penting untuk kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Berdasarkan definisi tersebut, jika melihat kondisinya saat ini, telah terjadi pencemaran lingkungan hidup di Sungai Deli. Kondisinya terlihat sangat memprihatinkan, sehingga perlu tindak lanjut yang serius untuk menjaga kelestariannya. Tak hanya masyarakat yang harus menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah ke arena sungai, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) harus benar-benar tegas dalam menjalankan dan memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka melindungi Sungai Deli.

Menurut laporan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara pada 2019, di sepanjang aliran Sungai Deli saat ini terdapat kurang lebih 54 industri dan 27 saluran limbah domestik. Industri-industri di sepanjang aliran Sungai Deli terdiri dari industri cat, elektroplating, industri lapas baja, dan industri makanan. Beragam bahan yang berpotensi mencemarkan air sungai digunakan oleh industri-industri tersebut, seperti garam kromium (Cr) yang digunakan dalam industri besi baja, cat, bahan celupan (dyes), bahan peledak, tekstil, keramik, gelas, hingga fotografi, sebagai bahan penghambat korosi dan campuran lumpur pengeboran (drilling mud). 

Dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Adi Eka Putra (2002), ditemukan bahwa kandungan kromium Sungai Deli sudah mencapai antara 0,48-0,59 mg/L melampaui batas air layak minum berdasarkan standar dalam Peraturan Pemerintah No. 20/1990 Tentang Baku Mutu Air. Kandungan kromium yang besar tersebut, mengutip penjelasan Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) akan berdampak bagi kesehatan, seperti munculnya anemia, masalah lambung, usus kecil, dan gangguan reproduksi serta kanker jika dikonsumsi secara berlebihan dan konsentrasi jauh lebih tinggi dari kebutuhan normal.

Rusak dari hulu hingga hilir

Bobby Septian, aktivis lingkungan dan pembina Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (Kopasude) mengatakan, Sungai Deli kini benar-benar sangat terancam keberadaanya. Tidak hanya kondisi di wilayah Kota Medan yang tampak mengkhawatirkan, tapi juga kondisi di hulu, sempadan, serta hilirnya. Bobby mengatakan semua itu menjadikan Sungai Deli sudah dalam kondisi sangat memprihatinkan.

Bobby mengatakan bahwa kondisi hulu Sungai Deli, yakni di wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) di tanah Karo sudah rusak dan tidak berfungsi baik lagi. Perubahan kawasan serta galian industri yang semakin banyak membuat hulu Sungai Deli kehilangan daerah resapan airnya. Sementara di hilir, kawasan Belawan, semakin banyak lahan mangrove yang hilang akibat pembangunan kawasan industri, perubahan lahan, dan tambak perikanan masyarakat di daerah tersebut. Data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, ternyata luas kawasan mangrove di Belawan hanya tinggal 150 ha dari sebelumnya mencapai 250 ha.

Belum lagi daerah sempadan sungai di pertengahan kota yang sudah banyak dinormalisasi oleh pemerintah dengan mendirikan bangunan. “Ini aneh. Karenanya timbul pertanyaan apakah ini terjadi akibat adanya permainan mafia serta investor yang juga ikut andil,” kata Bobby.

Berkurangnya daerah resapan air membuat Sungai Deli akan meluap ketika intensitas curah hujan di daerah hulu sangat tinggi. Sementara, saat musim kemarau debit air akan menurun drastis.

Menurut Bobby, stakeholder pemerintahan seperti Badan Wilayah Sungai (BWS), Balai Konservasi Sumber Daya Alam, serta Dinas Lingkungan hidup tidak satu suara untuk menjaga dan melestarikan Sungai Deli. Sehingga program kerja pemerintah menjadi lose control (kehilangan kontrol). Bobby menjelaskan bahwa banyaknya pembangunan perumahan mewah yang terjadi di sekitar kawasan sempadan sungai deli menjadi faktor utama meluapnya air Sungai Deli dan menyebabkan banjir di Kota Medan pada akhir tahun 2020.

“Contohnya saja di daerah Polonia yang dulunya itu Ruang Terbuka Hijau tapi berubah dijadikan perumahan mewah oleh investor yang ada,” jelasnya.

Pembangunan di sekitar kawasan Sungai Deli inilah, menurut Bobby, yang akan terus merusak kondisinya. Tak hanya perumahan, kantor pemerintahan seperti Pemerintah Kota Medan dan DPRD Sumatera Utara juga berdiri di tepi sungai tersebut.

“Inilah yang menjadi kontradiksi. Gimana mereka (pemerintah) mau bertindak tegas terhadap kebijakan yang mereka buat. Sedangkan mereka sendiri melanggar aturan tersebut,” keluh Bobby.

Padahal, penetapan lebar sempadan sungai merupakan wujud perlindungan pemerintah kepada masyarakat, seperti terhadap ancaman bencana banjir. Namun, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat RI No. 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai Dan Garis Sempadan Danau menyatakan bahwa lebar sempadan sungai ditentukan berdasarkan penetapan oleh pemerintah. Hal ini, menurut Bobby, sangat berpotensi mengakibatkan diokupasinya lahan sempadan sungai untuk kepentingan pembangunan oleh pemerintah, korporasi, dan investor lainnya.

Belum lagi kanal Sungai Deli yang tidak berfungsi sama sekali. Hal ini akibat limbah yang mengalir ke kanal dan mengendap sehingga membentuk sedimen. Akibatnya jalur air terhambat dan tidak mencapai kapasitasnya.

Bobby berpendapat bahwa pemerintah telah gagal dan lalai dalam menjalankan tugasnya melindungi kawasan Sungai Deli. Pemerintah kerap menyalahkan masyarakat atas kerusakan yang terjadi di Sungai Deli. Padahal pemerintah turut andil dalam kerusakan sungai tersebut. Imbasnya tak hanya masyarakat yang kehilangan wilayahnya tapi nilai sejarah dan kebudayaan yang ada pun akan turut hilang.

“Sekarang tinggal bagaimana mempertahankan beberapa wilayah daerah Sungai Deli untuk menjadi ekowisata. Ini menjadi tugas kita bersama untuk mengajak seluruh komponen masyarakat untuk lebih peduli dalam menjaga kelestarian Sungai Deli,” kata Bobby Septian.

Kurangnya perhatian pemerintah

Agung Rizky, Ketua Kopasude, sepakat bahwa kondisi Sungai Deli saat ini sangat buruk. Kurangnya perhatian pemerintah dalam menjaga kelestarian Sungai Deli, menurutnya, menjadi faktor utama. Tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah serta banyaknya peraturan yang dilanggar membuat ekologi dan kelestarian sungai tersebut terganggu.

“Dampaknya akan dirasakan sama masyarakat di pinggiran sungai deli itu sendiri. Di mana makin lama mereka akan kehilangan wilayah mereka,” tambahnya.

Agung memaparkan saat ini upaya yang bisa dilakukan dalam menjaga kelestarian adalah mengajak masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kopasude juga  rutin membersihkan sampah yang ada di sungai menggunakan perahu.

Tahun lalu, saat mengarungi Sungai Deli dari Kecamatan Medan Johor hingga Medan Marelan, tim Kopasude menemukan 74 titik penuh sampah di bantaran sepanjang 23,5 km tersebut. Kopasude juga menemukan tumpukan sampah di kanal DAS Sungai Deli akibat tak diangkut oleh petugas Dinas Kebersihan. Dasar Sungai Deli  juga penuh sampah. Padahal Pemerintah Kota Medan punya fasilitas memadai untuk mengeruknya.

“Itu (alat pengeruk) hanya bisa digunakan atas izin pemerintah. Tapi nyatanya gak ada wujudnya sama sekali,” keluh Agung.

Selain membersihkan dan memantau debit air sungai, Agung memaparkan bahwa Kopasude pun aktif memberi edukasi dan kelas belajar terhadap anak-anak yang tinggal di kawasan Sungai Deli. Mereka membangun sebuah sanggar di mana anak-anak itu dapat belajar secara gratis.

Selain mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan, Kopasude juga mencoba membantu anak-anak itu menyalurkan minat dan bakat mereka. Seperti membuka kelas menggambar, menulis, menari, bernyanyi, mengaji, dan bermain teater.

“Pendidikan sejak dini itu penting. Karena mereka yang nantinya menjadi generasi penerus untuk tetap menjaga kelestarian sungai deli ini,” jelas Agung. 

Tanggapan Pemkot Medan

Kritik terhadap kotornya Sungai Deli rupanya masuk telinga Pemerintah Kota Medan. Bobby Nasution, Wali Kota Medan, dalam pernyataan tertulisnya mengatakan bahwa Sungai Deli akan menjadi perhatian utama dalam pembangunan di Ibu Kota Sumatera Utara tersebut. 

Banyaknya aduan masyarakat serta banjir yang semakin sering terjadi, membuat Bobby memberikan instruksi kepada Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Medan, M Husni, untuk segera memprioritaskan kebersihan Sungai Deli.

Husni mengatakan sudah berkoordinasi dengan para camat di daerah aliran Sungai Deli. Mereka akan mencari lokasi tumpukan sampah, bekerja sama dengan Badan Wilayah Sungai (BW) dan instansi terkait lainnya.

“Karena kebersihan adalah fokus Bobby Nasution, jadi ketika ada aduan masyarakat yang masuk, segera kita respons dan mencari solusi untuk menyelesaikannya,” ujar Husni. 

Pun menurut Husni, sampah yang berada di sungai adalah sampah yang juga dibuang sembarangan oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, dia berharap masyarakat turut serta menjaga kebersihan lingkungan. Husni akan terus menyosialisasikan dan mengaktifkan perangkat Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (P3SU). 

“Sampah di sungai itu kan, sampah liar, bukan yang tak kita angkat. Karena sampah di permukiman terus kita angkut ke tempatnya,” jelas Husni.

About the writer

Yael Stefany Sinaga

Yael Stefany Sinaga, or Stef, is a freelance journalist and has been contributing for Mongabay Indonesia since 2021. Currently, she is still studying Social Anthropology at the University of North Sumatra...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.