Minimnya alokasi anggaran dan penelitian ilmiah untuk memonitor populasi siamang menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan hidup siamang. Untung ada Abdul Rahman Manik.

Dalam 50 tahun terakhir, populasi owa siamang (Symphalangus syndactylus) diprediksi menurun hingga 50 persen. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pun menetapkan primata khas Sumatera Utara ini dalam kategori hewan terancam punah. Siamang juga termasuk dalam Appendix I CITES, yaitu kelompok spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

Primata endemik Indonesia ini memiliki keunikan tersendiri. Selain suara yang khas, Siamang yang hidup berkelompok juga memiliki peran penting dalam ekosistem hutan. Salah satunya sebagai polinator dan penyebar biji tumbuh-tumbuhan, sehingga kelestarian hutan ikut terjaga.

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan seorang pegiat satwa, Abdul Rahman Manik, pada Selasa, 25 Januari 2022. Pria asli Sumatera Utara ini terlibat langsung dalam perlindungan siamang dari ancaman kepunahan dengan cara yang tidak biasa.

Manik –sapaan akrabnya- juga kerap membagikan video aktivitasnya bersama siamang melalui YouTube dalam kanal “Anak Parherek Si Manik“.

Bagaimana owa siamang mencuri perhatian Anda?

Sebenarnya saya tidak punya ketertarikan dengan owa siamang. Dulu almarhum bapak yang  sering mengajak dan membuat tanduk kerbau untuk memanggil Siamang.

Awalnya bapak, ibu, dan mertua saya membangun gubuk dan mengolah lahan untuk bertani. Saat itu, banyak kera datang dan merusak pertanian. Bapak saya malah berniat untuk meracuni mereka. Anehnya, setiap malam bapak bermimpi didatangi leluhur dengan sosok perempuan. Ia datang ke dalam mimpi bapak berkali-kali dan berpesan agar bapak menjaga satwa di Hutan Sibaganding, Simalungun, Sumatera Utara. Bapak diminta untuk membuat terompet dari tanduk kerbau dan menjaga siamang.

Saya sendiri tidak pernah berniat untuk menjaga siamang, tapi bapak mengharapkan saya sebagai penerusnya. Bapak punya prinsip, lebih baik berpisah dengan anak-istri daripada berpisah dengan siamang dan satwa di hutan. Saya meneruskan apa yang menjadi pesan bapak. Sudah hampir sembilan tahun, saya menjaga Siamang di Taman Nasional Gunung Leuser – tepatnya di Taman Wisata Hutan Kera Sibaganding.

Anda memanggil siamang dengan cara yang tidak biasa. Bagaimana Anda melakukannya?

Saya memanggil Siamang dengan terompet dari tanduk kerbau buatan bapak. Meniup terompet itu dengan irama yang seakan merayu Siamang untuk datang saat mereka berada di dalam hutan. Mereka pun datang karena tahu arti dari bunyi itu.

Uni International untuk Konservasi Alam (IUCN) menyatakan owa siamang terancam punah karena populasinya diperkirakan terus menurun. Bagaimana tanggapan Anda?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, seperti perburuan siamang untuk diperjualbelikan dan faktor alam. Salah satu pengalaman saya pada 2014 lalu, ada wisatawan yang menawar anak Siamang yang saya rawat di hutan. Siamang yang berusia 2 tahun ditawar dengan harga Rp50 juta. Saya tidak pernah berharap menghasilkan uang dari menjual owa siamang, satwa yang sangat berjasa menjaga hutan. Mereka sudah seperti keluarga.

Di sisi lain, pembukaan lahan juga membuat habitat owa siamang terganggu. Normalnya, mereka bisa memiliki 2 sampai 3 ekor anak, itu pun sangat bergantung pada kondisi hutan.

Pemanasan global juga ikut mempengaruhi populasi owa siamang karena sumber makanan semakin berkurang. Akibatnya, mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beranak, bisa sampai lima tahun.

Faktor lainnya, sengatan listrik dari kabel. Ketika owa siamang berpindah dari satu hutan ke hutan lainnya, mereka melawati jalan dengan tiang-tiang listrik. Mereka memegang kabel listrik karena tidak ada ranting pohon untuk dipegang saat melompat, akhirnya mereka kesetrum.

Bagaimana dengan populasi owa siamang di Hutan Sibaganding?

Owa siamang itu jenis hewan berkelompok. Di Hutan Sibaganding, ada 6 ekor siamang yang dilatih. Sedangkan untuk siamang liar, mereka tersebar di 6 titik. Dari pengamatan saya, kalau suaranya bersahutan di satu titik, tandanya kelompok siamang bisa terdiri dari 4-6 ekor. 

Apa saja keunikan dari owa siamang?

Kotoran owa siamang sangat bermanfaat untuk menyuburkan tumbuh-tumbuhan di hutan. Suara-suara khas siamang juga banyak dipercaya sebagai penanda berbagai fenomena alam, seperti datangnya hujan dan kabar kematian. Seperti kepercayaan ketika siamang bersuara saat subuh, masyarakat sekitar mengartikannya sebagai penanda kabar duka.

Mengapa Anda memilih YouTube sebagai media kampanye perlindungan owa siamang?

Penghasilan yang saya miliki sebagian besar dipakai untuk ikut melestarikan siamang. Sayangnya, upah yang saya dapat sebagai pegawai kontrak Balai Taman Nasional Gunung Leuser juga rendah. Tujuan menggunakan YouTube sebenarnya untuk menggalang dana karena anggaran dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan owa siamang selama ini tidak cukup. Apalagi owa siamang bisa menghabiskan sampai 30 sisir pisang per hari.

Apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah siamang dari kepunahan?

Selama ini, saya belum melihat upaya serius dari pemerintah untuk melindungi primata asli Sumatera Utara ini dari kepunahan. Minimnya alokasi anggaran dan penelitian–penelitian ilmiah untuk memonitor populasi siamang menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan hidup siamang.

Anggaran daerah juga digunakan tidak tepat sasaran. Bukannya tetap menjaga kelestarian hutan dengan membiarkannya tetap alami sebagai rumah bagi owa siamang, pemerintah malah lebih memprioritaskan pembangunan gapura, musala, dan parkiran di daerah wisata hutan.

Pesan Anda untuk kelangsungan hidup owa siamang?

Hutan harus tetap dijaga dan perburuan ilegal harus dihentikan. Jaga rumah Siamang agar mereka tidak punah. Kalau tidak ada hutan, Siamang tidak akan bisa bertahan hidup. 

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.