Posted inWawancara / Keberlanjutan

Charles Roring: Melibatkan masyarakat adat dalam ekowisata itu penting

Peningkatan kualitas pelayanan ekowisata di Papua perlu dilakukan agar masyarakat lokal dapat terlibat langsung dan tidak hanya menjadi penonton.

Ekowisata menjadi salah satu konsep yang diusung untuk menawarkan pegalaman berwisata dengan mengedepankan aspek keberlanjutan. Pilihan destinasi ekowisata juga memungkinkan pengunjung untuk melihat langsung satwa liar di habitat asli mereka dan mengenal kearifan lokal masyarakat adat yang masih terjaga.

Keindahan alam Papua berpotensi menjadi destinasi favorit ekowisata di Indonesia. Namun, penerapannya bukan tanpa kendala. Mulai dari terbatasnya akomodasi, akses jalan, hingga alasan keamanan menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha wisata di Papua. Pemerintah dinilai belum maksimal untuk mendukung pengelolaan konsep ekowisata.

Untuk mengetahui potensi dan perkembangan ekowisata di Papua, the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan Charles Roring. Pegiat wisata pengamatan burung di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat ini melibatkan masyarakat adat untuk ikut mengembangkan potensi ekowisata yang ramah lingkungan.

Bagaimana awal mula Anda menginisiasi ekowisata di wilayah Papua?

Saya dulunya suka jalan-jalan, kemudian membuat blog tentang tempat-tempat yang dikunjungi. Ternyata banyak wisatawan mancanegara yang membaca karena blog ditulis dalam bahasa Inggris. Akhirnya banyak dari mereka tertarik mengunjungi Papua, terutama untuk melihat terumbu karang yang masih terjaga.

Awalnya, saya tidak terpikir untuk menawarkan jasa perjalanan berkonsep ekowisata. Karena melihat antusiasme orang untuk berkunjung ke Papua, saya memulai usaha dalam bidang ekowisata.

Bagaimana potensi ekowisata di Papua?

Papua itu punya terumbu karang terbaik di dunia.  Keindahan Teluk Cendrawasih sampai Raja Ampat juga sudah mendunia. Artinya, potensi bahari Papua sangat mungkin untuk dikembangkan, ditambah dengan keanekaragaman hayati yang tidak ditemukan di daerah lain.

Tutupan hutan di Papua juga masih bagus. Dari 40-an spesies burung surga (birds of paradise), sekitar 37 spesiesnya ada di hutan Papua. Itu juga menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan untuk berkunjung. Papua memiliki destinasi wisata berbasis alam yang unik.

Apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsep ekowisata agar tetap mengutamakan aspek keberlanjutan lingkungan hidup?

Pariwisata itu perlu memperhatikan tiga hal utama. Pertama, atraksi yang mendorong daya tarik pengunjung. Kedua, aksesibilitas untuk memastikan destinasi dapat diakses atau tidak. Terakhir, akomodasi pendukung, seperti penginapan, ATM, atau internet.

Ketika akomodasi terbangun, maka diperlukan keterlibatan masyarakat untuk mengelolanya. Dalam konteks ekowisata, yang mengelola seharusnya masyarakat lokal. Guides, agen pariwisata, dan masyarakat adat harus sejalan. Konsep itu yang penting diperhatikan dalam ekowisata.

Apa saja tantangan dalam mengelola ekowisata di Papua?

Kendalanya banyak. Sebagai contoh, tidak tersedianya akomodasi yang memadai bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke hutan di Papua. Kenyamanan beristirahat yang ditawarkan tidak seperti hotel di kota, karena hanya tenda seadanya yang tersedia. Daerah Papua juga dikenal sebagai daerah konflik, jadi kami juga harus berkoordinasi dengan polisi dan aparat keamanan. Sementara wisatawan asing merasa tidak nyaman jika dicurigai dan diinterogasi saat berkunjung ke Papua.

Kendala lain ketika wisatawan asing terjadwal untuk terbang kembali ke negara asalnya, terkadang kendaraan yang seharusnya menjemput tidak datang. Apalagi dengan infrastruktur yang masih serba terbatas dan sinyal ponsel yang timbul tenggelam, jadi menyulitkan komunikasi.

Bagaimana ekowisata dapat berkembang di Papua?

Kawasan hutan Papua terbagi atas kepemilikan masyarakat adat setempat, jadi penting untuk membangun kerja sama dan kepercayaan warga lokal.  Sebagai contoh, ketika saya akan menemani perjalanan wisatawan di suatu tempat, saya akan berkordinasi dulu dengan kepala kampung setempat. Saya dengan mudah berkomunikasi dengan mereka karena lahir dan besar di Papua, jadi sudah terbiasa dengan adat istiadat Papua.

Melibatkan masyarakat adat dalam ekowisata penting. Seperti meminta bantuan warga kampung setempat untuk jadi tukang masak atau porter. Karena masyarakat adat terbiasa berburu, berkebun, dan mencari bahan obat-obatan di hutan, mereka juga bisa menjadi pemandu wisata yang memperkenalkan kearifan lokal pada para pendatang.

Pengelolaan sampah menjadi salah satu faktor penting dalam ekowisata. Bagaimana upaya Anda dalam mengatasi permasalahan ini?

Kata “eco” dalam konsep ecotourism ini memang berat untuk diterapkan. Tidak boleh membuang sampah, bahan beracun, dan berbahaya. Sementara saya sendiri belum bisa seratus persen menerapkan itu. Sebisa mungkin kami melarang pengunjung untuk membawa sampah ke lokasi wisata atau memakai alat makan dari plastik. Kalau pun ada sisa sampah, kami berupaya untuk membawa kembali sampah ke kota untuk dikelola.

Khususnya di pulau-pulau kecil, banyak ditemui sampah kiriman yang terbawa arus. Kami menjadikan gerakan bersih-bersih sampah sebagai salah satu daya tarik wisata, dengan mengajak pengunjung untuk ikut membersihkan sampah sebagai bagian dari agenda perjalanan wisata.

Bagaimana peran pemerintah dalam pengembangan ekowisata di Papua?

Pariwisata termasuk salah satu sektor yang diunggulkan. Pemerintah berupaya membangun berbagai fasilitas di lokasi wisata, tapi keterlibatan pelaku usaha ekowisata masih sangat terbatas.

Sebagai upaya untuk mendukung aksesibilitas destinasi dan pengelolaan daerah wisata, masyarakat adat juga perlu mengambil peran. Peraturan daerah terkait tarif pajak cukup memberatkan ketika usaha ekowisata masih baru dirintis. Ini juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk mendukung bangkitnya ekowisata.

Bagaimana melibatkan anak muda dalam pengembangan ekowisata?

Sejak awal mengembangkan konsep ekowisata, saya berhubungan langsung dengan masyarakat adat dengan cara manual. Saya tidak terbiasa menggunakan komputer atau media sosial. Ketika melihat wisatawan menggunakan kamera, binokuler, atau ponsel untuk berfoto, saya akhirnya ikut menggunakan peralatan yang dapat membantu pengembangan dan promosi ekowisata.

Menurut saya, dengan perkembangan teknologi, kemauan berwirausaha, dan kesadaran menjaga lingkungan, anak muda dapat ikut mengembangkan konsep ekowisata.

Harapan Anda terkait  pengembangan ekowisata di Papua?

Ekowisata telah menjadi salah satu daya tarik untuk berkunjung ke Papua. Mulai dari pengalaman wisata bahari sampai petualangan ke hutan. Saya berharap bantuan pemerintah tidak hanya terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pelatihan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang siap mengelola potensi ekowisata di Papua. Seperti bagaimana mempersiapkan manajemen homestay, menyediakan kursus bahasa asing, dan pelatihan menjadi pemadu wisata profesional.

Peningkatan kualitas pelayanan ekowisata di Papua perlu dilakukan agar masyarakat lokal dapat terlibat langsung dan tidak hanya menjadi penonton.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.