Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018 yang menetapkan wilayah Desa Wadas di Kecamatan Bener, Purworejo, sebagai lokasi penambangan batu andesit bagi material pembangunan Bendungan Bener menimbulkan kontroversi. Sejumlah aparat bersenjata lengkap mengepung Desa Wadas dan menangkap beberapa warga yang menolak rencana pemerintah pada Rabu, 9 Februari 2022 lalu.

Berdasarkan SK tersebut, lahan yang dibutuhkan untuk penambangan dan bendungan yang mencapai 145 hektare dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan sumber pencaharian warga Desa Wadas. Padahal Desa Wadas memiliki lahan subur yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman budidaya bernilai ekonomi tinggi. Kenakearagaman hayati yang dimiliki Desa Wadas juga ikut terancam dengan adanya aktivitas pertambangan.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi Desa Wadas saat ini dan perjuangan warga mempertahankan kelestarian desanya, the Society of Indonesiaan Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan salah satu warga Desa Wadas, Siswanto.

Bagaimana kondisi Desa Wadas pasca-penangkapan dan dugaan kekerasan terhadap warga desa?

Warga desa, dari anak-anak sampai orang tua, masih trauma setelah penangkapan dan kekerasan yang terjadi pada 8-11 Februari lalu. Bahkan sampai hari ini (Rabu, 23/2/2022), kami masih melihat Tentara Nasional Indonesia (TNI), intel, dan polisi berpatroli di sekitar desa.

Ada upaya pemerintah untuk memberikan rasa aman bagi warga Desa Wadas?

Tidak ada sama sekali. Setelah aparat keamanan melakukan kekerasan dan penangkapan, kami belum melihat upaya pemerintah untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Saat ini, program trauma-healing diberikan oleh relawan yang peduli kondisi warga Desa Wadas yang terintimidasi.

Apa yang menjadi alasan penolakan warga terhadap pembukaan aktivitas tambang?

Mayoritas permukiman warga terletak di bawah Bukit Wadas. Bukit itu mengelilingi dua desa, Wadas dan Kaliwader. Seperempat luas bukit rencananya akan dijadikan area pertambangan yang tentu saja akan berdampak pada permukiman warga, terutama ancaman bencana longsor. Pada 1988, Desa Wadas pernah diterjang longsor yang sangat parah. Dengan adanya aktivitas pertambangan, bencana itu bisa terulang kembali.

Perekonomian warga juga akan terdampak karena pertanian menjadi salah satu sumber mata pencaharian warga. Awalnya Kabupaten Purworejo dikembangkan sebagai daerah perkebunan, sekarang malah diubah pemerintah untuk dijadikan area pertambangan. Kebijakan ini tidak mempertimbangkan dampak lingkungan.

Apakah warga ikut dilibatkan dalam pembahasan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)?

Warga tidak pernah dilibatkan secara langsung. Saat penyusunan AMDAL sekitar 2015-2016, memang digelar tes risiko bencana yang saat itu langsung ditolak warga. Tiba-tiba AMDAL terbit dan menjadi landasan pemerintah membuka aktivitas tambang.

Seberapa besar dampak pembangunan Bendungan Bener bagi kesejahteraan warga Desa Wadas?

Menurut warga, sebenarnya pembangunan bendungan saat ini tidak mendesak. Irigasi pesisir Purworejo yang dikelola warga masih mampu mengairi sawah. Saat musim kemarau, komoditas palawija juga tidak terganggu suplai air. Selama ini, kami belum pernah mengalami kekeringan atau membutuhkan pasokan air saat musim kemarau.

Ketika air mencukupi kenapa harus dibangun bendungan sebesar itu? Berapa ratus hektare lahan yang menjadi tumpuan hidup warga dikorbankan untuk proyek-proyek yang merugikan, seperti pembangunan bendungan dan pembukaan aktivitas pertambangan. Kebijakan ini tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial kami.

Desa Wadas dikenal dengan potensi batu andesit berkualitas. Bagaimana sejauh ini warga memanfaatkan potensi itu?

Selama ini kami menggunakan batu andesit untuk menjaga lingkungan dan mencegah terjadinya bencana alam. Sejauh ini tidak ada warga Desa Wadas yang menambang batu untuk dijual. Bahkan untuk membangun rumah, biasanya warga akan mengambil batu ke sungai.

Selain tambang, potensi apa saja yang dimiliki Desa Wadas untuk dikembangkan dan bernilai ekonomi?

Beberapa pihak mengklaim bahwa Desa Wadas memiliki lahan yang gersang dan tidak produktif. Saya bertani di Desa Wadas karena tanahnya yang subur. Wadas itu tanah surga. Kami tinggal di wilayah perbukitan dengan ketinggian 400-500 meter dari permukaan laut.  Cuacanya cocok untuk bertani, terutama untuk menanam rempah-rempah dan buah-buahan. Kencur, jahe, kunyit, dan temulawak tumbuh subur. Selain itu vanili, kapulaga, cabe jawa, dan lada juga tumbuh subur di dataran yang lebih tinggi.

Sampai kapan warga Desa Wadas akan terus berjuang melawan pembangunan bendungan dan pertambangan?

Kami warga desa Wadas berkomitmen untuk terus bertahan sampai kapan pun. Demi menjaga kelestarian Desa Wadas, kami juga butuh dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah pusat dan daerah.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.