Sulawesi Utara memiliki risiko tinggi transmisi penyakit zoonosis dari satwa liar ke ternak domestik hingga manusia.

Christian Pangouw (35) tampak sibuk membakar kelelawar dagangannya di Pasar Langowan, Sabtu (16/10/2021). Kelelawar yang sudah mati, dibakar menggunakan blower api yang disambungkan dengan gas elpiji tiga kilogram. Setelah bulu-bulu kelelawar habis, ia memotongnya, membungkus, lalu diberikan ke pembeli yang sudah menunggu.  

Christian, warga Desa Waleure, Langowan ini sudah jualan daging hewan liar selama 25 tahun, sejak ia anak-anak. Dagangannya kini ramai lancar oleh pembeli. Di awal-awal pandemi Covid 19, dagangan Christian sempat sepi. Apalagi setelah informasi beredar bahwa Covid-19 berasal dari kelelawar yang dijual di Pasar Wuhan China. 

Mengutip pemberitaan  DW yang terbit pada tanggal 29 Maret 2021, tim ahli WHO yang meneliti asal usul Covid-19 di Wuhan, China meyakini, virus SARS-CoV-2 yang merupakan penyebab penyakit Covid-19 berasal dari kelelawar. Sebuah teori yang diteliti mereka adalah, virus corona menular langsung dari kelelawar ke manusia 

“Sempat sepi, mungkin karena orang-orang takut. Ditambah lagi ekonomi lagi susah waktu itu,” ujarnya kepada tribunmanado.co.id. 

Christian mengaku tak takut dengan informasi bahwa Covid-19 berasal dari kelelawar. Ia bahkan tak mempercayainya. Begitu pula dengan ancaman penyakit karena hewan liar. Karena sudah bertahun-tahun jualan, dirinya bersama pada pedagang lainnya di Pasar Langowan tak terjadi apa-apa. 

“Kami baik-baik saja,  tak ada sakit apa-apa,” katanya.  

Meski begitu, Christian tetap menjaga dirinya tetap bersih. Sepulangnya dari pasar, ia tetap membersihkan diri sebelum melanjutkan aktivitasnya. “Kalau bersih-bersih setelah pulang dari pasar itu pasti. Sudah kotor-kotor dan kena darah hewan, tetap mandi setelah pulang,” ujarnya.  

Masyarakat Sulawesi Utara punya kebiasaan mengonsumsi hewan liar dari generasi ke generasi. Sejumlah pasar tradisional menjual daging hewan liar seperti kelelawar atau bahasa lokal disebut paniki, ular piton, tikus hutan, babi hutan, biawak.

Di masa Pandemi Covid-19 ini, pasar daging ekstrem  tetap ramai oleh pembeli. Menurut data jurnal ilmiah Universitas Sam Ratulang tahun 2020 berjudul Perdagangan Jenis  Satwa Liar di Pasar Langowan, ada delapan pedagang hewan liar di pasar ini. 

Baik warga maupun pedagang mengaku tak takut mengenai ancaman zoonosis  dari hewan liar.  

Saat ini hewan-hewan liar di Pasar Langowan dijual dalam keadaan mati. Dari informasi para pedagang, dulunya kelelawar dijual dalam keadaan hidup. Pembeli memilih kelelawar di dalam kerangkeng besi, lalu dipotong dan dibakar di tempat.  

Vian Oroh (36), salah satu pedagang di Pasar Langowan mengatakan, dulu sekitar 15 – 20 tahun lalu, kelelawar masih banyak di daerah sekitar sehingga bisa dijual dalam keadaan hidup.

Namun kini karena dipasok dari luar provinsi Sulawesi Utara dan harus melewati berhari-hari perjalanan darat, sehingga sudah dalam keadaan mati. Biasanya ditaruh di dalam bak penampungan yang ditaruh es balok.   

Dagangan hewan liar di Pasar Tomohon, Sulawesi Utara yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Pasar Langowan, juga ramai  oleh pembeli. Ferry Mamuaya (50) salah seorang pedagang mengaku tak takut dengan ancaman penyakit karena hewan liar. Begitu pula dengan kabar Covid-19 yang berasal dari kelelawar di Wuhan.  

Sudah 30 tahun ia jualan dan sampai kini baik-baik saja. Yang paling utama menurutnya, daging-daging harus dimasak dengan benar. “Bagaimana di China sana tak sakit, mereka tak memasaknya dengan benar. Bahkan ada yang hanya direbus saja,” ujarnya tribunmanado.co.id Senin (12/10/2021) saat ditemui di Pasar Tomohon. Ferry meyakini hal ini setelah melihat berita dan banyak berbincang dengan orang – orang sekitarnya yang juga suka mengonsumsi daging hewan liar. 

Ferry mengaku, kelelawar adalah daging paling laris dan dinilai paling enak. Ferry bahkan meyakini, daging kelelawar punya khasiat bisa untuk memberi stamina. Jika tubuh seseorang  lemah, daging kelelawar ini bisa mengembalikan stamina. “Pokoknya kalau makan ini (kelelawar) bisa kuat lagi,” katanya.  

Usai jualan, Ferry mengatakan tetap membersihkan diri sebelum melanjutkan aktivitasnya.

“Yang pasti mandi, harus bersihkan diri,” katanya.  

Seorang pembeli, Johny Moningka (59) warga Pinaras, Kota Tomohon mengatakan masih rutin mengonsumsi hewan liar.  Yang penting menurutnya cara masaknya harus benar.

“Masaknya harus benar, harus benar-benar matang. Virus yang di dalam daging pasti mati,” katanya.   

Peneliti Mikrobiologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra mengatakan manusia bisa kena penyakit yang asalnya dari hewan karena proses interaksi yang terjadi.

Proses transmisinya itu ketika melakukan pengolahan ataupun ketika melakukan perburuan hewan liar. “Ketika hewan itu sudah dimasak, matang, misalkan di suhu 100 derajat celsius, sampai mendidih selama satu jam, dia secara teoritis bersih, tidak ada patogen,” kata Sugiyono Saputra.

Resiko tinggi transmisi penyakit zoonosis 

Penelitian Ageng Wiyatno (2017) berjudul “Interaksi Kelelawar dan Manusia: Potensi Zoonotik di Indonesia”, menemukan satwa liar seperti kelelawar memiliki kandungan jumlah virus yang tinggi. Total virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar berjumlah 61 jenis virus.  

Menurut Ageng, saat ini bahkan lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi atau terdeteksi pada kelelawar selama 10 tahun terakhir dan beberapa virus tersebut memiliki potensi zoonosis cukup besar, sebagai contoh adalah virus dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Adenovirus, dan Astrovirus.

Penyakit zoonosis lain yang menyebar dari inang hewan liar ke populasi manusia termasuk Virus West Nile, SARS (sindrom pernapasan akut yang parah), MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) dan sekarang, Covid-19. 

Survey Triangulasi Pada Hewan Domestik Di Pulau Sulawesi 2016 yang dilakukan Balai Besar Veteriner Maros dan Food and Agriculture Organization (FAO) Emergency Centre for Transboundary Diseases (ECTAD) Indonesia bahkan mendapatkan hewan domestic lain seperti babi juga terdeteksi memiliki lima family virus seperti Influenza (HPAI, Human Flu, Paramyxovirus (Nipah, Hendra), Coronavirus (SARS, Mers Cov), Filovirus (Ebola), dan Flavivirus (JE). Contoh zoonosis hewan domestik lain termasuk penyakit bakteri E.coli dan toksoplasmosis.  

Populasi target dalam penelitian ini adalah hewan domestik yang diternakkan yakni sapi, kerbau, kuda, babi, kambing yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan satwa liar. Berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Sulawesi Utara, daerah ini memiliki risiko tinggi terhadap penularan penyakit satwa liar ke ternak domestik dan manusia.  

Hal tersebut dimungkinkan karena keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Sulawesi Utara. Berbagai jenis satwa liar mulai dari anoa, babi rusa, babi hutan, yaki, kuskus, tarsius, kelelawar, tupai tikus, soasoa, burung rangkong, serta burung Maleo. Di samping itu adanya kultur beberapa kelompok masyarakat yang mengkonsumsi daging dari satwa liar. 

Christian Walzer is Executive Director, Health, in the Global Conservation Program of the WCS (Wildlife Conservation Society), dikutip dari Live Science menyebut zoonosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit yang menyebar dari hewan ke manusia.  

Zoonosis dapat ditularkan melalui kontak fisik langsung, melalui udara atau air, atau melalui inang perantara seperti serangga. Seringkali patogen zoonosis ini tidak mempengaruhi hewan di mana mereka tinggal, tetapi mereka dapat menimbulkan risiko yang sangat besar bagi manusia yang tidak memiliki kekebalan alami terhadap mereka.  

Menurut Walzer, pandemi Covid-19 memberikan pengingat yang jelas bahwa menangani atau melakukan kontak dekat dengan satwa liar, bersama dengan bagian tubuh dan atau ekskresi mereka seperti darah, ludah, dan urin (campuran kuat yang membuat pasar basah namanya), menimbulkan risiko penyebaran patogen yang mereka inang dan pelihara di alam, dan itu dapat menyebabkan infeksi zoonosis. 

Walzer menyebut secara global, zoonosis bertanggung jawab atas sekitar 1 miliar kasus penyakit manusia dan jutaan kematian manusia setiap tahun. Sekitar 60 persen dari penyakit baru yang dilaporkan secara global dianggap sebagai zoonosis, dan 75 persen patogen manusia baru yang terdeteksi dalam 30 tahun terakhir berasal dari hewan, kata Walzer.  

Walzer mengatakan membatasi kemungkinan kontak antara manusia dan hewan liar adalah cara paling efektif untuk mengurangi risiko munculnya penyakit zoonosis baru. Ini harus mencakup penutupan pasar hewan hidup yang menjual satwa liar, memperkuat upaya untuk memerangi perdagangan satwa liar di dalam negara dan lintas batas, dan bekerja untuk mengubah perilaku konsumsi satwa liar yang berbahaya.  

Anang Setiawan Achmadi, staf dari Pusat Penelitian Biologi LIPI dikutip dari laman LIPI  mengatakan banyak faktor yang dapat memicu penyakit hinggap pada hewan, bahkan satwa liar yang bebas di alam sekalipun, apalagi dalam kondisi terkurung. Penyakit dapat menyerang terutama pada kondisi satwa yang lemah, stres, lingkungan yang kotor, serta perawatan satwa yang kurang baik. 

Pada beberapa kasus, penyakit zoonosis ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan pada kasus lain dapat dijumpai penularan melalui air minum yang mengandung telur dari parasit yang zoonosis, biasanya pada kasus yang berhubungan dengan cacing pita (taeniasis). 

Cara penularan yang lain dapat melalui vektor insekta (serangga), contohnya melalui tungau (flea) atau kutu (tick) yang termakan oleh hewan yang terinfeksi kemudian termakan oleh manusia. Pada prosesnya, serangga tersebut mentransfer organisme infeksius. 

Penyakit zoonosis tersebut sering berakibat fatal, baik bagi hewan atau satwa itu maupun bagi manusia. Namun, sering tidak diketahui bahaya yang mengancam apabila terserang penyakit karena terkadang kurang awas dan tidak tahu.  

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPDT) Laboratorium Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, Dokter Hewan Hanna Tioho mengatakan di awal pandemic Covid-19 tahun 2020 tepatnya Maret, pihaknya turun ke pasar Tomohon dan Langowan untuk memeriksa hewan liar yang dijual, terutama kelelawar yang disebut sumber Covid-19. Cara memeriksanya yakni mengambil sampel hewan dan memeriksanya di laboratorium. 

Menurutnya, saat itu tak didapati ada kelelawar yang positif Covid-19. 

Dalam upaya menanggulangi zoonosis, Hanna Tioho menyebut pemerintah dalam hal ini provinsi dan pemerintah daerah rutin mengedukasi para pedagang maupun pembeli di pasar tradisional untuk tetap menjaga menjaga kebersihan.

“Petugas di daerah rajin turun ke pasar untuk edukasi bahaya zoonosis dan bagaimana mereka bisa menjaga diri untuk tetap bersih,” ujarnya. Edukasi yang dilakukan yakni mendatangi langsung pasar-pasar yang menjual daging ekstrem dan langsung mengedukasi, hingga pertemuan khusus dengan para pedagang 

Hanna Tioho mengakui butuh waktu bagi masyarakat untuk berhenti dari kebiasaan mengonsumsi hewan liar maupun domestik. Sebab kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun. “Memang tak mudah, tapi paling tidak masyarakat terus diedukasi,” ujarnya. 

Hingga terjadi perubahan dalam tradisi konsumsi daging hewan, konsumen seperti Johny Moningka akan terus membeli daging kelelawar dan babi hutan di pasar lokal, seperti yang telah mereka dan keluarganya lakukan secara turun-temurun. 

Versi sebelumnya dari liputan ini telah terbit di Tribun Manado pada tanggal 18 Februari 2022. Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network. 

About the writer

Finneke Wolajan started her career as a journalist soon after she completed her undergrad studies at the Manado State University. In 2013 she worked for Tribun Manado (North Sulawesi) and became a member...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.