Bank sampah satu solusi yang dikembangkan Jakarta menangani sampah di hulu. Jika maksimal, lebih dari 70% sampah Jakarta tak perlu berakhir di Bantargebang.

DI RW 8 Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, penduduk mendirikan Bank Sampah Sekarwangi karena terganggu oleh tumpukan sampah di sekitar tempat tinggal mereka. Sampah tak saja berasal dari rumah penduduk perumahan ini, juga dari penduduk yang tinggal di tempat lain.

“Sampah jadi penuh dan tak terangkut,” kata Budi Asri Budiarti, penduduk RW 8, yang kini jadi pengurus bank sampah pada pertengahan Maret 2022.

Akibat tak tertampung, sampah meluber ke jalan perumahan. Bau dan tak enak dipandang. Para ibu, kata Budi Asri, mengadukan problem lingkungan itu kepada Ketua RW. Setelah berembuk dengan pengurus lain, membaca referensi di Google, para ibu setuju menyetop sampah ke tempat pembuangan sementara di perumahan itu dengan menampungnya di bank sampah. 

Menempati bangunan markas kantor RT 12, para ibu mendirikan Bank Sampah Sekarwangi pada Agustus 2019. Konsepnya sederhana: mencegah sampah masuk tempat penampungan. Para pengurus bank sampah akan membeli sampah dari masyarakat dan memberikan nilai lebih jika mereka memilahnya sejak dari rumah.

Sampahnya dibedakan menjadi tiga: sampah kertas, plastik, dan organik sisa makanan. Penduduk bisa menyetor semua sampah ke bank sampah lalu mendapatkan uang dari per kilo sampah yang mereka setorkan.  Harga tiap jenis sampah berbeda-beda karena harga jual kembali untuk industri daur ulang juga beda-beda.

Sampah plastik dan kertas, terutama kardus, punya nilai ekonomi. Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menyediakan tempat pengolahan sampah plastik dan kertas untuk dijadikan produk kembali oleh industri daur ulang. Penjualan kepada Dinas Lingkungan itu membuat sampah penduduk Pulogebang jadi bernilai.

Pengurus Sekarwangi membeli gelas plastik Rp 3.000 per kilogram, harga termahal dibanding sampah lain. Pengurus kemudian menjualnya ke Dinas Lingkungan Rp 5.500. “Untungnya dikembalikan kepada masyarakat dan jadi uang kas untuk operasional bank sampah,” kata Budi.

“Petugas bank tak mendapatkan gaji karena kami kerja sukarela,” lanjut Budi.

Ada 15 orang yang bertugas menimbang, mencatat, dan mengirimkannya ke Dinas Lingkungan Hidup. Nasabahnya tak tetap tiap pekan. Kadang 150 orang yang menyetor, kadang bisa sampai 180 per pekan. Petugas menabung sampah itu dan menyetorkannya ke Dinas Lingkungan Hidup tiap dua pekan.

Jumlah sampah plastik tiap pengiriman rata-rata 800 kilogram. Sementara sampah organik dikompos secara sederhana menjadi pupuk yang bisa diambil oleh siapa saja untuk menghidupi tanaman di teras rumah.

Dengan sampah terbuang nyaris nol, penduduk di RT 12 Pulogebang kini bisa bernapas lega. Tak ada lagi bau dari tempat pembuangan sampah sementara. Mereka bahkan menutup pembuangan sampah untuk mencegah penduduk dari perumahan atau kampung lain membuangnya di sini.

Setelah berjalan tiga tahun, kata Budi Asri, penduduk sudah paham fungsi dan peran bank sampah. Menurut ibu dua anak berusia 46 tahun ini, hal tersulit bagi para petugas menghela bank sampah adalah meminta warga memilah sampah mereka sejak dari rumah.

“Sekarang, sih, sebagian besar sudah paham,” kata Budi.

Bank sampah kian populer di Jakarta. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Asep Kuswanto, hingga tahun lalu bank sampah yang tercatat di dinasnya sebanyak 3.188. Artinya, jumlah bank sampah sudah melebihi jumlah RW di Jakarta sebanyak 2.742.

“Tapi pandemi membuat kegiatan beberapa bank sampah, seperti kantor dan sekolah, berhenti,” katanya.

Jumlah nasabah bank sampah di Jakarta hingga kini sebanyak 203.502 orang. Jika satu nasabah mewakili satu rumah tangga, jumlah nasabah bank sampah baru 10% dari jumlah rumah di ibu kota. Asep mengutip data Badan Pusat Statistik RW yang menyebutkan baru 8,18% rumah tangga yang memilah sampah mereka.

Jakarta sedang dipusingkan oleh sampah. Ini problem laten yang tak pernah selesai. Dari gubernur ke gubernur, masalah sampah selalu jadi momok. Arus urbanisasi dan naiknya jumlah kelas menengah, membuat jumlah sampah naik dari tahun ke tahun. Menurut Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, di tahun 2000 jumlah sampah Jakarta 5.000 ton sehari, tahun lalu tembus 7.233 ton.

Menurut Asep, mayoritas sampah DKI berupa sisa makanan, sebanyak 52,91%. Plastik dan bahan plastik 14,85%, kertas 7,49%, sisanya adalah sampah rumput, kayu, kaca, beling, kulit, logam, limbah berbahaya dan beracun (B3). Dengan bank sampah di tiap RW, kata Asep, sebetulnya limbah organik dan plastik bisa tertangani sejak dari hulu.

Masalahnya, tak semua penduduk memanfaatkan bank sampah. Masyarakat belum terbiasa memilah dan memanfaatkan bank sampah di lingkungannya. “Pemilahan sampah di warga masih harus kami tingkatkan,” kata Asep. “Sehingga sampah daur ulangnya bisa lebih banyak masuk ke bank-bank sampah yang ada di lokasi mereka.”

Di Pulogebang, bank sampah Sekarwangi baru menerima sampah dari 3,34% penduduk atau rumah tangga. Jumlah penduduk di RW 08 yang menjadi wilayah bank sampah ini mencapai 5.386 keluarga. Budi Asri mengakui belum semua penduduk sadar menyetorkan sampahnya.

“Ada yang cuek meski kami sudah woro-woro agar setor sampah ke bank sampah,” kata Budi Asri.

Lokasi bank sampah Sekarwangi di RT 12 membuat penduduk RT lain di RW tersebut tak menyetorkan sampahnya ke sini. Menurut Budi, tingkat kesadaran di RT 12 pun belum sepenuhnya. Ia memperkirakan rumah tangga yang sadar harus memilah sampah dari rumah hanya 70%, itu pun tak semua setor sampah ke Sekarwangi.

Dengan hitung-hitungan kasar saja, jika tiap bank sampah rata-rata hanya menerima 3% sampah masyarakat, total sampah yang dikelola bank sampah di seluruh Jakarta tak sampai 1.000 ton per hari. Data yang ada di Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menunjukkan total sampah penduduk Jakarta 8.448 ton sehari.

Pemilahan sampah di warga masih harus kami tingkatkan. Sehingga sampah daur ulangnya bisa lebih banyak masuk ke bank-bank sampah yang ada di lokasi mereka

Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta

Menurut Asep, bank sampah baru menangani sampah anorganik sebanyak 26 ton sehari. Sementara sampah anorganik, seperti plastik, kertas, logam, yang masuk ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, sebanyak 24% atau 1.735 ton per hari.  Artinya baru 1,5% sampah anorganik yang tertangani di RW.

Dengan pelbagai program, termasuk bank sampah, Jakarta bisa mengurangi 2.071 ton sampah per hari. Jumlah ini terlihat dari sampah yang masuk ke TPST Bantargebang sebanyak 6.271,5 ton. Sampah bertambah menjadi 7.223 ton sehari karena ada sampah kiriman dari kota-kota sekitar Jakarta yang terbawa arus 13 sungai yang membelah kota ini.

Di Bekasi, kota di timur Jakarta, usaha mengurangi sampah di hulu juga sebenarnya sudah ada. Di Bantargebang, misalnya, ada bank sampah Asoka yang menerima 700 kilogram sampah tiap pekan. Seperti Sekarwangi, mereka juga mengolah sampah organik menjadi pupuk untuk tanaman di teras penduduk atau ruang publik.

“Sampah plastik kita setor ke pemulung untuk dijual ke industri daur ulang,” kata Suprio, karyawan swasta, yang jadi pengurus Asoka.

Menurut Asep, jika semua RT di Jakarta memiliki bank sampah, dan semua penduduk memilah sampah sejak dari rumah, problem sampah anorganik sebetulnya bisa selesai. Asep menghitung jika sampah organik dan anorganik selesai di hulu, 77% sampah Jakarta tak perlu dikirim ke TPST Bantargebang.

“Bantargebang hanya menerima residu saja,” kata Asep.

Liputan ini bagian dari serial laporan khusus yang terbit di Forest Digest edisi April – Juni 2022 dengan judul Lega napas karena bank sampah dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

About the writer

Rama Maulana

Rama Maulana graduated from the Faculty of Forestry and Environment of IPB University in 2021. His interest lies in topics related to soil sciences, spatial planning, and watershed management. He now works...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.