Indonesia belum punya cetak biru mengelola sampah. PLTSa menjadi salah satu solusi jangka pendek dan menengah agar sampah tak bocor ke lingkungan.

PROBLEM sampah ini kompleks. Kita tidak bisa menyebut satu cara sebagai solusi keseluruhan. Problemnya juga berat. Tidak hanya Jakarta, tapi seluruh Indonesia. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) seperti Jakarta itu solusi di hilir. Dalam segitiga 3R, reduce (kurangi) itu yang utama. PLTSa itu recycle (daur ulang). Sampah itu seperti keran selang bocor. Dari pada mengelapnya mending matikan saja kerannya.

Masyarakat kita sebenarnya sudah tahu ada problem sampah dan solusinya 3R (reuse, reduce, recycle). Sebanyak 90% masyarakat yang terjangkau Internet tahu, tapi yang mau melakukannya hanya 70%, dan sudah melakukannya hanya 40%. Dari 2 orang yang kami tanya, hanya 1 yang memilah sampah dari rumah. Hanya 1 dari 3 yang mengompos sampah di rumah.

Mungkin karena anggapan kalau pun kita memilah sampah akan dicampur lagi oleh petugasnya karena metode pembuangan sampah kita open dumping, taruh sampah begitu saja. Saya duga karena industri pengolahan juga tidak siap. Hanya di Jawa saja. Itu pun industri daur ulang hanya untuk plastik air kemasan. Padahal sebagian besar sampah kita adalah sisa makanan.

Di luar Jawa, bukan mereka tidak mau mendaur ulang sampah, tapi fasilitasnya tidak ada. Ada NGO di Nusa Tenggara Timur harus mengirim 4-6 ton sampah plastik setiap bulan ke Surabaya untuk daur ulang. Di pulau kecil lebih sulit lagi. Boro-boro recyclingwaste management saja tidak ada.

Masalahnya, 60% plastik itu itu bernilai ekonomi rendah karena sekali pakai. Ketika daur ulang juga tak bernilai. Belum lagi kualitas mesin daur ulang belum 100% mengubah sampahnya, baru 70-80%, sisanya jadi panas. Jadi dari 1 kilogram plastik, yang bisa didaur ulang menjadi botol plastik hanya 800 gram. Ketika pembakaran, asapnya mengandung dioksin dan furan. Ini zat berbahaya yang bisa mengubah genetika manusia.

Untuk investasi jangka menengah sampai jangka pendek, PLTSa itu relatif bagus. Seperti Bantargebang itu kan sampahnya 50% lama dan sisanya baru. Dalam 25 tahun masih bagus bisa terus menghasilkan listrik. Karena ini sejalan dengan Peraturan Presiden 83/2018. Ada lima strategi menangani sampah: ada perubahan pola pikir, penanganan sampah dari darat , penanganan sampah dari laut, kelembagaan, dan strategi penelitian dan pengembangan

Dalam jangka pendek, kita bisa melakukan strategi kedua dan ketiga, penanganan sampah di darat dan laut. PLTSa menjadi salah satu solusi agar sampah tak bocor ke lingkungan. Untuk jangka menengah adalah strategi memperbaiki kelembagaan. Sebab, kait-kaitan antar lembaga juga penting.

Di luar Jawa, bukan mereka tidak mau mendaur ulang sampah, tapi fasilitasnya tidak ada. Ada NGO di Nusa Tenggara Timur harus mengirim 4-6 ton sampah plastik setiap bulan ke Surabaya untuk daur ulang. Di pulau kecil lebih sulit lagi. Boro-boro recycling, waste management saja tidak ada

Reza Cordova, peneliti sampah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Plastik itu sumber pajak dan devisa negara. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan ingin produksi plastik naik. Ini kan berbentruan dengan upaya reduce, yakni mengurangi sampah di hulu. Ini memang benang kusut kelembagaan dalam menangani sampah. Baru jangka panjang memperbaiki pola pikir pemerintah berhubungan dengan sampah.

Masalahnya, Perpres 83/2018 itu juga belum jadi cetak biru menangani sampah. Kita ingin mengurangi sampah plastik di laut 70% pada 2025, tapi industri menawar 2030. Ini memang belum sinkron. Belum lagi di daerah. Setelah otonomi, sampah urusan pemerintah daerah. Tapi sebelum mengurus sampah, pemerintah daerah tentu memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakatnya terlebih dahulu.

Dari 519 kabupaten dan kota kurang dari 10% pemerintah yang mengalokasikan anggaran pengelolaan lingkungan, termasuk sampah, lebih dari 2,5%. Jadi masih jauh. Kita seperti kejar-kejaran.

Tulisan berdasarkan wawancara dengan peneliti sampah Reza Cordova diatas merupakan bagian dari serial laporan khusus yang terbit di Forest Digest edisi April – Juni 2022 dengan judul Guyah Karena Runtah dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

About the writer

Rama Maulana

Rama Maulana graduated from the Faculty of Forestry and Environment of IPB University in 2021. His interest lies in topics related to soil sciences, spatial planning, and watershed management. He now works...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.