Pengurasan sumber daya ikan di laut lepas kerap berujung pada eksploitasi ABK, yang mengarah ke perbudakan modern. Ini kisah ABK asal Indonesia yang mengalaminya.

Tiba di Pelabuhan Suva, Fiji, 3 April 2019, mata Aldi berserobok dengan aktivitas pembongkaran ikan tuna dari kapal rawai (longline) Lu Rong Yuan Yu 788. Sebagai kapal penangkap ikan berskala industri, kapal tersebut memiliki kapasitas 474.00 GT dengan panjang 44 meter. Sama dengan kapal sejenis yang mempraktikkan teknik penangkapan ikan komersial, di mana ribuan tali kail dengan umpan dan kait dibentangkan ke laut untuk menangkap ikan.

Apa yang Aldi lihat pada saat itu adalah “pelajaran” pertama mengenai cara ikan tuna tangkapan dibongkar dari kapal.

“Yang penting saya dapat pekerjaan. Tak punya pengalaman bekerja di kapal penangkapan ikan,  apalagi yang mengarungi Samudera Pasifik,” kata lelaki bernama lengkap Pukaldi Sassuanto itu saat diwawancarai beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, dia menjadi petugas keamanan (satpam) di Riau.  Setelah setahun menganggur, seorang temannya menginformasikan pekerjaan di kapal penangkap ikan. Syaratnya mudah, diawali dengan membayar uang sponsor Rp 1,7 juta kepada seseorang bernama Putra dan menyiapkan dokumen pribadi.

Setelah itu, enam bulan lamanya dia tinggal di tempat penampungan PT JJS sebelum beroleh kabar adanya job di kapal longline tuna.

Putra itulah yang selanjutnya menghubungkan Aldi dengan PT Jangkar Jaya Samudera (PT JJS), agen pemasok ABK di Pemalang, Jawa Tengah. Semua dokumen persyaratannya sebagai ABK diurus PT tersebut.

“Seminggu menunggu di Pemalang, saya ‘disekolahkan’ ke Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang selama 3 hari untuk mendapatkan sertifikat BST (Basic Safety Training).  Mengurus paspor di imigrasi Pemalang dan medical check up di Tegal.” 

“Sebenarnya saya memilih kapal penangkap cumi, tapi adanya kapal tuna, ya sudah saya ambil. Berangkat dari Pemalang  ke Jakarta naik bus, dilanjutkan pesawat transit di Singapura hingga Fiji,” kenang Aldi.

Kapalnya mengangkat jangkar setelah selama tiga hari membongkar ikan tangkapan dan memenuhi kapal dengan  logistik yang diperlukan selama penangkapan tuna.

Pada hari ke-10 di atas Lu Rong Yuan Yu 788, kapten kapal memerintahkan Aldi berpindah ke Lu Rong Yuan Yu 758. Kapal yang akan segera berangkat menuju wilayah operasi tuna di Samudera Pasifik itu kekurangan ABK.

“Padahal di kartu identitas kerja, saya bekerja di Lu Rong Yuan Yu 788. Tapi katanya pemiliknya sama. Saat itu pindah dan langsung berangkat.”

Bersama 14 ABK lain dari Indonesia dan Thailand, Aldi menempuh 29 hari untuk sampai ke titik lokasi target operasi yang ditentukan kapten. Dua hari sebelum tiba di titik lokasi itulah Aldi baru belajar cara menangkap ikan dari wakil mandor. Dia mempelajari cara setting (proses penurunan pancing), cara memasang dan menekan snap pancing, hauling (penarikan tali pancing ke atas kapal), menggulung senar pancing, hingga melempar bola-bola pelampung yang terpasang pada ujung basket alat penangkap ikan.

Bukan ikan target

Para ABK di atas kapal penangkap tuna itu memulai pekerjaan memasang pancing pukul 05.00 hingga 11.00, dilanjutkan hauling pada pukul 14.00-03.00. Itu belum termasuk tugas lainnya. Dalam sehari, para ABK mengeluarkan 6.500 pancing. 

“Sampai lokasi langsung setting pancing dan umpan. Kalau ada ikan, mandor berteriak, ‘Ikan’, lalu tarik pancingnya. Tugas saya ambil pancing, snap, hauling dan gulung senar, juga memasukkan ikan ke storage dan palka. Pokoknya, cara kerjanya nggak masuk akal,”  jelas Aldi.

Ia lantas menirukan perintah mandor dengan bahasa Mandarin dan menunjukkan foto kedua tangannya melepuh dan kapalan setelah dua bulan bekerja. “Tangan sakit sekali, nggak bisa snap dengan satu tangan. Kayak gini semua tangan kami. Udah mati rasa.”

Ikan hasil tangkapan disimpan di storage dan dipilah sesuai jenisnya lalu dimasukkan ke dalam tiga palka (tempat penyimpanan ikan) bersuhu rendah. Palka tuna (sirip kuning), palka albakora, dan palka ikan rijek (reject).  Kapasitas palka besar untuk ikan target mencapai 100 ton, biasanya berada di tengah badan kapal. Palka lainnya ada di bagian depan dan belakang kapal yang bersi ikan rije dan logistik. Kapasitasnya antara 50-80 ton.

Ikan rijek adalah ikan hasil tangkapan selain target operasi ikan tuna sirip kuning dan albakora, seperti ikan tenggiri, lemadang, marlin, tongkol, dan ikan lain seukuran setengah lengan tangan, termasuk tuna ukuran kurang dari 15 kg. 

“Semua diambil, nggak hanya tuna (sirip kuning), albakora, ikan setan (gindara) yang ukuran paling besar 30 kg. Paling banyak jenis albakora. Sehari bisa 7-8 ton. Minimal dapatnya 1 ton.”

Tangkapan terbanyak terjadi pada “musim tuna”. Menurut Aldi, kapal-kapal pencari tuna berkelompok, berjejer, dan saling berkomunikasi. tak jarang ABK memperoleh ikan berukuran  besar yang membutuhkan usaha keras untuk menariknya.

“Saya pernah dapat tuna paling besar seberat 115 kg,  butuh setengah jam untuk mengangkatnya. Ada teman ABK dapat ukuran 200 kg sampai nggak muat masuk pintu,” cerita Aldi.

Thamrin, ABK asal Brebes, Jawa Tengah, yang pernah bekerja di kapal tuna Daesung 216 di wilayah operasi Samudera Hindia, punya pengalaman serupa. Dia bisa menarik hingga 500-an ekor tuna dengan berat masing-masing antara 30 kg hingga 50 kg.

“Targetnya sih tuna, tapi ikan lain juga diambil. Ada albakora, ikan tomo, tongkol, tengiri, marlin, meca,  ikan-ikan ukuran sedang berberat 5 kg. Semua itu jadi ikan rijek,” cerita Thamrin.

Tak hanya itu, ikan hiu yang memakan umpan pancingnya tetap ditangkap. “Hiu dipotong siripnya. Dagingnya dibuang ke laut. Sehari bisa dapat 1-3 ekor hiu. Semua kapal rata-rata begitu. Yang penting hindari perbatasan karena ada patroli.”

Eksploitasi manusia dan sumber daya ikan didominasi armada China

Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destruction Fishing Watch mengatakan, eksploitasi kerja dalam aktivitas penangkapan ikan di kapal ikan jarak jauh yang dialami para ABK Indonesia sangat berkaitan dengan eksploitasi sumber daya ikan melalui aktivitas Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Diatur, dan Tidak Dilaporkan.

Kapal-kapal China yang melakukan penangkapan lintas negara dan di wilayah perairan internasional kerap melakukan eksploitasi tersebut.

Modusnya mematikan satelit AIS (The Automatic Identification System) , tidak memiliki izin, mencuri ikan di negara-negara yang penegakan hukum maritimnya tidak kuat.

“Dari situ, kapal-kapal ini bebas beraktivitas melakukan penangkapan ikan dan tidak melaporkan hasil tangkapannya secara patuh dan jujur. Kadang tak berizin atau dokumennya bermasalah. Kalau punya izin, mereka mematikan AIS sehingga lokasinya tidak bisa dipantau otoritas,” jelas Abdi.

Kapal-kapal itu juga menangkap ikan bukan target tangkapan, termasuk spesies yang dilindungi dan terancam punah seperti hiu, paus, lumba-lumba, penyu dan anjing laut.

“Bagi mereka, itu sebagai tangkapan sampingan,” tambah Abdi,  “Dan pengerukan sumber daya ikan tanpa batas dan tanpa data resmi itu terjadi setiap hari.”

Dari pengakuan Aldi, ABK di kapal China, di wilayah Fiji saja terdapat 10 armada China yang beroperasi di Samudera Pasifik..

“Kapten kapal mengatakan, Lu Rong Yuan Yu punya banyak kapal banyak. Longline tuna saja ada 80, kapal cumi jumlahnya lebih banyak, dan belum lagi jenis lain. Pemiliknya masih satu kerabat dengan perusahaan kapal lain.“

Pengerukan tuna paling banyak memang berada di wilayah Samudera Pasifik. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), organisasi antarnegara yang mengoordinasikan peraturan dan pengelolaan tuna di wilayah Pasifik yang menjadi bagian dari Regional Fisheries Management Organizations (RFMO), mencatat bahwa pada 2019 total tangkapan tuna mencapai rekor 2.961.059 ton. 81% dari total tangkapan tuna berasal Samudra Pasifik. Tangkapan di wilayah ini mencapai 55% dari jumlah tangkapan tuna global.

Kapal tuna di wilayah Pasifik didominasi armada China. Sebelumnya, wilayah Pasifik Barat didominasi armada penangkap tuna dari Amerika Serikat dan Jepang. Tapi sejak dua dekade lalu, China memperluas area tangkapan ke wilayah Pasifik yang menjadi wilayah penangkapan ikan paling subur di dunia dengan mengoperasikan kapal penangkap ikan jenis longline dan pukat cincin. Sejak 2012, armada penangkapan ikan China di wilayah Samudera Pasifik tumbuh lebih dari 500%. Jumlahnya lebih dari seperempat dari total kapal ikan dari negara lain yang beroperasi di wilayah itu.

Menyuburkan industri penangkapan ikan gila-gilaan

Tak hanya “mengeruk” ikan target dan non-target, membongkar ikan di tengah laut ke kapal pengangkut juga kerap dilakukan kapal-kapal penangkap ikan, termasuk Lu Rong Yuan Yu 758.

Selama 10 bulan di kapal itu, Aldi menjadi saksi dua kali pemindahan ikan hasil tangkapan ke kapal pengangkut ikan (transshipment) di tengah laut. 

“Bila akan didatangi kapal kolekting yang ukurannya lebih besar, kami harus standby  pukul 05.00. Ikan tuna dan albakora dipindah dari pukul 08.00 hingga 22.00 dengan mengunakan crane,” tuturnya.

Global Fishing Watch dalam laporan Revealing the Supply Chain at Sea,  2021, menyebut, aktivitas transshipment efektif dan menguntungkan kapal penangkap ikan. Tak harus bersauh ke dermaga pembongkaran ikan, kapal-kapal itu bisa kembali melakukan penangkapan karena semua muatan dipindah ke kapal pengangkut. 

Perpindahan ikan hasil tangkapan di tengah laut juga dilakukan antar armada kapal ikan. Ini dilakukan  Lu Rong Yuan Yu 758 di akhir Januari 2021. Tak ingin pulang dengan “tangan kosong” sehingga menjadi kapal kolekting dadakan. 

Aldi menceritakan proses bongkaran ikan dilakukan dengan memindahkan ikan hasil tangkapan menggunakan sampan. “Bongkaran bisa sampai seminggu. Mindahin ikan dari kapal ke sampan dan menaikkan ke kapal lagi. Sampan pernah oleng karena diisi ikan tuna sampai 20 ton.”

Transshipment menyuburkan kejahatan perikanan melalui praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Kapal-kapal yang mungkin terhalang akses ke pelabuhan karena persoalan ketiadaan atau ketidaklengkapan dokumen justru dapat menurunkan tangkapannya di laut. Situasi itu memungkinkan ikan yang ditangkap secara ilegal bercampur dengan tangkapan yang sah. 

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan terjadi IUU fishing sebesar 11-26 juta ton ikan per tahun, dengan nilai antara 10-23 miliar dolar Amerika.

Alhasil para kru kapal termasuk ABK berada di tengah-tengah laut selama bertahun-tahun. Dan tak diberi kesempatan berlabuh.

Tak hanya hasil ikan yang berpindah. Di tengah laut, Aldi juga dipindahkan lagi di kapal tuna Lu Rong Yuan Yu 558. Target operasi kapal 432 GT dengan panjang 41 meter dan mampu penampung ikan hingga 130 ton juga di wilayah pasifik.

“Seharusnya kami sandar ke Fiji dan mendapat bonus ikan tangkapan dari kapten. Tapi pandemi, kapten pilih kembali ke China dan saya dipindahkan ke kapal lain. Tidak diajak pulang karena kontrak belum habis,” kenang Aldi.

Di kapal ini, Aldi bekerja selama satu tahun dengan pola kerja yang sama dengan kapal-kapal sebelumnya.

Aldi mengaku, empat kali berpindah kapal hingga melebihi dua tahun masa kontrak kerjanya. Yang terakhir Aldi “dipaksa” pindah ke kapal  Lu Rong Yuan Yu 768. Alasannya lagi-lagi karena kontrak belum selesai. Di kapal keempat, Aldi dipekerjakan hingga 6 bulan.

“Saya bersiap ikut Lu Rong Yuan Yu 558 pulang ke China, tapi dipaksa pindah kapal dan dilarang pulang. Saya protes karena dua bulan lagi selesai kontrak. Katanya “Kamu belum finish. Nggak apa-apa nggak pulang, nanti uangnya lebih banyak,” Aldi menirukan perkataan kapten dengan bahasa Mandarin.

Dari data Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Kapal Lu Rong Yuan Yu 788, Lu Rong Yuan Yu 758, dan Lu Rong Yuan Yu 768 terdaftar sebagai kapal longline milik Rongcheng City RongYuan Fishery Co.,ltd, dengan izin tangkapan Albakora Selatan.

Kapal 474GT dengan 18 kru mempunyai 8 kapasitas pembekuan, dan kapasitas penampungan ikan hingga 563 ton. Namun periode otentikasi kapal ini tercatat dari 1 Apr 2022 - 31 Mar 2027.

Hasil tangkapan dari perusahaan dengan total nilai perdagangan mencapai 2.355.799 dolar AS ini dipasok ke Jepang (74,2%), China (19,4%), Argentina (3,2%), dan Uruguay (3,2%).

Sedangkan kapal Lu Rong Yuan Yu 558,  tercatat milik Shandong shawodao ocean fishery co., ltd. Satu kepemilikan dengan Kapal Lu Rong Yuan Yu 559 yang pernah memulangkan Bahar Rahmat, ABK asal Cianjur, Jawa Barat, yang meninggal karena sakit setelah 10 bulan bekerja, pada November 2020 .

Mendorong sanksi tegas tapi praktiknya susah

Ekploitasi besar-besaran tak bisa dibiarkan. Menurut Koordinator Nasional Destruction Fishing Watch, Moh Abdi Suhufan, negara pemilik kapal ikan yang tak patuh harus dikenai sanksi tegas dan keras. Tapi realisasinya tak mudah karena data perikanan di tiap negara berbeda.  

“Ada yang  jujur lapor, ada yang setengah-setengah, ada juga yang tidak pernah lapor. Sistem pendataan ini harus  diperbaiki sehingga data mendekati keakuratan untuk mengetahui di level apa status kondisi sumber daya ikan ini,” tandas Abdi.

Dalam konteks perlindungan dan pelestarian ekosistem laut, Destruction Fishing Watch mendorong lembaga internasional yang fokus pada konservasi dan pengelolaan sumber daya laut, untuk menekan negara-negara yang terindikasi melakukan pelanggaran.

“Sumber daya laut mengalami degradasi. Ini bisa jadi acuan bagi negara-negara untuk mengawasi armada penangkapan ikan,” lanjutnya.

Sementara itu, hasil penelitian Environmental Justice Foundation (EJF) selama 4 tahun terakhir terhadap aktivitas 38 armada perikanan milik China dan 100 lebih anak buah kapal mengungkap sejumlah temuan. Selain pelanggaran hak asasi manusia, kapal China juga secara ekstensif terlibat dalam praktik IUU Fishing dengan tidak patuh dalam pelaporan data tangkapan. Juga sengaja memanipulasi dokumen dengan menyamarkan kepemilikan kapal  untuk menghindari regulasi.

Penelitian menunjukkan 93%  kru kapal menyaksikan beberapa bentuk penangkapan ikan ilegal dan menangkap hiu bersirip secara ilegal di kapal. Sepertiga responden melaporkan, spesies  dilindungi seperti hiu dan anjing laut ditangkap dan dibunuh di kapal. Sekitar seperlima responden mengatakan, lumba-lumba secara rutin dibunuh untuk digunakan sebagai umpan hiu.

“Eksploitasi tenaga kerja terungkap dari pengakuan 58 kru kapal yang menyaksikan atau mengalami kekerasan fisik, 85 melaporkan kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal. Sedangkan 97 kru yang diwawancara mengalami  jeratan utang dan dokumen pribadi disita,” ungkap Steve Trent, pendiri dan CEO Environmental Justice Foundation dalam Webinar with global experts: China's distant-water fishing fleet, 4 Mei 2022.

Di kesempatan yang sama, Paul Chou, Direktur Senior Kebijakan Global Oceana membenarkan hal tersebut dengan mengungkap hasil riset terbaru lembaganya yang berfokus pada konservasi laut.

Menurutnya, China sebagai penyedia perikanan terbesar di dunia telah mempraktikkan tata kelola perikanan yang buruk dan tidak transparan melalui mekanisme subsidi perikanan. Nilainya diperkirakan mencapai 7,3 miliar dolar AS melalui subsidi bahan bakar, konstruksi kapal, infrastruktur pelabuhan, perlengkapan dan peralatan logistik. Ini yang memungkinkan kapal ikan beroperasi lebih lama dan lebih jauh

“Untuk menopang bisnis perikanan jarak jauh yang sebagian besar sebenarnya tidak menguntungkan. Diperkirakan dari 2.700 kapal hingga 17 ribu kapal dapat melintas di perairan lebih dari 80 negara dan di laut lepas, serta memungkinkan beroperasi dengan impunitas,” jelas Paul Chou.

Secara spesifik, Paul mencontohkan pada tahun 2019 perusahaan perikanan terbesar mendapat subsidi 10 juta dolar AS, sedangkan keuntungan yang dihasilkan hanya 3 juta dolar AS. Contoh lain, perusahaan perikanan terbesar kedua menerima subsidi hampir 30%  saat membuat kapal penangkap ikan. Pemilik kapal juga difasilitasi pinjaman bunga rendah.

Lebih lanjut pihaknya berharap ada kesepakatan global yang menyasar China untuk membatasi dan mengakhiri subsidi perikanan yang berbahaya pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) pada  Juni 2022 di Jenewa.

Lepas tanggung jawab

Buruknya bisnis perikanan di China berdampak global pada keseimbangan ekosistem laut dan industri perikanan dunia. Termasuk para anak buah kapal yang sebagian besar direkrut dari Indonesia.

Seperti Aldi, yang 2,5 tahun bekerja di atas kapal China. Dia bahkan sempat kesulitan untuk pulang kembali ke Indonesia dan diombang-ambingkan dengan informasi yang tidak jelas.

“Katanya pulang lewat Korea, tapi nggak bisa. Kapten bilang lewat China saja. Sampai China juga tidak diizinkan masuk pelabuhan. Mungkin kapalnya ilegal,” kata Aldi.

Di perairan China, Aldi dititipkan di kapal Lu Rong tujuan Somalia yang akan bersandar di Singapura. Lalu diberi tiket pesawat tujuan Jakarta.

Ternyata isi kartu ATM nol rupiah, nggak ada pengiriman sama sekali. Lemas dan shock.

Aldi, mantan ABK kapal ikan China

Aldi membayangkan mendapat penghasilan Rp150 juta lebih. Dihitung dari gaji yang dikurangi potongan hutang 800 dollar AS untuk akomodasi dan dokumen ketika pemberangkatan, pengembalian uang jaminan kontrak kerja senilai 1.000 dollar AS dan bonus ikan dari kapten yang dihitung dari hasil tangkapan tuna. Jumlahnya 600 dolar AS/ton untuk dibagi 15 kru kapal yang diberikan saat bersandar. Tapi selama bekerja, Aldi tidak pernah menginjak daratan sekalipun.

“Uang bonus tidak pernah diberikan. Ternyata isi kartu ATM nol rupiah, nggak ada pengiriman sama sekali. Lemas dan shock,” kenang Aldi.

Laporan SBMI dan Greenpeace Asia Tenggara, “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut”(2020), 34 anak buah kapal asal Indonesia di 13 kapal asing mengalami perbudakan modern di laut lepas. Kapal-kapal itu adalah Fu Yuan Yu 054, Fu Yuan Yu 055, Fu Yuan Yu 056, Han Tong 1115/ Han Tong 112, Lu Rong Yuan Yu, Zong Da, Han Rong 353, Shin Jaan Shin, Da Wang, Lien Yi Hsing 12, Fwu Maan 88, Fu Yuan Yu 062, dan Chin Chun 12.

Sementara, berdasarkan pengaduan yang diterima SBMI, sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2020 tercatat 11 ABK asal Indonesia meninggal di atas kapal ikan asing. Dua diantaranya diberangkatkan oleh PT Jangkar Jaya Samudera (PT JJS), agen yang memberangkatkan Aldi.

Ikan hasil tangkapan Aldi bisa jadi telah dipasok ke pasar ikan global. Bahkan mungkin saja sudah masuk restoran mahal dan disantap para penikmat sashimi. Namun Aldi hingga kini masih memperjuangkan gaji dari PT JJS. Perusahaan agen pemasok ABK yang ternyata tidak terdaftar dalam Indonesia Maritim Crewing Agent Asociacion (IMCAA) dan tak memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan.

Agen ini  “lenyap” di awal tahun 2022. Sedangkan pimpinannya mendirikan perusahaan agensi baru bernama PT Dua Jaya Samudera.

Untuk memperjuangkan nasibnya, Aldi bersama dua mantan ABK lainnya, didampingi SBMI dan Greenpeace Indonesia, mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (31/5/2022).

Gugatan ini menuntut Presiden Republik Indonesia segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan sebagai amanat dari Pasal 64 dan Pasal 90 UUNo. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Ini upaya hukum lanjutan karena surat keberatan administratif yang disampaikan kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara RI pada 7 April lalu tidak ada respons," jelas Viktor Santoso Tandiasa, pengacara ABK dalam keterangan persnya setelah menyerahkan gugatan ke PTUN.

Di sela-sela penantian gugatan tersebut, Aldi menjadi buruh harian lepas di kapal ikan teri.

Liputan mendalam ini merupakan bagian dari program pelatihan dan fellowship liputan mendalam praktik perbudakan pekerja migran Indonesia di kapal asing atas kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang dan Greenpeace Indonesia.

About the writer

Before becoming a freelance journalist, Noni worked as a correspondent for Radio Deutsche Welle Germany, Radio News Agency (KBR), Suara Merdeka Daily, News Anchor and Producer of Radio Elshinta. Noni is...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.