Pemerintah Kota Kendari dinilai tebang pilih dalam menegakkan Peraturan Daerah RTRW, yang menguntungkan pebisnis dan berdampak pada kerugian negara miliaran rupiah.

Lahan sekitar setengah hektare itu persis di sempadan ujung sungai terbesar yang bermuara di Teluk Kendari. Menyusuri jalan timbunan di antara tambak-tambak, berjarak sekitar 250 meter dari Jalan ZA Sugianto, Kelurahan Korumba, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. 

Di atas tanah timbunan ini berdiri beberapa bangunan permanen restoran dan gazebo pada sempadan sungai yang ditumbuhi vegetasi mangrove. Dari sini terlihat jelas pemandangan panorama teluk yang indah, namun sama sekali tidak terlihat pengunjung.

Restoran bernama Rumah Makan Kampung Mangrove tersebut telah tutup. Pemiliknya, Sitti Hasna Demmangasing, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada November 2021. Sitti Hasnah diduga melanggar kawasan tata ruang di kawasan hutan kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Kami mendatangi bangunan itu untuk meminta konfirmasi dari pemilik restoran terkait dugaan pelanggaran kawasan yang dituduhkan. Namun, seseorang yang tinggal di bangunan utama mengatakan bahwa Sitti Hasnah sedang berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Supriadi, kuasa hukum Sitti Hasnah, juga tidak menanggapi permintaan komentar tentang penetapan kliennya sebagai tersangka.

Sebelumnya, pada Februari 2021, Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari melaporkan Hasna ke ATR/BPN karena tuduhan melanggar tata ruang. Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS di Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Ipda M. Arsyad mengatakan bahwa status tersangka pemilik RM Kampung Mangrove ditetapkan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkup Kementerian ATR/BPN

“Jadi yang tetapkan itu PPNS dari Kementerian ATR,” Kata Arsyad, saat ditemui di ruang kerjanya. Ia melanjutkan, “Itu kan mungkin ada aduan di pusat, jadi diambil alih pusat. Sudah beberapa kali turun. Pertama, dirjen dulu beberapa kali menegur. Kan menegur dulu, tidak langsung menetapkan (tersangka).”

Arsyad tidak bisa memberi komentar banyak, karena persoalan tersebut menjadi ranah pemerintah pusat. Sementara pihak PPNS Kementerian ATR/BPN menolak memberi keterangan saat dikonfirmasi mengenai penetapan tersangka Siti Hasna dan perkembangan penanganan pelanggaran yang dilakukannya.

Rupanya, bukan hanya RM Kampung Mangrove yang melanggar aturan dengan menjalankan usaha serupa di atas luas lahan 102,84 hektare yang kini berstatus Zona Rimba Kota. Status tersebut ditetapkan Wali Kota Kendari, Sulkarnain Kadir, dalam Rancangan Detail Tata Ruang (Ranperda RDTR) Bagian Wilayah Perencanaan I Central Business District (CBD) Teluk Kendari, pada Juni 2021.

Walau demikian, masih ada bangunan usaha yang berdiri di kawasan tersebut, menunjukkan pengelolaan hutan pantai yang tersisa di Teluk Kendari semakin sengkarut. Pemerintah setempat pun dinilai tidak tegas menegakkan aturan.

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kendari, LM Rajab Jinik menuduh Pemkot Kendari tebang pilih dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2010-2030. Dalam Perda itu, area yang dimaksud Rajab merupakan RTH Zona Hijau.

Tidak boleh ada kegiatan perdagangan dan jasa pada zona tersebut, meskipun pemilik lahan mengantongi sertifikat dari Dinas Pertanahan Kota setempat. Hasil pemantauan Rajab di lokasi, masih banyak terlihat aktivitas perdagangan dan jasa yang belum ditertibkan di zona tersebut.

Mengenai polemik tersebut, Sulkarnain berdalih jika pemerintahan di bawah kepemimpinannya tidak mempunyai kewenangan  menerbitkan izin mendirikan bangunan. “Kewenangan pemerintah kabupaten/kota itu nol mil laut. Artinya, begitu ketemu laut dan daratan (kewenangan) itu berhenti. Itu nanti kewenangan berlapis berapa jauh, itu nanti kewenangan provinsi dan pemerintah pusat,” terang sang Wali Kota.

Sulkarnain menambahkan, Pemkot Kendari hanya menjalankan fungsi pengawasan terhadap sejumlah aktivitas dan pembangunan yang terjadi di sekitar Teluk Kendari. Pihaknya, melalui kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), bisa melaporkan segala bentuk pelanggaran kepada pihak yang berwenang memberikan sanksi.  

Bagi Rajab, justru Dinas PUPR yang dinilai melakukan kesalahan. Mereka tidak tegas menegakkan Perda RTRW Kota Kendari dengan melakukan pembiaran terhadap menjamurnya aktivitas perdagangan dan jasa di Zona Hijau.

“Apa yang dilakukan di Teluk Kendari semuanya salah, karena apa yang ada dalam perda itu kawasan serapan sungai, hutan lindung,” tegas Rajab.

Baginya, tindakan tebang pilih dan pembiaran oleh PUPR berdampak pada kerugian negara miliaran rupiah karena tidak ada pajak IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang dibayarkan oleh pemilik usaha ke pemerintah. “IMB mereka bayar di mana? Karena tidak ada sama sekali izin di sana. Kalau kita menelisik, kerugiaan negara miliaran,” jelas Rajab.

Rajab mengungkapkan, berdasarkan data DPRD Kota kendari, Dinas Pertanahan Kota Kendari hanya menerbitkan 27 sertifikat kepemilikan tanah di kawasan zona hijau. Namun belum ada data pasti mengenai berapa banyak aktivitas perdagangan dan jasa di sepanjang kawasan tersebut.

Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kendari, Seko Kaimuddin Haris, mengungkapkan bahwa permasalahan pembangunan di sekitar wilayah teluk telah berlangsung sejak awal tahun 2000-an sampai  2017. “Banyak pelanggaran di situ,” kata Seko, merujuk pada wilayah peruntukan RTH. “Tidak satupun yang mengantongi izin mendirikan bangunan.”

Seko beralasan, pada masa itu Pemkot Kendari belum membuat RDTR, sehingga belum ada izin pembangunan dengan aturan ketat yang bisa mengatur warga pemilik lahan. Akibatnya, warga bebas mendirikan bangunan.

“RDTR ini terbit bulan Juli tahun 2021 dalam bentuk peraturan kepala daerah. Beberapa bulan kemudian kita sosialisasikan sampai dengan sekarang ini. Kita menyampaikan, karena tidak bisa juga serta-merta (membongkar) karena itu (sejumlah bangunan warga) sudah eksisting. Kita hargai haknya mereka,” katanya.

Namun Seko mengakui bahwa sampai sekarang pihaknya belum memiliki data lengkap luas kawasan Teluk Kendari yang bermasalah dan belum memiliki izin. Katanya, sejak resmi bernaung di PUPR pada tahun 2017, Tata Ruang Kota masih sebatas mengidentifikasi bangunan-bangunan usaha yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan di zona hijau.

Beberapa dari pemilik bangunan telah ditegur untuk menghentikan aktivitas pembangunan fisik. Tetapi teguran itu tidak sepenuhnya dipatuhi.  “Pokoknya salah satu pelanggaran dasar itu tidak ada izin untuk membangun,” kata Seko.

Perda RTRW tidak punya daya ikat

Selain Rajab, pakar hukum lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO), Sahrina Safiuddin, menyebutkan bahwa pengembangan wilayah teluk yang dilakukan Pemkot Kendari selama ini banyak yang menyalahi aturan tata ruang. Sahrinan mengungkapkan, “Dari sejak saya di sini (mengajar) sudah ada yang tulis tentang itu, di-bypass sampai pelanggaran terakhir juga jauh ke reklamasi di seputaran teluk”. Alasannya, “karena memang tidak sesuai peruntukkannya.”

Sahrina menilai, Pemkot Kendari melonggarkan aturan yang bersifat mengikat demi tujuan pembangunan, termasuk pendapatan. Menurutnya, produk hukum yang ada di kawasan teluk selama ini “hanya punya daya laku, tidak punya daya ikat.”

Sahrina menduga ada korupsi di balik tindakan pembiaran oleh Tata Ruang Kota Kendari. “Kalau dia sebagai sistem, indikasinya ada. Mungkin korupsi terjemahan bebasnya. Kalau korupsi itu bahwa melewati porsinya atau mengambil yang bukan porsinya, ya di antaranya penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.

Sementara, peneliti lingkungan pesisir UHO, Irfan Ido, mengatakan tindakan pemerintah tidak berpedoman pada RTRW 2010-2030. Hasil riset Irfan, yang dituangkan dalam laporan berjudul “Analisis Pemanfaatan Ruang Pesisir Terhadap Kondisi Luas dan Kerapatan Vegetasi Hutan Mangrove di Teluk Kendari” (2019), menemukan bahwa luas mangrove di Teluk Kendari menyusut 37,8 hektare dalam rentang waktu tahun 2003-2017. 

Irfan menuliskan bahwa ketidakjelasan hukum, perbedaan penafsiran, dan perbedaan kepentingan menyebabkan masuknya aktivitas pembangunan perumahan, pertambakan, reklamasi, dan perkebunan pada area konservasi hijau. Kemungkinan pelanggaran Tata Ruang telah terjadi.

Sedangkan, pemetaan satelit mapbiomas merekam luas hutan mangrove di Teluk Kendari berkurang sekitar 27 ha pada rentang waktu tahun 2012-2019.  Data tersebut, menurut peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sulawesi Tenggara, Kisran Makati, menunjukkan bahwa Pemkot Kendari saat ini masih membuka ruang untuk melegalkan kesalahan pemerintah di masa lalu dengan melakukan pembiaran terhadap pembangunan di kawasan RTH.

Kisran melihat ada “indikasi korupsi” yang mengatasnamakan pembangunan dan pengembangan wilayah perkotaan selama beberapa pergantian masa pemerintahan.

“Tentu kita paham bahwa pemerintah kota membuat program yang bisa mengeluarkan paket-paket proyek. Apalagi kalau paket proyeknya itu besar, bisa berbasis fee proyek. Semakin besar nilai proyek maka semakin besar pula fee proyek, bisa jadi modus korupsi,” ujarnya.

Menurut Sahrina, aturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat dipertanyakan atau digugat. ”Undang-undang lingkungan itu ada ruangnya untuk diuji, salah satunya melalui citizen lawsuit,” ujarnya.

Citizen lawsuit merupakan upaya warga negara untuk mengajukan gugatan ke pengadilan untuk dan atas nama kepentingan warga negara dan/atau kepentingan publik yang bertujuan untuk melindungi kepentingan warga negara atas terjadinya kerugian yang ditimbulkan oleh Penyelenggara Negara.

Rajab membeberkan, pada Januari lalu Kementerian ATR/BPN telah menetapkan terjadi 17 pelanggaran di Teluk Kendari. Dari 17 pelanggaran itu, baru 2 pelanggaran yang dieksekusi, yaitu bangunan usaha Warung Kopi Haji Anto dan Rumah Makan Kampung Mangrove. Informasi ini diperoleh Rajab dalam kunjungannya ke Kementerian ATR pada Januari 2022 untuk mempertanyakan perkembangan pelanggaran di Zona Hijau.

Kata Rajab, “Untuk hari ini yang diuntungkan adalah pebisnis … pemilik usaha, karena jelas-jelas salah, berusaha di tempat yang salah.” Ia menegaskan bahwa DPRD Kota Kendari akan terus mengawasi persoalan ini.

Liputan investigasi ini merupakan bagian dari program pelatihan liputan investigasi korupsi di sektor lingkungan dan sumber daya alam atas kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Kemitraan.

About the writer

Riza Salman is a freelance journalist and documentary filmmaker who focuses on reporting on environmental, social and cultural issues. He started his career as a television journalist in 2008. In 2018...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.