Dugong berperan penting dalam ekosistem laut, terutama di padang lamun. Oleh karena itu keberadaannya mesti dijaga agar tak punah seperti di China.

Dugong (Dugong dugon) adalah perempuan laut. Meski terdapat kepercayaan tentang merman (duyung jantan), namun mitos dan cerita rakyat mermaid (putri duyung) menjadi cerita yang bertahan dan mendominasi di banyak negara.

Di Indonesia, kepercayaan tentang dugong merujuk pada karakter perempuan-setengah ikan. Bedanya, dugong tidak berasal dari lingkaran dewa atau dewi. Ia adalah perempuan yang pergi dari rumah untuk mengubah dirinya menjadi makhluk laut.

Banyak kisah soal putri duyung yang beredar di pelosok Nusantara. Beberapa peneliti mencoba menelusuri kisah tersebut, seperti bisa dicermati dalam buku “Orang Bajo: Suku Pengembara Laut – Pengalaman Seorang Antropolog” (2008) karya antropolog Prancis, Francois-Robert Zacot. Pun, publikasi penelitian Abigail Moore, dkk., yang bertajuk “‘The Lost Princess (Putri Duyung)’ of the Small Islands: Dugongs around Sulawesi in the Anthropocene“.

Di dunia nyata, dugong masuk kategorikan mamalia. Ia tergolong dalam Ordo Sirenia, dengan ciri khas: seluruh hidupnya berada dalam air, makanan utamanya adalah tumbuhan, berbadan besar, berbentuk seperti ikan tetapi dengan ekor yang pipih mendatar, tidak mempunyai kaki belakang, kaki depan telah mengalami modifikasi sebagai sirip, kemudian betinanya mempunyai kelenjar susu (masing-masing di ketiak sirip).

Suaranya, yang dianggap aneh dan menyeramkan, sebenarnya merupakan ungkapan perasaannya terkait kondisi lingkungan. Ia akan mengeluarkan suara ketika mengidentifikasi keberadaan individu lain ataupun menunjukkan keberadaannya sendiri (chirp), memperingatkan atau menandai adanya serangan (barks), serta mengindikasikan tindakan yang tidak agresif (trills).

Spesies ini menjadikan lamun (seagrass) sebagai pakan utamanya. Keberadaan dugong turut berkontribusi menjaga keseimbangan dan kesehatan tumbuhan tersebut. Bahkan, menurut Sekar Mira, Peneliti Mamalia Laut di Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lamun yang dikonsumsi dugong punya kemampuan tumbuh dan subur lebih cepat.

Efek lanjutannya, kelestarian lamun akan menjaga perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang menjadikannya sebagai tempat berlindung, mencari makan, bertelur dan membesarkan anak. Selain itu, seperti halnya mangrove, kelestarian lamun juga berkontribusi pada penyerapan karbon, yang kemampuannya diperkirakan 3-5 kali lebih besar dari vegetasi daratan.

Proses ekskresi yang dilakukan dugong juga dipercaya berkontribusi mengasingkan karbon. Dugaan sementara itu termuat dalam riset Sekar Mira yang akan berfokus pada “Peran Dugong dalam Siklus Karbon Biru”.

“Semoga dengan studi ini kita bisa kalkulasi, seperti apa perannya, itu harus dihitung semua,” ujarnya kepada Ekuatorial, Kamis (15/9/2022).

Ancaman kepunahan dan perlindungan

Faktanya, dugong tidak sesakti atau seseram narasi dalam mitos dan cerita rakyat. Keberlanjutan hidupnya terancam oleh faktor-faktor alami maupun antropogenik. Sejak 6.000 tahun lalu, Marsh dan Sobtzick menyebut, orang-orang di Akab, sebuah pulau kecil di Uni Emirat Arab, telah memburu spesies ini untuk dijadikan bahan konsumsi.

Mistifikasi, kemudian, mendorong eksploitasi sebagian atau seluruh bagian tubuh dugong. Sejumlah komunitas masyarakat percaya bahwa air mata dugong berguna sebagai pemikat cinta; kemudian gigi, terutama taringnya, digunakan sebagai jimat untuk mengusir roh jahat. Sementara, dagingnya dikonsumsi karena disebut lebih lezat dari daging sapi dan kambing namun harganya lebih terjangkau.

Selain perburuan, dugong juga terancam oleh cuaca ekstrem, angin topan, badai siklon, serta hiu, predator alaminya. Belum lagi persoalan terjerat alat tangkap, tertabrak perahu atau kapal, tangkapan tidak disengaja, pencemaran laut, hingga degradasi lamun akibat pembangunan di pesisir.

Ancaman alami dan antropogenik tadi menyebabkan beberapa wilayah perairan dunia menghapus keberadaan dugong dari peta sebaran spesies. Marsh dan Sobtzick merinci wilayah-wilayah tersebut di antaranya Maladewa, Kepulauan Lakshadweep, Kepulauan Mascarenhas dan Rodrigues, serta Taiwan.

Mereka juga membuat penilaian regional dengan kategorisasi hampir terancam di Australia, terancam punah (sub-benua India, Kepulauan Andaman, Nicobar dan Asia Tenggara), serta sangat terancam punah (Palau dan Jepang). Beberapa wilayah lainnya dikategorikan kekurangan data, yakni Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Arab, kepulauan bagian timur dan tenggara Asia serta kepulauan di bagian barat Pasifik.

Kerentanan dugong terhadap kepunahan turut dipengaruhi rentang umur yang terbilang panjang, namun tingkat reproduksinya lambat. Spesies yang juga dikenal dengan nama sapi laut ini dapat mencapai usia hingga 70 tahun. Ia dikategorikan dewasa atau cukup untuk kawin pada usia 10-17 tahun, mengandung selama 13-15 bulan. Dan, bisa kembali melahirkan dalam rentang 2,5-5 tahun untuk melahirkan 1 individu baru.

“Jadi, 1 siklus untuk menghasilkan dugong itu 10 tahun untuk 1 individu. Hanya 1 ekor tiap melahirkan,” kata Sekar Mira.

Riset terbaru menyatakan dugong telah mengalami kepunahan di Laut China Selatan. Lima peneliti gabungan dari Chinese Academy of Sciences, Zoological Society of London dan Aristotle University Greece membangun kesimpulan tersebut karena dalam 20 tahun terakhir, nelayan setempat nyaris tidak lagi menjumpai spesies ini.

Dalam laporan berjudul Functional Extinction of Dugongs in China, didapati dari 12% responden yang mengenali gambar dugong hanya 5% yang melaporkan perjumpaan, dengan rentang waktu antara 23-24 tahun lalu. Kemudian, secara keseluruhan, hanya tiga responden yang menyaksikan dugong dalam 5 tahun terakhir.

“Seturut analisis data historis, setelah tahun 2008, tidak ada dokumentasi dugong yang dipublikasi di China. Dan, setelah tahun 2000, tidak ada pengamatan lapangan yang bisa diverifikasi,” demikian di laporkan dalam jurnal Royal Society Open Science, Rabu (24/8/2022).

Penilaian negatif itu diperkuat fakta bahwa dua dari tiga kemungkinan perjumpaan dengan dugong yang dilaporkan berasal dari Shantou, di timur Provinsi Guangdong, yang secara geografis jauh dari sejarah persebaran dugong dan tidak memiliki padang lamun.

“Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa populasi dugong yang tersisa dapat bertahan di bagian utara Laut China Selatan. Spesies tersebut kemungkinan besar punah secara fungsional,” masih menurut laporan tersebut.

Akbar A Digdo, CEO Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka) menilai, laporan kepunahan dugong di China dapat menjadi dorongan untuk memperkuat riset dan program-program perlindungan di Indonesia. Dari sisi riset, misalnya, lembaga pendidikan tinggi dapat membuat semacam program penelitian yang terkoordinasi. Sehingga, data terkait kondisi, status populasi, dan ancaman dugong di Indonesia dapat terdokumentasi dengan baik.

Sementara, dalam hal perlindungan, masyarakat sekitar terutama nelayan perlu mendapat pengetahuan yang cukup, khususnya mengenai pentingnya keberlanjutan hidup dugong dan lamun yang menjadi sumber pakannya.

“Populasinya mungkin bisa bertambah di tempat-tempat yang aman. Kalau dugongnya ok, lamunnya ok, berarti perikanan sekala kecilnya juga ok. Semua berhubungan,” ujar Akbar A Digdo.

Dugong merupakan spesies yang, dalam daftar merah IUCN, dikategorikan Vulnerable (rentan) dengan tren populasi terus menurun. CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah) kemudian menindaklanjuti kategorisasi tersebut dengan mencantumkannya dalam Apendiks I. Itu berarti, sebagian atau seluruh bagian tubuhnya dilarang diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Sementara pemerintah Indonesia menetapkan perlindungan dugong melalui Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Pasal 21 ayat (2) UU itu melarang tiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati. Larangan itu berlaku pada seluruh atau sebagian tubuh dugong.

Perlindungan dugong di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan. Serta, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 79/2018 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Mamalia Laut tahun 2018-2022.

Melacak jejak dugong di Indonesia

Dugong adalah pengembara laut semi-nomaden. Habitatnya terbentang dari pesisir timur Afrika sampai Vanuatu, di sebelah tenggara Papua Nugini. Di Indonesia, spesies ini tersebar di 12 ekoregio laut seturut pembagian the Marine Ecoregions of The World (MEOW), demikian tulis Ida Bagus Windia Adnyana, peneliti dan dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali.

12 wilayah itu di antaranya, Laut Arafura, Laut Sulawesi/ Selat Makassar, Sunda Kecil, Papua, Paparan Sunda/ Laut Jawa, Halmahera, Laut Banda, Palawan/ Borneo Utara, Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Sulawesi Tenggara/ Teluk Tomini, serta Selat Malaka. Sebaran habitat dugong tadi disebut sesuai dengan sebaran habitat lamun di Indonesia.

Namun, sampai sekarang, belum ada catatan pasti soal total populasi dugong di Indonesia. Sejumlah publikasi dalam negeri masih menjadikan kalkulasi Helene Marsh sebagai perkiraan, yang menyebut pada dekade 1970 populasi dugong Indonesia sekitar 10.000 ekor, sedangkan tahun 1994 tinggal 1.000 ekor.

Meski demikian, perkiraan tadi tak bisa dijadikan patokan. Anugerah Nontji, dalam “Buku Dugong Bukan Putri Duyung” mengatakan, kalkulasi Helene Marsh tak bisa ditafsirkan sebagai bukti konkrit karena banyak didasarkan pada asumsi-asumsi dan informasi yang bersifat anekdot.

“Dari berbagai informasi yang ada, tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa jumlah populasi dugong di banyak daerah di Indonesia memang semakin mengalami penyusutan drastis, meskipun sulit untuk dikuantifikasikan,” tulis mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut.

Beberapa studi yang dilakukan secara parsial memang melaporkan masih adanya perjumpaan antara nelayan dengan dugong di sejumlah perairan di Indonesia, setidaknya dalam kurun 10 tahun belakangan.

Pada 2016, misalnya, laporan Dugong and Seagrass Project menyebut, 95,2% informan di Bintan, Kepulauan Riau, menyatakan pernah melihat dugong, dengan persentase waktu perjumpaan yang acak yakni: musim utara 26,3%, musim selatan 15,8%, setiap bulan 10,5%, tidak musiman 5,3% dan bulan purnama 5,3%.

Pada tahun yang sama, Angelique Bonnet, mahasiswi Fakultas Teknik Agronomi Prancis, membuat laporan berjudul “Status of Dugongs in Relation to Intertidal and Shallow Subtidal Seagrass Beds and Human Induced Threas in North Sulawesi, Indonesia”. Riset itu berlangsung di 6 desa pesisir Minahasa Utara dan 5 desa pesisir di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Di kedua lokasi tersebut, lebih dari 90% nelayan mengaku masih melihat dugong dalam kurun 5 tahun terakhir. Mayoritas di antaranya, atau sekitar 30%, menyaksikan kemunculan spesies ini setiap bulan. Adapun perjumpaan paling banyak disaksikan di area lamun (65%) dan karang (30%).

“Dugong masih sering terlihat oleh nelayan setempat, beberapa kali per tahun. Oleh karena itu, penting untuk secara langsung melindungi dugong dan habitat mereka,” tulis Angelique Bonnet.

Tahun 2017, WWF Indonesia mempublikasi laporan Survei Dugong dan Habitat Lamun di Alor. Hasilnya, 62% informan mengaku pernah melihat dugong dan 37,8% tidak pernah melihat dugong. Berdasarkan frekuensi perjumpaannya, dalam kurun 5 tahun, mayoritas informan atau sekitar 50% mengaku sering melihat spesies ini.

Kemudian, pada kurun 2021-2022, Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) melakukan riset dan program konservasi di Desa Arakan, Minahasa Selatan.

Hasilnya, dalam beberapa tahun belakangan, nelayan di desa itu mengakui adanya rentang waktu perjumpaan yang makin melebar, serta semakin jarang menyaksikan dugong di wilayah yang ditandai dengan namanya: Kolam Duyung. Selain itu, mereka turut menyadari adanya penurunan jumlah dalam satu kawanan. Jika dulu bisa menyaksikan 3-4 individu tiap perjumpaan. Kini, hanya 1-2 ekor.

“Dulu fokus di lokasi Kolam Duyung karena memang itu tempat bermainnya, berkembang biak, cari makan di situ. Tapi sekarang, mungkin, terganggu aktivitas nelayan. Sudah banyak yang menangkap ikan di dekat situ. Mungkin dugong sudah berpindah tempat,” terang Mubin Machmud, nelayan Desa Arakan.

Dalam rentang Juni 2021 hingga Februari 2022, tim Perkumpulan Kelola melakukan pemantauan di Kolam Duyung sebanyak 13 kali, untuk mencatat populasi dan pendokumentasian mamalia pemakan lamun ini. Dari jumlah tersebut, mereka hanya menyaksikan kemunculan dugong sebanyak 5 kali, dengan jumlah hanya 1 ekor tiap perjumpaan.

Dugong masih sering terlihat oleh nelayan setempat, beberapa kali per tahun. Oleh karena itu, penting untuk secara langsung melindungi dugong dan habitat mereka

Angelique bonnet

Minimnya ketersediaan data, kemudian mendorong pengembangan database perjumpaan dengan dugong di sejumlah desa, terutama di bagian selatan Taman Nasional Bunaken. Melalui database tersebut, warga dilibatkan dalam pemutakhiran data perjumpaan, lokasi, waktu, jumlah individu hingga ukuran dugong yang dijumpai.

“Selama satu tahun berprogram di lapangan, beberapa kali kami menerima laporan perjumpaan masyarakat dengan dugong, tapi tidak pernah tercatat dengan baik. Melalui database ini, kita bisa menghitung jumlah perjumpaan, sekaligus mendokumentasikannya” ujar Decky Tiwow, Manajer Program KELOLA.

***

Dugong dugon adalah satu-satunya spesies yang tersisa di bawah Familia Dugongidae. Sebab, Hydrodamalis gigas (sapi laut Steller/Steller’s sea cow) yang masih satu Familia dengannya, telah punah pada abad ke-18, hanya sekitar 27 tahun sejak pertama kali ditemukan.

Tanpa program perlindungan yang tepat, tidak menutup kemungkinan, dugong mengikuti jejak saudaranya: menjadi sejarah.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.