Di sebuah pondok kayu, seorang pemuda duduk dengan raut muka gelisah. Sore itu, ia berniat berobat dengan Janum bin Lamat (58), dukun kampung Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Dukun kampung adalah sebutan bagi seseorang yang menetap di kampung atau dusun dan dipercaya memiliki pengetahuan dan kekuatan magis untuk melakukan pengobatan secara tradisional.

“Sudah beberapa malam ini tidak bisa tidur karena sesak napas, sudah coba minum obat, tetapi masih kambuh. Jadi saya memutuskan bertemu Atok [Kakek] Janum,” kata Ardiyansyah (21), yang berasal dari Desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat.

Sekitar setengah jam bertemu Janum, dia menerima obat herbal berupa ramuan tumbuhan yang terdiri dari keladi pikul (Araceae), gelam putih (Melaleuca cajuputi Roxb.), samak (Syzygium muelleri Miq.), kembang mekah, umbi keladi pikul, daun gelam putih, daun samak, dan daun jambu mete (Anacardium occidentale L.).

“Rebus, lalu minum airnya selama tiga hari. Insyaallah sembuh,” kata Janum, setelah memberikan ramuan obat tersebut.

Lantaran banyak warga berobat dengannya, Janum mendirikan sebuah pondok di sekitar tempatnya bekerja. Ia sehari-hari beraktivitas sebagai pemecah batu granit di kaki Bukit Penyabung, Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat.

Sebelum menjadi pemecah batu granit, Janum bekerja sebagai buruh harian, baik di kebun atau infrastruktur. Dia beralih menjadi pemecah batu granit demi membantu warga yang berobat dengannya.

“Kalau dulu, saat jadi buruh harian, sering pindah dari kampung ke kampung, masyarakat jadi sulit berobat. Makanya, saya memutuskan mendirikan pondok dan bekerja jadi pemecah batu,” jelasnya.

Dari menjual enam kubik batu granit yang dipecah sebesar telapak tangan orang dewasa, Janum memperoleh penghasilan sekitar Rp2-3 juta sebulan. “Cukup untuk menghidupi keluarga.”

Dijelaskannya, hanya masyarakat lokal yang boleh mengambil batu granit di Desa Pelangas. “Orang luar tidak boleh ikut mengambil batu, karena profesi ini adalah pilihan terakhir bagi masyarakat Desa Pelangas.”

“Saat hasil kebun buah, seperti durian dan lada yang sering gagal, serta madu di hutan yang kian sulit didapat, masyarakat lokal terpaksa memecah batu granit di sekitar desa. Dengan syarat, profesi ini tidak boleh jadi profesi tetap, hanya boleh saat paceklik seperti sekarang. Itu sudah kesepakatan para dukun kampung, sejak dulu,” kata Janum.

Dengan luas sekitar 5.598 hektare, mayoritas warga Desa Pelangas beraktivitas sebagai petani. Di kebun, mereka menanam padi, durian, manggis, lada, serta memanfaatkan hasil hutan berupa madu.

Dengan adanya ritual, kami berharap semua balak [bencana] yang diperoleh bisa hilang

Janum bin lamat, dukun suku jerieng

Namun, beberapa tahun terakhir, hasil kebun dan madu hutan terus menurun. Karenanya pada Agustus 2022 lalu, Janum bersama dukun kampung lain, memutuskan menggelar kembali ritual “taber gunung”, yang sebelumnya dihentikan.

“Dengan adanya ritual, kami berharap semua balak [bencana] yang diperoleh bisa hilang. Padi kembali panen, durian berbuah, dan hasil madu hutan melimpah,” kata Janum.

Menurunnya berkah alam, juga akibat masyarakat yang sudah mulai tidak menghormati dukun kampung. “Banyak saran, atau pesan leluhur melalui dukun yang tidak dilaksanakan warga,” katanya.

Karenanya, Janum cukup terkejut sekaligus bahagia, ketika ada sosok pemuda yang mau berobat ke dukun kampung.

“Senang, pemuda di sini mulai menghidupkan kembali peran dukun, karena sekarang banyak yang tidak tahu nama tumbuhan,” paparnya.

Berdasarkan penelitian, sejumlah masyarakat adat di Pulau Bangka menyimpan banyak pengetahuan terkait tumbuhan obat. Di antaranya, Suku Jerieng yang tercatat memiliki 82 jenis tumbuhan obat yang terdiri 52 famili, serta Suku Mapur yang memiliki 50 jenis tumbuhan obat, terdiri dari 34 famili.

Selain pengetahuan tumbuhan serta pengobatan, di masa lalu dukun memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Pulau Bangka. Setiap dukun berperan menetapkan aturan dalam mengelola sumber daya alam sekitar, seperti di kampung (dukun kampung), sungai (dukun sungai), gunung (batin gunung), hingga pesisir dan laut (dukun laut).

“Setiap wilayah yang ada dukunnya, seperti sungai, bukit, laut serta perkampungan, merupakan wilayah yang dianggap penting untuk dijaga. Diatur pengelolaannya agar semua berjalan seimbang,” kata Janum.

Hingga saat ini, ada sekitar 46 dukun yang tersebar di semua wilayah Pulau Bangka. “Alhamdulillah, kami masih berkomunikasi dan berkerja sama dalam menjaga wilayah masing-masing,” katanya.

Sejumlah produk pengetahuan yang dilahirkan para dukun di Pulau Bangka, di antaranya ampak (larangan menambang timah), kelekak (konsep agroforestri), pantang larang, serta berbagai larangan dalam ritual taber laottaber sungai, dan taber gunung.

Dalam setiap ritual, pasti ada larangan beraktivitas di kebun, sungai atau di laut selama 3-7 hari, bagi yang melanggar bisa terkena sanksi berupa penyakit, bahkan meninggal dunia.

“Meskipun beragam, inti semuanya dimaksudkan agar manusia bersyukur kepada Tuhan. Tidak serakah dengan hasil alam yang ada di Pulau Bangka,” jelas Janum.

Stigma negatif

Kini, dukun sudah kehilangan tempat dalam sistem sosial masyarakat di Pulau Bangka. Di beberapa wilayah, sejumlah dukun mendapat stigma sesat dari masyarakat sekitar.

“Masyarakat di sini banyak yang mengatakan kami [para dukun] sesat, karena kerap bersinggungan dengan hal-hal gaib,” kata Damion, dukun kampung keturunan Suku Maras, di Desa Berbura, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka Barat.

Meski kerap mendapat stigma negatif, Damion dan kedelapan dukun kampung, secara tertutup, masih sering melakukan ritual di puncak Gunung Maras, wilayah tertinggi sekaligus tempat yang diyakini sebagai pusat spiritual terkuat di Pulau Bangka.

“Tidak apa kami mendapat stigma negatif dari masyarakat, yang terpenting nilai-nilai serta tradisi yang diturunkan leluhur kami tetap kami laksanakan. Jangan sampai pudar bahkan hilang,” lanjutnya.

Hal serupa juga terjadi pada sejumlah dukun di sekitar lanskap Bukit Mangkol, di Kabupaten Bangka Tengah.

“Ritual di Bukit Mangkol sudah hilang, karena tidak ada lagi generasi dukun kampung yang mau memimpin jalannya ritual. Para keturunan dukun kampung mengaku malu, jika harus meneruskan status mereka menjadi seorang dukun,” kata Mang Kalu, generasi ketujuh masyarakat Desa Teru, yang tinggal di kaki Bukit Mangkol.

Dr. Fitri Ramdhani, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, secara informal, dukun dalam kebudayaan masyarakat di Pulau Bangka memiliki peran penting.

“Dulu, dukun dipandang sebagai seorang tokoh. Karenanya dukun sering dimintai pendapat, pertimbangan, terkait hal-hal penting menyangkut kelangsungan hidup masyarakat desa atau wilayah tertentu.”

Keturunan dukun harusnya bangga, bukannya malu

Fitri Ramdhani, sosiolog Universitas Bangka Belitung

Selain itu, dukun juga memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan orang biasa, seperti kemampuan mengobati, supranatural, dan sebagainya. “Kemampuan ini yang kemudian menguatkan peran dukun, sehingga mendapat posisi khusus dalam sistem sosial masyarakat,” lanjutnya.

Kini, kata Fitri, peran dukun di Pulau Bangka mulai hilang. Salah satu penyebabnya stigma negatif yang disematkan. “Mungkin karena kerap bersinggungan dengan hal-hal gaib.”

Penyebab lain, regenerasi dukun yang putus. “Status dukun biasanya diturunkan melalui hubungan sedarah, baik anak, cucu, keponakan, dan sebagainya. Namun, kini banyak generasi muda yang ‘malu’ menyandang status sebagai keturunan dukun.”

Padahal, selama ini keberadaan dukun berpengaruh besar dalam penerapan berbagai pengetahuan serta kearifan terkait bentang alam, seperti hutan, bukit, sungai, hingga laut. “Keturunan dukun harusnya bangga, bukannya malu.”

Dukun menjamin setiap pengetahuan atau kearifan terkait lingkungan, diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat dari generasi ke generasi.

“Dukun adalah simbol alam. Hilangnya peran dukun, akan ikut menghilangkan beragam pengetahuan serta kearifan dalam menjaga keseimbangan alam, sehingga memicu kerusakan hutan, sungai, hingga laut di Pulau Bangka,” kata Fitri.

Dihidupkan kembali

Hilangnya peran dukun sejalan dengan laju degradasi alam di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki luas sekitar 1,6 juta hektare.

Berdasarkan akumulasi data dokumen SLHD dan IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kurun waktu enam tahun (2014-2020), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kehilangan 70 persen hutan (termasuk mangrove) atau seluas 460.000 hektare. Dari yang awalnya seluas 657.380 hektare, tersisa 197.255,2 hektare.

Rusaknya hutan diikuti tercemarnya sekitar 55 persen sungai, dari 2.000 lebih sungai yang ada di Kepulauan Bangka Belitung (data tahun 2019).

“Pada 2019, sekitar 55 persen sungai melebihi baku mutu TSS (Total Suspended Solid) dan 78 persen sungai melebihi baku mutu BOD (Biochemical Oxygen Demand). Namun pada tahun 2020, parameter TSS melebihi baku mutu hanya terjadi pada tiga lokasi saja atau 11,1 persen, dan tidak ada lokasi yang melebihi baku mutu BOD,” tulis dokumen tersebut.

TSS adalah berat kering partikel yang tidak larut dalam air dan dapat disaring oleh filter untuk dianalisis menggunakan wadah kaca sinter. Hasil analisis digunakan untuk menentukan kualitas spesimen air tersebut.

Sementara BOD (kebutuhan oksigen hayati) mewakili jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya saat mereka menguraikan bahan organik dalam kondisi aerobik (ada oksigen) pada suhu tertentu. Kehadiran konsentrasi oksigen terlarut yang cukup, sangat penting untuk menjaga kehidupan akuatik dan kualitas estetika sungai dan danau.

Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan, diperkirakan sedikitnya 5.270 hektare terumbu karang di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan.

“Semua degradasi hutan, sungai, dan laut di Pulau Bangka terkait dengan aktivitas penambangan timah serta ekspansi perkebun skala besar,” ujar Jessix.

Maraknya aktivitas antropogenik yang merusak bentang alam di Pulau Bangka, diakui Jessix sebagai dampak dari hilangnya peran dukun di Pulau Bangka. “Di tingkat masyarakat, pengetahuan serta kearifan yang disebarkan para dukun, sangat penting dalam membangun kembali kesadaran atau hubungan harmonis manusia dan alam.”

Dengan kembali menghidupkan peran dukun atau tokoh adat beserta pengetahuan dan kearifannya, “Diharapkan dapat menjadi solusi alternatif bersama, ditengah laju degradasi lingkungan dan budaya di Pulau Bangka,” kata Jessix.


*Liputan ini diproduksi atas dukungan Dana Jurnalisme Hutan Hujan [Rainforest Journalism Fund] yang bekerja sama dengan Pulitzer Center, dan pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada 13 November 2022


Baca juga:

About the writer

Nopri Ismi

Nopri Ismi started his journalism career at the Ukhuwah Student Press body of the Raden Fatah Islamic State University in Palembang, South Sumatera. Nopri is continuing to learn and expand his knowledge...

Taufik Wijaya

A journalist, writer and theater worker based in Palembang, South Sumatra, Indonesia. Apart from writing for Mongabay Indonesia, he also manages the Rumah Sriksetra YouTube channel.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.