Posted inWawancara / COP27

Nani Hendriati: Pemilik hutan dunia harus memimpin perundingan global

Indonesia menjalin aliansi dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang menguasai setengah dari hutan tropis dunia. Ada potensi membentuk ‘kartel karbon’ di sektor kehutanan layaknya OPEC.

Pemerintah Indonesia memperkenalkan kemitraan dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo (RDK), para pemilik hutan hujan tropis terbesar di dunia di ajang COP27. Ide membentuk aliansi strategis ini sudah diinisiasi sejak setahun lalu di COP26 di Glasgow. Program yang disebut ‘Tropical Forest for Climate and People’ itu diinisiasi oleh Kemenko Maritim dan Investasi serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

“Jadi sebetulnya belum resmi launching, baru ‘road to’ istilahnya,” kata Nani Hendriati, Deputi Menteri Bidang Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim dan Investasi, kepada Katadata

Di sela-sela pertemuan bilateral yang padat di COP27, Nani bercerita kepada Katadata mengenai ide di balik kemitraan tersebut. Ia menyebut salah satu tujuan utama aliansi ini ingin memperkuat posisi negara-negara pemilik hutan di kancah internasional. Apalagi saat ini Brasil, Indonesia, dan RDK menguasai hampir setengah dari hutan dunia.

“Jadi tujuan utamanya untuk pendanaan pengelolaan hutan,” kata Nani. 

Selain berbincang soal aliansi strategis tiga negara, Nani juga menceritakan soal misi Indonesia memperkenalkan mekanisme blue carbon. Menurut Nani, blue carbon saat ini memang belum masuk dalam perundingan resmi di COP27. Kendati demikian, isu ini sudah mulai dibicarakan di berbagai side event di luar perundingan resmi. 

“Potensi blue carbon kita besar sekali. Ini yang mau kita upayakan,” ujarnya.

Pemerintah mengumumkan kesepakatan dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo dalam pengelolaan hutan di ajang COP27, bagaimana statusnya saat ini? 

Jadi sebetulnya kemitraan itu belum resmi diluncurkan. Istilahnya baru road to. Kalau berjalan lancar akan diresmi diumumkan dalam waktu dekat, tetapi kita belum tahu kapan. Mungkin masih dalam lingkup COP tetapi setelah COP27 selesai.

Inisiasi ini mulai dibahas sejak COP26, bagaimana prosesnya? 

Ini isunya memang terkait perubahan iklim. Memang saat COP26 di Glasgow tahun lalu, ibu Menteri LHK [Siti Nurbaya Bakar] sudah berbicara dengan perwakilan dari Brasil dan RDK. Kemudian dibahas lebih lanjut tetapi masih di level deputi menteri. Mudah-mudahan akan launching dalam waktu dekat. Jadi ini ini memang inisiatif dari Indonesia.

Apakah akan diluncurkan saat event G20 di Bali?

Mungkin dekat-dekat itu ya karena ini sangat stategis. Nanti akan ada joint statement tetapi kalau sekarang baru sepakat dulu.

Bagaimana mekanisme kesepakatan itu?

Prinsipnya adalah partnership dalam kerangka forest for climate, begitu. Konteksnya untuk mitigasi, adaptasi, termasuk aspek investasi.

Tujuannya untuk perdagangan karbon juga ya?

Nah itu yang masih dibahas, karena di sini juga masih pembahasan awal, belum selesai. Jadi masih menunggu itu. Tapi memang kita maunya adalah pendanaan untuk hutan kita, jangan langsung masuk ke karbonnya. Jadi istilahnya pembiayaan untuk pengelolaan hutan, karena hutan memberikan banyak sekali manfaat.

Saat ini tiga negara sudah bersepakat bergabung di kemitraan, apakah akan melibatkan negara lain? 

Pertama tiga negara itu dulu, kemudian kita akan mengundang negara lain yang punya hutan tropis. Jadi termasuk mangrove dan lahan gambut juga.

Ada negara tertentu yang sedang didekati di COP27 ini?

Kita mulai dari tiga ini dulu, nanti kita bikin kesepakatan bagaimana selanjutnya. Tapi kira-kira kemarin kalau arahannya Pak Menko Marves [Luhut Binssar Pandjaitan] itu ada Peru dan Kongo. Jadi kan ada dua nih, RDK dan Republik Kongo.

Pemerintah Uni Emirat Arab baru saja mengumumkan kesepakatan Mangrove Alliance dengan Indonesia di COP27, apakah juga terkait kemitraan tropical forest?

Iya kalau itu memang sudah resmi diluncurkan dan spesifik untuk mangrove. Jadi Indonesia kan memang punya banyak mangrove, sedangkan UAE punya teknologinya. Jadi mereka ingin kolaborasinya lebih dioptimalkan untuk climate fund. Soal apakah UAE akan masuk ke kemitraan IBC [Indonesia, Brasil, Congo] ini memang seharusnya masuk, tetapi harus dilihat juga ke depan. Inisiasi IBC ini memang awalnya antara tiga negara itu sejak COP26 kemudian diperluas jadi ada komponen investasinya.

Komponen investasi seperti apa yang dimaksud?

Nah itu yang sedang kita jajaki tetapi belum detail di sini. Tapi kira-kita begini, kalau kita bicara mangrove, ada yang namanya ecotourism. Di situ misalnya kita bisa mengembangkan kawasan mangrove menjadi area konservasi dengan pendekatan blue carbon. Nah, blue carbon itu nanti akan dihubungkan ke investasi untuk mengembangkan ecotourism itu sendiri sekaligus menjaga area konservasi. UAE sudah punya contohnya dan kita sedang membuat pilot project-nya di Kaltara [Kalimantan Utara] dengan dukungan Bank Dunia. Nanti akan kita umumkan tanggal 14 November di side event G20.

Dukungan World Bank itu lewat skema apa?

Untuk di awal skemanya grant [hibah] 

Apakah ini dalam payung yang sama dengan pembayaran awal senilai US$20 juta yang diterima pemerintah untuk proyek pengurangan emisi di Kalimantan Timur?

Kalau yang KLHK itu kan skema Result Based Payment [RBP] ya, untuk upaya pengurangan emisi. Jadi berbeda, tetapi bisa jadi nanti akan menggunakan mekanisme itu juga karena biasanya ada skema satu, dua, dan seterusnya.

Akan memanfaatkan skema blended financing juga?

Bisa juga. Karena kita memang mendorong ke arah sana dalam bentuk investasi, hibah, pinjaman, dan filantropi.

Apakah sudah ada komunikasi dengan pemberi dana, dari lembaga multilateral atau filantropi misalnya untuk kemitraan ini?

Sudah ada komunikasi dan mereka tertarik karena kita ada program Perhutanan Sosial misalnya.

Jadi, apa tantangan mendorong kemitraan tiga negara ini?

Tantangannya sebetulnya ada di Brasil karena mereka baru ganti pemerintahan. Jadi saat ini sebetulnya Brasil belum punya presiden karena Lula da Silva [presiden terpilih Brasil] baru akan dilantik pada 7 Januari 2023. Jadi walaupun Lula ini sangat mendukung penuh tetapi kita masih harus menunggu pelantikan resminya.

Beberapa media asing justru menyebut Lula da Silva sudah meresmikan kemitraan IBC?

Nah, itu yang sepertinya komunikasinya kurang jelas ya. Mungkin maksudnya ‘menargetkan’ ketika nanti dia resmi jadi presiden. Tapi memang Lula sudah tahu soal ini dan mendukung penuh. Mungkin karena beliau sangat senang dan bersemangat sekali waktu ketemu Bu Siti [Menteri LHK] dan Pak Menko [Luhut Pandjaitan].

Selain menunggu pelantikan Presiden baru Brasil, apakah ada tantangan lain?

Sebetulnya enggak ada, kita sedang menyiapkan saja. Kemarin juga sudah ketemu dengan Menteri RDK. Pembahasan baik-baik saja, tinggal menunggu waktu. Kesepakatan juga sudah ada.

Tiga negara ini menguasai hampir setengah dari hutan tropis dunia, apakah ini berpotensi membuat kemitraan semacam ‘kartel’ di sektor kehutanan seperti OPEC untuk minyak?

Iya harusnya bisa begitu. Masa yang punya hutan harus [didikte] sama negara lain. Jadi sesama pemilik hutan yang luas harus saling bekerja sama biar kompak. Hutan itu kan sangat penting untuk perubahan iklim dengan konsep nature-based solution. Pembicaraannya bukan cuma soal lingkungan dan ekologinya saja tetapi juga sudah soal ekonomi.

Apakah ada investasi dari pemerintah untuk kemitraan ini?

Kalau bicara FOLU net sink 2030 kan butuh pendanaan. Hutan ini kan rentan dengan kebakaran misalnya, jadi harus dijaga dan itu butuh biaya. Indonesia kan sudah bagus banget prestasinya di sektor kehutanan. Kita sudah diakui secara global karena berhasil menekan deforestasi, kebakaran hutan, dan bisa meningkatkan leverage dari komunitas lokal melalui Perhutanan Sosial. Jadi ini yang harus dipertahankan dengan pendanaan.

Berarti program ini di bawah payung Kemenko Marves ya?

Secara teknis pasti koordinasinya di KLHK, tetapi kan karena lintas negara dan ada aspek investasinya, kami [Kemenko Marves] yang maju. Kalau soal lingkungan pasti di KLHK tetapi di sana kan enggak ada ‘ko [koordinasi]’-nya. Jadi kalau di sini benefit-nya bisa lebih luas lagi. Tapi kalau di Indonesia kita bilangnya bersama. Nanti kalau MoU juga pasti tanda tangannya dua [KLHK dan Kemenko Marves].

Kalau di COP27 ini apa lagi yang mau dikejar untuk kepentingan Indonesia?

Sebetulnya Article 6 Paris Agreement itu yang kita tunggu-tunggu. Perdagangan karbon itu akan sangat bergantung dari hasil pembahasan Article 6.

Harapannya Indonesia seperti apa?

Mungkin kita ingin mendorong yang selama ini sudah berjalan. Misalnya ada skema result based payment [RBP], itu kan sudah ada, bisa mulai dari itu. Indonesia sudah banyak melakukan hal-hal bagus jadi perlu diapresiasi.

Di paviliun Indonesia di COP27 ini beberapa kali ada pembahasan soal blue carbon, terutama untuk mekanisme offset, bagaimana pembahasannya di forum resmi?

Memang kalau untuk blue carbon baru dibahas di side event, belum masuk ke perundingan resmi. Walaupun di dokumen NDC kita sudah resmi memasukkan aspek ocean tetapi masuknya lewat adaptasi, baru mitigasi. Kita juga masih mengembangan measurement reporting verification (MRV) untuk menghitung berapa karbon yang bisa ditangkap. Ini baru, masih butuh proses.

Wawancara ini diproduksi sebagai bagian dari program Climate Change Media Partnership 2022, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Internews’ Earth Journalism Network dan Stanley Center for Peace and Security, dan pertama kali terbit di Katadata pada 10 November 2022.

About the writer

Rezza Aji Pratama

Rezza Aji Pratama is a journalist currently working as an editor at Katadata Indonesia. Rezza has over ten years of experience as a journalist focusing on business and economics. Over the last couple of...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.