Tak ada yang lebih menguasai medan selain para pemburu. Tak ada yang lebih mengetahui setiap jengkal hutan, selain masyarakat adat setempat. Hans Mandacan adalah perpaduan keduanya yang kini menjadi penjaga terdepan keutuhan hutan dan penghuninya.


Pondok kayu itu berdiri di tengah hutan Kampung Kwau, Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Hans Mandacan (39) sedang memeriksa beberapa titik pengamatan burung ketika kami datang. Ia tengah mempersiapkan satu rombongan wisawatan dari luar negeri ketika kami berkunjung Juni silam.

Bulan April-Oktober memang saat bagus untuk pengamatan burung surga, sebutan aneka burung cenderawasih yang menjadi magnet Kampung Kwau. Aktivitas yang tak pernah dibayangkan oleh Hans sebelumnya ketika ia masih menjadi pemburu.

“Sebelumnya kita berburu cuar. Saya juga orang yang berburu. Selama 15 tahun saya menyesal besar sekali,” kata Hans. Cuar merupakan Bahasa Hatam untuk bulu cenderawasih. 

Hans, yang merupakan anggota suku Hatam, seperti halnya kebanyakan masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan (atau malah tinggal di dalam hutan), hidup dari berburu. Awalnya, mereka berburu hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan berpakaian.

Namun lama-lama untuk memenuhi kebutuhan lain, hasil buruan pun dijual. Hal ini yang menjadikan tekanan terhadap populasi satwa di hutan menjadi makin tinggi. Perburuan meningkat yang tak imbang dengan pertambahan populasi satwa.

Tekanan terhadap populasi cenderawasih bukan hanya datang dari masyarakat sekitar hutan. Menurut data yang disampaikan WWF Papua, tahun 1900-1930-an penjualan cenderawasih mencapai 10.000-30.000 ekor per tahun. Tahun 1912, misalnya, penjualan mencapai 30.000 ekor dalam satu kali pengiriman kapal ke Jerman dan Inggris untuk kebutuhan industri fashion. 

Total penjualan burung cenderawasih selama 1820-1938 ke seluruh Eropa diperkirakan tak kurang dari 3 juta ekor. Tahun 1904-1908 jumlah cenderawasih yang masuk ke London 155.000 ekor, ke Prancis sekitar 1,2 juta ekor. 

Hasil penelitian terakhir pada Maret 2012 yang dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua di salah satu lokasi habitat cenderawasih diketahui setiap satu kilometer persegi hanya ditemukan 2-3 ekor cenderawasih. Padahal, tahun 2000-2005 masih ditemukan 10-15 ekor. 

Hans mulai mengadakan pengamatan burung pada tahun 2009. Tahun yang merupakan titik balik ketika pandangan nya tentang keberadaan cenderawasih dan hutan, berubah.

Hans melihat kampung Mokwam – berjarak sekitar 27 kilometer dari Kwau – lebih dahulu memajukan ekowisata, sejak tahun 2017. Ia melihat beberapa turis datang dan memunculkan sumber pendapatan yang menarik. Kwau memiliki 5 hektare hutan adat yang memiliki kekayaan flora fauna yang tak kalah dengan Kampung Mokwam.

Hans dan warga Kwau kemudian menghitung pemasukan dan membandingkan dengan berburu burung.

Cuar satu ekor hanya Rp5 ribu. Sedangkan kalau burung cenderawasih dibiarkan hidup, satu bulan bisa dapat Rp50 juta. Kita memiliki teman sampai ujung bumi,” kata Hans. 

Selain burung tetap ada dan bisa dinikmati anak cucuk kelak, turis yang datang dari berbagai negara kemudian menjadi teman, relasi ke berbagai belahan dunia yang tak dimiliki oleh nenek moyang mereka ketika masih berburu cenderawasih. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang menjadikan Hans membangun ekowisata di Kwau. 

Membangun ekowisata, membangun manusia

Hans mulai mengumpulkan potensi Kwau. Ia mengidentifikasi sarang burung, mencatat jenis-jenis burung, waktu pengamatan, membuat jalur pengamatan, dan lain-lain, agar dapat menarik turis untuk pengamatan burung. 

Dalam kegiatan ini, awalnya Hans bekerjasama dengan Yayasan Paradisea pada tahun 2009. Namun yayasan yang bergerak dalam pengembangan ekonomi rakyat dan konservasi sumber daya ini tidak bertahan lama. Ketika Hans sudah berjalan mandiri, yayasan gulung tikar. 

Namun yayasan inilah yang menjadi jalan awal Hans untuk berjejaring, mengenal beberapa lembaga dan instansi yang kelak akan membantunya mewujudkan ekowisata. Mulai dari mempromosikan daya tarik ekowisata hingga membantunya membangun pondok wisata.

“Saya menggunakan rumah pribadi untuk tamu asing. Sulit bagi yang lanjut usia karena jarak pengamatan dan rumah saya jauh,” kenang Hans. 

Akhirnya ia mencoba mencari bantuan ke pemerintah. Ia mengirim proposal yang berisi potensi kekayaan flora fauna di Kwau dan kebutuhan untuk pengembangan ekowisata kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. Papua Barat pada tahun 2019. Proposalnya ditanggapi, lantas disetujui oleh dinas tersebut pada tahun 2020. 

Dengan dana bantuan yang diperoleh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Papua Barat, sebuah pondok kayu berkapasitas 10 orang dibangun untuk penginapan para wisatawan. Pondok ini lebih dekat dengan tempat pengamatan burung dan terletak di tengah hutan. 

“Saya kasih nama Papua Lorikeet, dari nama burung papuan lorikeet (Charmosyna papou) yang ada di sini,” tambah Hans. Pun nama-nama kamarnya pun menggunakan nama-nama burung, antara lain Vogelkop Melidicetes Room, Blackfantail Room, dll. 

Hans membangun Papua Lorikeet bukan hanya untuk dirinya namun juga melibatkan tetangga yang lain. Ekowisata yang dirintis merupakan kunjungan ke kawasan Hutan Adat Kwau –  dengan luas sekitar 16.000 ha – sehingga semakin banyak yang terlibat akan semakin terjaga kawasan tersebut.

Sistem keorganisasian dibentuk pada tahun 2020 yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan pemandu sebanyak tiga orang. Selain untuk koordinasi kerja, juga memberi arah aliran dana yang didapat dari kegiatan ekowisata. Menurut Hans, uang yang didapat masuk ke bendahara yang ditunjuk, bukan ke Hans. Harapannya, pengaturan seperti ini akan meminimalisir konflik.

Pemasukan ekowisata ini berasal dari retribusi masuk kawasan, honor pemandu, sewa penginapan, makanan, dan pembelian suvenir. Akan lebih banyak hal yang bisa dijual kepada wisatawan dalam pengembangan selanjutnya. Misalnya, Hans ingin bisa menyajikan makanan khas Kwau yang bisa menjadi daya tarik wisata kuliner.

Tarian burung surga

Daya tarik utama dari wisata Kwau adalah pengamatan burung pintar atau namdur polos (Amblyornis inornata), cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), arfak parotia (Parotia sefilata), dan lain-lain. Pengunjung bisa melakukan pengamatan dan memotret di dalam hide (ruang kamuflase) untuk melihat burung.

Musim dan waktu pengamatan sudah ada jadwal, sehingga memungkinkan pengunjung bertemu dengan burung yang diinginkan. Pengamat atau pengunjung yang datang biasanya menggunakan binokuler atau lensa tertentu untuk mendokumentasikan burung-burung tersebut secara lebih detail.

Pada awalnya hanya promosi dari mulut ke mulut, khususnya dari peneliti burung, pegiat LSM, hingga merambah pada pemerhati burung. Kwau diuntungkan dengan keindahan cenderawasih yang sudah sohor. Keindahan bulunya dan tarian pejantan saat memikat betina menjadi daya tarik utama untuk bisa menyaksikannya di habitat aslinya. 

Yang tak kalah menarik adalah melihat sarang burung namdur atau burung pintar. Pengunjung akan disuguhi upaya keras pejantan namdur untuk membangun “pelaminan megah” untuk memikat betina. 

Mulai dari mengumpulkan aneka bunga, kerang, buah hutan, hingga sampah plastik yang ditata sesuai dengan jenisnya untuk membuat jalan menuju sarang. Cara menata benda-benda sesuai dengan jenis dan warna inilah yang menjadikannya disebut sebagai burung pintar. Jalan ini menuju sarang berupa ranting yang berbentuk kerucut.

Apabila ada betina yang datang dan tertarik, maka namdur akan kawin di sarang itu. Sesungguhnya, sarang ini hanya sebagai pelaminan saja.

“Sarang ini hanya untuk kawin saja. Selanjutnya untuk bertelur dan merawat anak, burung jantan membuat sarang lain yang kecil,” jelas Hans. Sebuah seremoni perkawinan yang megah. 

Kearifan Suku Hatam menjaga hutan

Perjalanan berelasi dengan hutan sebagai tempat hidup Suku Hatam memberi pelajaran berharga bagi masyarakat Kwau. Mereka menyadari, ketika hutan rusak maka sumber kehidupan pun terganggu. Dalam mengelola ekowisata ini, Hans dan masyarakat Kwau kembali menerapkan kearifan lokal leluhur mereka.

Ketika wisatawan menyusuri trek untuk pengamatan burung, maka akan bertemu beberapa papan bertulisakan bahamti, tumti, dan lain-lain. Ini adalah papan nama untuk batas kelola merujuk pada kearifan Suku Hatam, Igya ser hanjop. Dalam Bahasa Hatam artinya berdiri untuk menjaga batas. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan igya ser hanjop sebagai warisan dunia pada tahun 2016.

Menurut Hans, Suku Hatam membagi wilayah hutan menjadi 4 zona yaitu Susti, Bahamti, Nimahamti, dan Tumti. Pembagian kawasan ini sekaligus memetakan keberadaan burung cenderawasih dan burung namdur.  Kawasan Susti merupakan kawasan permukiman dan perkebunan. Di sini, masyarakat boleh bercocok tanam dan membangun rumah sebagaimana yang sudah dilakukan nenek moyang mereka. 

Selanjutnya kawasan Bahamti, nenek moyang mereka pernah membangun kebun sekali sehingga tumbuh menjadi hutan sekunder. Di sini dan di kawasan Susti biasanya tempat bermain cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus). 

Kawasan Bahamti merupakan batas hutan yang masih alami, belum ada yang pernah membuka kebun di sini dan tidak diperbolehkan. Hanya boleh mengambil kayu untuk bahan membuat rumah kaki seribu. Di kawasan ini merupakan area jelajah burung pintar atau namdur polos (Amblyornis inornata) dan arfak parotia (Parotia sefilata).

“Nimahamti, nenek moyang kami bikin kebun satu kali setelah itu tidak pernah lagi,” kata Hans. Tempat ini bisa untuk berburu,  cari rotan, dan kayu. Tapi sekarang, setelah menjadi kawasan ekowisata, tidak boleh berburu di situ. Di sini ada burung cenderawasih belah rotan, sama dengan kawasan Bahamti

Kawasan terakhir yaitu Tumti berada di ketinggian di atas 2.000 mdpl yang ditandai dengan selimut lumut tebal di permukaan tanah. Di sini hanya boleh mencari bahan untuk atap rumah dari bahan pandan, tidak boleh ada perburuan dan aktivitas lain. Kawasan yang dilindungi oleh masyarakat lokal sebagai habitat cenderawasih ekor panjang (Paradigalla carunculata).

Kini, Papua Lorikeet Guest House selalu terisi khususnya tamu dari luar negeri. Harapan Hans, ada peningkatan fasilitas khususnya akses terhadap internet sehingga memudahkan dalam bekerja.

Selain itu, Hans menyampaikan tentang keuntungan finansial mengelola ekowisata. “Setiap akhir tahun, kami bacakan [laporan keuangan] ke masyarakat. Sudah menjadi pendapatan yang lumayan. Saya mengingatkan  ke masyarakat, kalau lihat keuntungan yang ada di bendahara, jauh lebih besar. Bandingkan dengan hasil lain, tak ada yg sebesar ekowisata,” jelas Hans. 

Dari sini ia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak merusak lingkungan, tetap menjaga keutuhan hutan. Menurut Hans, Kwau sudah terkenal di tingkat dunia, sehingga harus dijaga agar pendapatan terus ada sehingga bisa memberi akses pendidikan kepada anak-anak. 

Artikel ini didukung oleh Pulitzer Center melalui program Rainforest Journalism Fund (RJF).

About the writer

Titik Kartitiani is a freelance journalist based in East Java who writes about the environment, culture, design, and fashion. She became a journalist in 2003 for the flora and fauna magazine, Flona a publication...

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

Leave a comment