Ketika para negosiator dan delegasi kian sibuk pada pekan kedua COP27 di Sharm el Sheikh, Indonesia menyambut belasan kepala pemerintahan dari negara-negara paling kuat di dunia. Agenda G20 Summit berlangsung pada 15-16 November 2022 dan dihadiri oleh 17 kepala negara.

Pada hari pertama G20, kabar dari Bali yang justru menjadi tajuk utama di COP27. Perkumpulan G7+ Denmark dan Norwegia mengumumkan pendanaan hingga US$ 20 miliar untuk mendukung ambisi transisi energi Indonesia.

Amerika Serikat dan Jepang akan memimpin penggalangan dana hingga US$ 10 miliar dari negara-negara kaya. Adapun sisanya akan dipenuhi oleh sektor privat yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Beberapa lembaga keuangan yang terlibat antara lain Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.

Kasak-kusuk soal dana miliaran dolar untuk transisi energi sebetulnya sudah terdengar beberapa bulan sebelumnya. Ini merupakan kelanjutan program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diinisiasi negara-negara kaya pada COP26 di Glasgow tahun lalu. Afrika Selatan menjadi penerima awal program ini dengan nilai  mencapai US$ 8,5 miliar.

Dalam konteks Afrika Selatan, sekitar 97% dana JETP berupa pinjaman dan hanya 3% yang berbentuk hibah. Adapun untuk Indonesia, hingga saat ini belum ada gambaran jelas bagaimana skema pendanaan ini akan dilakukan. Kemungkinan besar, mekanismenya tidak akan berbeda jauh dari Afrika Selatan yang mengandalkan pembiayaan campuran (blended financing).

Justin Guay, Direktur Global Climate Strategy untuk The Sunrise Project, menyebut kesepakatan US$ 20 miliar ini menjadi sinyal politik kuat dari Indonesia terutama kepada negara-negara yang selama ini mengandalkan PLTU. Selain Afrika Selatan dan Indonesia, beberapa negara lain seperti India, Vietnam, dan Senegal juga jadi target kemitraan ini.

“Lima tahun lalu sulit membayangkan Indonesia mau memulai proyek pensiun dini PLTU. Ini akan menjadi game changer,” kata Guay, kepada Katadata.

Kendati demikian, Guay menyebut saat ini masih terlalu dini untuk melihat proyek ini dalam jangka panjang. Pasalnya, belum banyak detail soal skema dan mekanisme kesepakatan ini. 

“Pemerintah Indonesia harus waspada. The devil are in the details,” ujarnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan detail dalam negosiasi kesepakatan US$20 miliar memang sangat penting diperhatikan. Selama beberapa bulan ke depan, Pemerintah Indonesia akan menyusun rencana investasi yang mencakup soal komposisi pendanaan serta apa yang akan dilakukan pemerintah dengan uang tersebut.

Hal lain yang krusial menurut Fabby terkait dengan suku bunga pinjaman. Belajar dari kasus Afrika Selatan, di mana pinjaman mencakup 97% dari total pendanaan, detail ini patut menjadi perhatian. Ia menyebut, Indonesia berharap bisa mendapatkan dana murah dengan bunga sekitar 3%-4% dan jangka waktu pinjaman yang panjang.

“Setiap pinjaman pasti ada risikonya. Ini yang harus dimitigasi,” ujarnya kepada Katadata.

Skema blended financing dalam kesepakatan ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Apalagi sebanyak US$10 miliar pendanaan ini akan datang dari bank-bank komersial yang berpotensi menawarkan bunga lebih tinggi.

“Dari awal pembahasan JETP ini kurang transparan. Saya harap dalam penyusunan investment plan ini bisa lebih melibatkan partisipasi publik,” ujarnya.

JETP bukan satu-satunya upaya Indonesia mengumpulkan pinjaman miliaran dollar untuk menyokong transisi energi. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Indonesia juga telah mengamankan pinjaman senilai US$500 juta dari Climate Investment Fund (CIF). Dana ini akan dipakai untuk mempensiunkan PLTU dalam dalam jangka pendek.

Katadata mengetahui, Sri Mulyani telah mengirimkan surat resmi sekaligus dokumen investment plan kepada CIF pada 18 Oktober silam. Dalam surat yang ditujukan kepada Kepala CIF Mafalda Duarte itu, Menkeu menjelaskan berapa banyak dana yang diincar sekaligus apa saja yang akan dilakukan pemerintah.

Surat itu merinci Pemerintah meminta dana sekitar US$ 600 juta berupa pinjaman konsesional dari CIF. Dana ini akan digabungkan dengan US$ 2,2 miliar co-financing dari lembaga multilateral dan US$ 1,3 miliar komersial co-financing. Selain itu, ada juga potensi kontribusi dari pemerintah sebesar US$ 1 miliar. Sehingga jika di total, Indonesia mengincar pendanaan US$ 4 miliar melalui skema ini.

“Tujuan pendanaan ini adalah untuk mengurangi kapasitas berlebih suplai energi dengan mempensiunkan sekitar 1-2 GW beban dasar PLTU dalam kurun waktu 5-10 tahun,” tulis Sri Mulyani, dalam surat yang diperoleh Katadata tersebut.

Dalam keterangan resminya, Sri Mulyani mengatakan rencana pensiun dini PLTU hingga 2 GW itu berpotensi mengurangi 50 juta emisi karbon pada 2030 dan 160 juta ton pada 2040. Guna menampung dana pinjaman tersebut, Kemenkeu menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur sebagai platform untuk menjembatani pembiayaan transisi energi.

Gabungan skema pinjaman US$ 4 miliar dan JETP senilai US$ 20 miliar akan memberikan kesempatan bagi Indonesia memulai proyek transisi energi.

“Semua negara kini akan memperhatikan bagaimana Indonesia bernegosiasi untuk hal-hal detail terkait pendanaan,” kata Justin Guay dari The Sunrise Project.

Namun, total dana US$ 24 miliar atau sekitar Rp 370 triliun itu sebagian besar akan berbentuk pinjaman. Belajar dari proyek JETP di Afrika Selatan, hanya 3% yang masuk ke kas negara sebagai dana hibah. Sejumlah ekonom pun mewanti-wanti Pemerintah agar tidak terjebak dalam utang menggunung demi menyokong proyek transisi energi.

Ekonom Indef Ahmad Tauhid mengatakan pinjaman untuk transisi energi ini sebetulnya termasuk utang produktif. Namun, ia tetap mengingatkan agar pemerintah memperhatikan detail soal suku bunga pinjaman.

Menurutnya, Indonesia harus memilih pembiayaan murah dengan suku bunga di bawah 4%. Tauhid juga menyebut tenor pinjaman juga harus dilakukan dalam jangka panjang, paling tidak 10-15 tahun.

“Kalau untuk pembiayaan dari swasta, harusnya tidak boleh lebih dari SBN [Surat Berharga Negara] kita yang ada di kisaran 7%,” kata Tauhid saat dihubungi Katadata.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Ekonom PT Bank BCA Tbk David E. Sumuel. Menurutnya, transisi energi harus dilakukan dengan hati-hati dalam rentang waktu yang lama. Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu mendorong industri pendukung domestik dan transfer teknologi untuk menghindari beban terhadap neraca transaksi berjalan.

“[Transisi energi] Tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun. Harus dalam rentang 25-30 tahun agar beban dan rasio utang tidak menjadi masalah,” ujarnya kepada Katadata.

Sementara itu, Ekonom Bank Permata, Joshua Pardede sendiri cukup optimistis dengan pendanaan JETP. Menurutnya, dengan dana tersebut pemerintah dapat mendorong inisiatif investasi energi baru terbarukan.

“Mengingat dana transisi energi merupakan soft loan, jadi diperkirakan dampaknya pada utang cenderung akan terbatas,” katanya kepada Katadata.

Mengacu pada data Kemenkeu, rasio utang Indonesia sebetulnya masih tergolong aman. Pada Juli 2022, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 42,17% sedangkan rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 39,56%. Angka ini masih di bawah dari ketentuan batas aman utang Indonesia sebesar 60% yang diatur dalam UU no.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

“Kalau dibandingkan negara maju dan berkembang, rasio utang 42% ini relatif kecil,” kata Menkeu Sri Mulyani, Juli silam.

Pekerjaan rumah transisi energi

Selama beberapa bulan ke depan, Pemerintah Indonesia akan sibuk melanjutkan negosiasi pencairan dana US$20 miliar. Tidak hanya soal detail transaksi, tetapi juga menyiapkan rencana implementasi. Pasalnya, perjanjian JETP datang dengan sejumlah syarat yang mengikat.

Indonesia misalnya harus membatasi emisi puncak ketenagalistrikan tidak lebih dari 290 metrik ton pada 2030. Emisi di sektor ini juga harus mencapai nol pada 2050. Selain itu, bauran energi terbarukan juga harus mencapai 34% di 2030, hampir tiga kali lipat dari posisi saat ini sekitar 12%.

Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Direktur Program  Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan Indonesia harus menyiapkan mekanisme dan regulasi untuk mengakomodir transisi yang berkadilan.

“Kata ‘just’ di inisiatif ini bukan cuma soal lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terdampak,” katanya.

Hingga saat ini, pemerintah memang belum memberikan gambaran jelas bagaimana transisi energi akan dijalankan. Namun, dalam dokumen Investment Plan untuk Climate Investment Fund (CIF) yang diperoleh Katadata, setidaknya bisa dilihat seperti apa rencana pemerintah dalam jangka pendek.

Dokumen itu menyebutkan salah satu tantangan terbesar Indonesia di sektor energi adalah kelebihan kapasitas, terutama dari PLTU-PLTU baru dengan rata-rata umur operasi 12 tahun.

“Ambisi iklim Indonesia cuma bisa dicapai dengan ‘penonaktifan’ [decommisioning] dan/atau ‘penggunaan kembali’ [repurposing] PLTU,” tulis Kemenkeu dalam dokumen tersebut.

Kata ‘repurposing’ menarik dicermati. Menurut Direktur IESR Fabby Tumiwa, ini berarti pemerintah membuka kesempatan PLTU untuk dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, misalnya untuk thermal storage.

“Saya tidak tahu makna definisi yang dipakai di dokumen CIF,” kata Fabby.

Sebagai langkah awal transisi, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru-baru ini mengumumkan akan mempensiunkan 2-3 PLTU berkapasitas 1 GW pada 2030 dan 9 GW lainnya di 2035. Fase selanjutnya, PLN akan mempensiunkan 49 GW PLTU pada 2030-2055.

“PLN akan menjadi pemain kunci dekarbonisasi di sektor energi,” tulis dokumen yang disusun Kemenkeu kepada CIF tersebut.

Dokumen itu merinci, setidaknya ada sembilan PLTU yang akan dimatikan PLN sampai 2030. Ini antara lain PLTU Suralaya Unit 1, 2, 5, 6,7, dan 8. Selain itu, ada juga PLTU Paiton 1 dan 9 serta PLTU Adipala. Sembilan pembangkit ini memiliki kapasitas 4,9 GW dengan nilai buku mencapai Rp 82 triliun.

Ahli Transisi Energi dan Keberlanjutann sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto mengatakan untuk memilih PLTU mana yang harus dipensiunkan perlu melihatnya dari berbagai perspektif.

Selain selain soal usia, perlu juga dilihat dari sisi teknologi dan keseimbangan pasokan. Pasalnya, PLN juga harus menjaga agar suplai listrik tetap merata saat PLTU ditutup.

“Kalau PLTU Suralaya dan Paiton memang sudah selayaknya dimatikan,” kata Dicky kepada Katadata.

Menurut Dicky, transisi energi harus memperhatikan empat aspek. Pertama, terkait dengan teknologi yang diimplementasikan harus lebih hijau dan berkelanjutan ketimbang PLTU.

“Teknologinya juga harus yang bisa diadopsi dan diproduksi di Indonesia,” katanya.

Selain itu, sistem measurement reporting system (MRV) juga harus dipersiapkan dengan matang, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan standar internasional. Dicky menggarisbawahi pengukuran emisi juga harus berdasarkan baseline yang jelas. Aspek ketiga adalah pembiayaan yang transparan dan berkelanjutan. Keempat, aspek keadilan.

Just dalam transisi energi bermakna justice [berkeadilan]. Jangan ada yang tertinggal dalam proses implementasinya,” ujarnya.

Sementara itu, dalam wawancara eksklusif dengan Katadata di sela-sela COP27 di Sharm el Sheikh, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan tantangan utama transisi energi sebetulnya bukan investasi, tetapi aset terlantar berbahan bakar fosil.

“Jadi banyak [aset] yang harus dimatikan, bahkan ada juga di antaranya yang belum lunas,” ujarnya, kepada Katadata.

Darmawan mengatakan saat ini emisi karbon yang dihasilkan dari sektor ketenagalistrikan Indonesia sekitar 228 juta ton per tahun. Jumlah tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi 1 miliar ton per tahun pada 2060.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Darmawan menyebut PLN sudah bisa menghapus pembangunan PLTU batu bara 13 GW. Artinya ada 1,8 miliar ton emisi karbon yang berhasil dihindari.

“Apakah ini sudah cukup? Belum,” katanya.

Darmawan melanjutkan PLN juga telah mengganti 1,1 GW PLTU batu bara menjadi pembangkit EBT, juga mengganti 880 MW pembangkit PLTU dengan gas. Hal ini bisa mengurangi 50% emisi gas rumah kaca.

“Apakah sudah cukup? Belum. Kita rancang penambahan kapasitas dari 2021-2030 sebanyak 51,6% akan berbasis pada EBT,” ujarnya.

Tulisan mendalam ini diproduksi sebagai bagian dari program Climate Change Media Partnership 2022, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Internews’ Earth Journalism Network dan Stanley Center for Peace and Security, dan pertama kali terbit di Katadata pada 17 November 2022.

About the writer

Rezza Aji Pratama

Rezza Aji Pratama is a journalist currently working as an editor at Katadata Indonesia. Rezza has over ten years of experience as a journalist focusing on business and economics. Over the last couple of...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.