Sudah satu tahun menjanda sehingga kini mengurus sendirian warung makan, yang dirintis bersama suaminya 14 tahun lalu, di pojok deretan gudang ikan di Muara Angke.
Suaminya meninggal karena infeksi saluran pencernaan. Sunti menyebutnya dengan istilah umum, muntaber. Gejala diare dan muntah-muntah sebenarnya jadi penyakit kambuhan suaminya selama bertahun-tahun. Tapi, suaminya selalu meyakini kena guna-guna.
“Kata suami, di Muara Angke banyak yang sirik, banyak saingan,” kata Sunti, 49 tahun. Suaminya berobat ke seorang kiai di kampung mereka di Tangerang, “Habis didoain gitu, sembuh.”
Sesudahnya, suaminya memutuskan memilih bertani di kampung. Setahun sebelum meninggal, suaminya kembali ke Muara Angke. Tak lama, muntabernya kembali kambuh.
Suaminya menolak dibawa ke dokter karena khawatir didiagnosis COVID-19. “Nanti dibilang corona, terus nggak bisa kerja,” kata Sunti.
Akan tetapi, kondisi suaminya memburuk, terus-menerus mengeluh tenggorokan dan perutnya terasa panas hingga akhirnya mengalah dan mau diperiksa ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dokter mengatakan infeksi saluran pencernaan suaminya sudah parah. Faktor lanjut usia suaminya yang berumur 60-an tahun, dan lambatnya pengobatan, memperburuk kondisi. Sejumlah alat bantu pernapasan dan selang untuk alat bantu makan sempat dipasang, tapi suaminya tak tertolong.
Muntaber terjadi akibat infeksi dua virus menular, rotavirus dan norovirus, salah satunya karena konsumsi makanan atau minuman terkontaminasi. Pada beberapa kasus, infeksi saluran pencernaan juga disebabkan bakteri Escherichia coli dan Salmonella.
Kala itu dokter mengatakan suami Sunti keracunan air minum.
‘Tak pernah minum air Angke’
Sunti meyakini suaminya tidak keracunan air di Muara Angke. Selama belasan tahun berdagang, mereka tidak pernah sekalipun mengonsumsi air tanah di sana.
“Airnya nggak bagus di sini. Asin. Tiap hari airnya beli. Sejak datang ke sini selalu beli ke tukang pikul,” kata Sunti.
Setiap hari Sunti biasa membeli enam jeriken untuk keperluan warung serta dua jeriken untuk mandi dan mencuci pakaian. Per jeriken seharga Rp5.000. Dengan kata lain, Sunti setidaknya menganggarkan Rp1,2 juta per bulan hanya untuk membeli air bersih.
Penjual air pikulan biasanya membawa gerobak berisi 20 jeriken berisi air jernih yang diambil dari pipa PAM Jaya di Jembatan Dua Muara Angke.
Bagi warga biasa, air bersih adalah barang langka. Menurut Sunti, hanya pelaku industri yang mampu mengebor tanah hingga kedalaman tertentu untuk mendapatkan air.
“Kalau kata tukang bor, [kedalaman] bisa sampai seratus meter,” kata Sunti.
Sunti dan suami punya warung di Muara Angke karena almarhum suami pernah bekerja sebagai kuli angkut ikan di sana. Karena kedekatan dengan salah satu pemilik gudang pabrik, mereka diizinkan berjualan di parkiran dengan gratis, tanpa pungutan maupun bagi hasil sepeser pun. Namun, pemilik gudang melarang mereka menjual atau mewariskan warung kepada pihak lain yang bukan saudara atau anak kandung dari keduanya.
Warung makannya berupa gerobak 1×2 meter persegi, beratap terpal, berada di pojokan parkiran gudang ikan di Jalan Dermaga Baru. Ada kotak kaca menyimpan menu makanan. Bangku panjang dan kursi-kursi plastik mengitari gerobak warung.
Sunti berdagang dari pukul 6 pagi hingga 7 malam. Sarapan, makan siang, dan makan malam adalah waktu-waktu tersibuk. Pelanggan utamanya pekerja gudang ikan di sekitar Pelabuhan Muara Angke.
Dalam satu hari ia bisa menghabiskan beras 5 kilogram. Lauknya dari ikan goreng, ayam goreng, tempe-tahu, sayur-mayur, dan aneka sambal. Ia juga menjual kopi, teh, hingga minuman instan perisa buah. Ada juga roti dan beberapa camilan. Ia membeli stok dagangan, kadang juga berutang, di pasar tradisional Muara Angke.
Untuk masak, Sunti biasanya menghabiskan 1-2 jeriken air bersih. Satu jeriken lain untuk membuat pesanan kopi, teh, dan minuman lain. Selebihnya untuk mencuci alat masak, alat makan, dan cadangan kebutuhan lain.
“Ibu nggak pernah sakit perut karena air di sini. Paling sakit perutnya kalau lupa makan saja,” kata Sunti, berkelakar.
Kaki keriput dan gatal-gatal
Tahun lalu, banjir rob di Muara Angke merendam kawasan gudang ikan selama tiga hari. Itu kejadian terlama dan terparah yang pernah dialami Sunti.
Perbaikan jalan menuju dermaga dalam lima tahun terakhir membuat lahan parkir gudang ikan lebih rendah satu meter dari jalan. Warung Sunti selalu terendam dan paling lama surut saban air laut pasang.
Banjir rob bukan halangan bagi Sunti. Ia tetap berjualan meski warung terendam. Katanya, banjir rob cuma hitungan jam. Pelanggannya tak pernah masalah menembus air rob untuk makan di warungnya.
“Waktu itu pernah banjir sampai sepinggang. Kursi-kursi sampai hanyut. Tapi, saya tetap jualan. Kan, makanannya juga bisa dibungkus,” kata Sunti.
Sunti hafal banjir rob bakal terjadi selama beberapa hari dalam tiga periode berbeda di satu bulan: awal, pertengahan, dan akhir. Biasanya banjir mulai naik pada tengah malam lalu surut jelang sore hari.
“Kalau air laut sudah rob, bisa satu minggu naik-turunnya,” kata Sunti.
Namun, banjir rob lambat laun bikin gerobak warung keropos. Besi-besi penyangga dan paku perekat papan gerobak lebih cepat karatan. Papan kayu lapuk. Ia bahkan merenovasi besar-besaran gerobak warung makannya pada tahun lalu..
“Habis Rp500 ribuan. Ibu juga pasang tali-tali supaya kursi dan meja tempat piring nggak hanyut lagi,” katanya. Perbaikan itu kali ketiga dalam tiga tahun terakhir, lanjut Sunti.
Pendapatan bersihnya bisa Rp25 juta sebulan, dengan keuntungan hingga Rp5 juta per bulan, dipotong kebutuhan membeli air bersih dan membayar kontrakan.
Meski sudah terbiasa, banjir rob sebetulnya membuatnya tidak nyaman.
“Kemarin sampai copot sepatu saya. Kaki jadi keriput. Terendam dari jam 10 sampai jam 2 siang,” kata Sunti yang sejak kebanjiran, selalu berjualan memakai sepatu bot.
Selain itu, bila musim hujan, genangan banjir rob sering membuatnya gatal-gatal.
“Kalau air laut nggak bikin gatal. Tapi, kalau campur air hujan itu gatal-gatal. Sampai nggak bisa kerja.”
Sunti mengaku tak punya harapan panjang untuk warungnya. Ia sudah tidak sanggup mengurus segalanya sendirian. Toh, katanya, tabungannya cukup untuk masa tua.
Perjanjian dengan pemilik gudang membuatnya pasrah apabila suatu saat usaha dan kenangan bersama suaminya membangun warung ini tenggelam bersama banjir rob Jakarta.
Kedua putrinya sudah bekerja dan menikah. Mereka mengaku enggan meneruskan usaha tersebut. “Katanya panas, bau, dan banyak yang sirik.”
‘Tempat pembuangan preman’
Kurdi mengingat Muara Angke pada 1980-an adalah area hutan bakau yang dijadikan lokasi pembuangan mayat korban penembakan misterius (petrus), salah satu operasi keamanan era Orde Baru.
“Namanya Muara Angke, di zamannya petrus ini sarana bangke semua. Pembuangannya bangke,” kata salah satu warga asli keturunan nelayan Muara Angke berumur 60 tahun ini.
“Dulu masih hutan belantara. Jadi, di hutan-hutan itu ada pohon api-api, mirip mangrove. Nah, di situ banyak tengkorak-tengkorak.”
Area sekitar Kali Angke sebelum 1970-an adalah kawasan permukiman nelayan. Pada 1977, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai melakukan pembangunan, penataan, dan pemusatan kegiatan perikanan.
Studi Nidha Nadia bertajuk ‘Sejarah Masyarakat Perikanan Muara Angke’ (1977-1995), menyebut pemerintah hendak menjadikan Muara Angke sebagai satu dari lima pelabuhan pendaratan dan pelelangan ikan unggulan di Jakarta. Pembenahan itu berhasil mendorong produktivitas di Muara Angke.
Data Badan Pusat Statistik tahun 1983 mencatat Muara Angke sebagai kawasan pelabuhan dengan produksi tertinggi di Indonesia. Menyusul setelahnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Kamal, dan Kali Baru di DKI Jakarta, dan Pelabuhan Donggala di Sulawesi Tengah.
Peredaran uang dan kebutuhan tenaga kerja yang besar mendatangkan para migran ekonomi dari berbagai daerah untuk mengadu nasib ke kawasan ini. Ia mengubah kondisi alam Muara Angke.
Pemprov DKI semula mencanangkan program pembukaan lahan seluas 53 hektare, yang sebagiannya ditujukan permukiman nelayan. Akan tetapi, program itu mendorong warga mengubah areal hijau menjadi kawasan perumahan semi-permanen di pinggir Kali Angke hingga ke dekat pelabuhan.
Mulai tahun 1995, saat era Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja hingga periode Sutiyoso, pembangunan mulai diarahkan untuk menyediakan rumah susun bagi nelayan.
“Pak Sutiyoso membongkar rumah tinggal di pinggir kali. Disapu dari ujung ke ujung, dipindahkan, dibikinin rumah susun,” kata Kurdi.
Kurdi mengaku mendapat jatah satu unit di Rumah Susun Cinta Kasih Budha Tzu Chi. “Tapi, karena kebanyakan penduduknya nelayan, pada nggak mau dipindahin ke rusun. Rumah susun itu Bapak kasih ke anak,” kata Kurdi, yang tinggal di kampung nelayan, sekitar 800 meter dari Pelabuhan Muara Angke.
Persoalannya, tinggal di rusun tidak menjamin kehidupan jadi lebih mudah. Persoalan air bersih, misalnya. Saluran air PAM Jaya di rusun tidak selalu deras. Kalaupun mengalir, seringnya berbau, berwarna kuning, dan asin. Ujung-ujungnya, warga tetap membeli air bersih untuk keperluan sehari-hari.
Kurdi pernah mencoba membawa sampel air rusun itu ke kantor PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) di Jatibaru, Jakarta Pusat, berharap mendapatkan penjelasan dan penyelesaian. Namun, katanya, tidak ada respons.
“Saya cuma warga. Tapi juga jangan suruh masyarakat hidup bersih, tapi ternyata problemnya ada di sini, di sistem. Masih mending mandi air laut, asin doang, tapi masih hidup,” kata Kurdi.
Mesin bor industri
Bila sedang tidak melaut, Kurdi bekerja serabutan dari pekerjaan menyapu hingga kuli bangunan. Dari kerja di sana-sini, ia punya banyak kenalan. Salah satunya pengusaha air minum asal Bogor, Jawa Barat.
Pada 2000-an, bapak beranak lima dan satu cucu ini membuka usaha air isi ulang. Modal awal ditanggung pengusaha. Ia hanya perlu menyediakan lahan. Pompa, mesin penjernih dan penyaring air, hingga tangki kapasitas 800 liter, dipasang di belakang rumahnya di Gang Empang.
Usahanya laris. Pelanggannya pelaku usaha industri perikanan dan warga sekitar. Pada tahun-tahun itu, harga satu tangki air Rp200.000. Dengan perhitungan ongkos transportasi dan perawatan, Kurdi menjualnya lagi dengan harga total setara Rp400.000 atau Rp2.000 per galon. Satu galon berkapasitas sekitar 4 liter air. Air isi ulang itu diantar langsung dari Bogor ke Angke.
“Dulu, satu tangki bisa habis sehari,” kata Desti, istri Kurdi.
Baru lima tahun terakhir, usahanya menyusut. Satu tangki habis pada hari ketujuh atau kedelapan. Desti dan Kurdi menduga penyebabnya karena saat ini mulai banyak pelaku usaha yang mengebor air tanah. Selain itu, bisnis air isi ulang sudah menjamur.
Sementara harga jual satu tangki air bersih dari pengusaha saat ini sudah naik hingga Rp650.000. Dengan bertambahnya saingan, sulit bagi mereka menaikkan harga hingga dua kali lipat seperti dulu.
“Beli air tangki seminggu bisa Rp400 ribu sampai Rp500 ribu. Ibaratnya, mereka kalau ngebor Rp30 juta tapi cukup sekali bisa seterusnya,” kata Desti.
Untuk bisa tetap menarik pelanggan yang tersisa, mereka menjual harga per galon mengikuti harga pasaran, reratanya Rp1 juta untuk satu tangki. “Kalau ambil sendiri Rp5.000 per galon, kalau diantar jadi Rp6.000,” kata Desti.
Urusan perawatan mesin dan pompa akan dikerjakan sendiri oleh Kurdi. “Dulu suruh orang yang membersihkan. Ngasih Rp150 ribu,” kata Desti. Setiap keuntungan dibagi tiga: 60% untuk pengusaha, 30% untuk mereka, dan 10% untuk dua pegawai.
Sebagai warga asli Angke, Kurdi sebenarnya jengah dengan tingkah laku industri yang mengebor air tanah hingga kedalaman lebih dari 100 meter. Ia sudah banyak mendengar dan merasakan sendiri banjir rob dan ancaman kampungnya bakal paling rentan tenggelam.
Lantai dasar rumahnya sudah berkali-kali dinaikkan. Jaraknya sekarang sudah satu meter dari jalan. Persoalannya, ia tak punya cukup uang untuk menaikkan atapnya, terlebih sekarang sudah tidak melaut lagi karena usia.
“Sekarang bapak kalau salat, kepala sudah pas nempel ke atap. Mau terus-terusan sampai salatnya bungkuk?” katanya.
Kurdi cuma berharap ada peraturan tegas dari pemerintah soal larangan pengeboran air tanah di wilayah Angke dan pesisir Jakarta Utara lain.
“Air laut melimpah tapi kotor banyak limbah, ruangnya juga makin sempit. Sementara yang di daratnya ngebor. Bapak hitung rumah itu turun tanahnya 15 senti setiap tahun, satu keramik,” kata Kurdi.
Air tanah asin
Beragam penelitian ilmiah menemukan Angke, dan banyak titik di wilayah pesisir Jakarta dan Tangerang, sudah pasti memiliki karakter air tanah yang asin. Merujuk penelitian Assegaf dkk. (2017), hal itu bisa disebabkan tiga hal.
Pertama, intrusi air laut atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan yang kemudian mencemari air tanah. Kedua, air tanah Jakarta berasal dari air laut purba yang terperangkap dalam batuan. Ketiga, perubahan struktur geologi menyebabkan air fosil naik ke lapisan akuifer (lapisan kulit bumi berpori).
Karlina Triana, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan isu spesifik di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia adalah penurunan air muka tanah. Pemicunya pembangunan di daerah pesisir sehingga terjadi eksploitasi berlebihan air tanah dan penambahan beban dari bangunan di atasnya.
“Hal ini menyebabkan terjadinya amblesan tanah atau land subsidence. Diiringi fenomena kenaikan muka air laut secara global, kondisi ini mengakselerasi terjadinya intrusi air laut,” kata Karlina.
Nugraha dkk., dalam studi bertajuk ‘Seawater intrusion mapping using hydrochemical ionic ratio data: an application in northern part of Jakarta groundwater basins, Indonesia’ (2022), menemukan area terpapar intrusi air laut berdasarkan pengamatan di beberapa titik di wilayah pesisir Jakarta selama periode 2015 hingga 2017 terus bertambah.
Bila dilihat dari situasi intrusi air laut pada 2017, wilayah yang sangat terpengaruh intrusi air laut (ditandai warna merah) telah mencapai titik-titik di pesisir Tangerang, sebagian Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan pesisir Bekasi.
Dalam penelitian Nugraha dkk. tidak dijabarkan secara detail sebaran wilayahnya. Sejauh ini juga belum ditemukan penelitian khusus yang menunjukkan seberapa jauh intrusi air laut telah menyusup ke dalam air tanah di Jakarta.
Kendati demikian, sebuah penelitian yang dilakukan di California, Amerika Serikat, pada 2020 menemukan setiap kenaikan permukaan laut setinggi 1 meter, intrusi air laut melalui drainase air tanah diproyeksi bertambah seluas ~230-1.400 meter ke arah darat.
“Intrusi air laut ke dalam akuifer tentunya akan meningkatkan salinitas (keasinan) air tanah dan menurunkan kualitas air untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup,” kata Karlina.
Bila tak kunjung ada intervensi serius, kenaikan air laut yang diprediksi terus meningkat karena pemanasan global bakal memicu kerusakan permanen, terutama pada daerah pesisir.
“Tentunya permasalahan itu berupa penggenangan permukiman, lahan hijau, dan lahan produktif di area pesisir secara permanen. Lahan produktif, misalnya seperti tambak udang dan tambak garam, yang merupakan sumber penghasilan masyarakat pesisir.”
Generasi kejang-kejang
Perkembangan Ito, anak bontot Kurdi dan Desti, berbeda dari bocah usia lima tahun pada umumnya. Hingga kini Ito masih kesulitan bicara. Selain itu, Ito tidak bisa terlalu lelah. Sedikit saja kelelahan, suhu badannya naik.
“Anak ini capek sedikit, anget. Habis lari-lari, tahu-tahu panas. Ini kena 38 derajat saja langsung kejang. Sudah dari umur 6 bulan begitu,” kata Desti, sambil menyuapi Ito makan siang.
“Kita nggak bisa meleng sedikit kalau dia kejang-kejang.”
Sebelum usia 5 tahun, Ito biasanya dirawat inap minimal tiga hari di rumah sakit. Ito sudah pernah dirawat di klinik hingga rumah sakit sekitar Angke, Tangerang, dan kampung Desti di Pekanbaru. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh.
Salah satu dokter di klinik pernah menduga Ito demam tinggi karena sumbatan pada alat kelaminnya. “Katanya [harus] disunat. Tapi, sudah disunat masih begitu juga.”
Desti menanyakan lagi perihal yang sama ke dokter di RS Atma Jaya Pluit, Jakarta Utara. Dokter mengatakan kejang-kejang bisa terjadi karena faktor keturunan.
Bagi Kurdi, pernyataan dokter bisa jadi benar. Pasalnya, keempat anaknya punya riwayat kejang-kejang apabila demam. Kendati begitu, gejala yang dialami keempat anak tidak separah Ito.
Sebuah penelitian di negara-negara Asia Selatan pada 2019 menemukan salinitas (keasinan) air minum di daerah pesisir menyebabkan sejumlah penyakit seperti kardiovaskular, diare, dan infeksi pencernaan. Dalam studi disebutkan rumah tangga yang terpapar salinitas tinggi lebih sering ke rumah sakit. Dan masalah kesehatan ini bisa semakin meningkat karena perubahan iklim.
“Sebenarnya, kalau diraba-raba, mungkin karena masalah lingkungan juga. Fasilitasnya saja begini. Tapi kita mah nggak sekolah. Orang-orang pintar yang lebih tahu,” ujar Kurdi.