Regulasi Produk Bebas Deforestasi UE diharapkan memperkuat upaya perlindungan hutan di Indonesia.

Parlemen dan Dewan Uni Eropa (UE) menyepakati Regulasi tentang Produk Bebas Deforestasi (Regulation on Deforestation Free Products), pada 6 Desember 2022. Organisasi masyarakat sipil menilai, regulasi itu seharusnya memberi harapan di tengah lemahnya perlindungan hutan di Indonesia.

Regulasi UE tersebut mewajibkan operator dan pedagang untuk membuktikan bahwa produknya bebas deforestasi (diproduksi di lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020) dan legal (sesuai dengan semua hukum yang berlaku yang berlaku di negara tempat produksinya).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, regulasi UE itu hadir di tengah melemahnya perlindungan hutan di Indonesia. Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, Perpu Cipta Kerja misalnya, menghapus kewajiban mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30%. Dampaknya, tidak ada tidak ada pasal yang mewajibkan pemerintah melindungi minimal luasan hutan di suatu wilayah.

Melemahnya instrumen perlindungan itu dikhawatirkan hanya akan membuat hutan yang tersisa menjadi perkebunan monokultur seperti sawit, pertambangan dan proyek-proyek infrastruktur. “Hutan dilihat dari sisi ekonominya saja, sehingga tidak dianggap penting untuk melindungi fungsi dan peruntukan dari kawasan hutan itu sendiri,” terang Uli kepada Ekuatorial, Sabtu (11/2/2023).

Di sisi lain, menurut Uli, regulasi UE memandatkan ketertelusuran lokasi dan memastikan transparansi rantai pasok perusahaan-perusahaan. Kemudian, adanya geolokasi, berguna untuk upaya identifikasi, serta pemetaan objek perkebunan.

Sehingga, Uli memandang, respons pemerintah yang menolak regulasi tersebut sebagai keengganan memperbaiki tata kelola sawit, menyelesaikan konflik-konflik agraria di Indonesia, serta memastikan sawit-sawit yang masuk ke UE bebas deforestasi dan pelanggaran HAM.

“Pemerintah cenderung melobi UE untuk mereduksi prasyaratnya, bukan untuk memastikan bahwa Indonesia masuk atau menerapkan prasyarat itu,” ujarnya.

Bagi Greenpeace Indonesia, regulasi UE merupakan alat untuk mengatur produk-produk yang berisiko pada keberlanjutan hutan, terutama sawit. Dengan syarat uji tuntas, pelaku usaha harus bisa memastikan produk-produknya tidak terkait dengan deforestasi.

Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia mengatakan, regulasi UE itu seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan aspek-aspek lingkungan, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Penolakan terhadap regulasi yang ditujukan untuk perbaikan iklim dinilainya bertentangan dengan semangat pemerintah yang dalam sejumlah forum global, sering kali meminta dukungan internasional untuk program-program pendanaan terkait iklim.

“Problemnya di situ, hanya melihat ekonomi saja. Padahal, biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar jika kita menghadapi krisis iklim,” kata Syahrul.

Upaya pemerintah Indonesia dan Malaysia melobi UE juga dipandang Syahrul sebagai tindakan yang tidak menunjukkan komitmen untuk melindungi hutan, keanekaragaman hayati, dan lingkungan hidup. Padahal, UE telah memberi batas waktu terakhir pada tahun 2020. Sehingga, bagi Syahrul lobi politik ke UE menunjukkan dua negara yang terus berhasrat melindungi praktik-praktik deforestasi.

Meminimalisir deforestasi

Melalui regulasi tersebut, UE berniat meminimalisir kontribusi terhadap deforestasi di seluruh dunia, serta mengurangi emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Peraturan ini memungkinkan Uni Eropa menyimpan minimal 32 juta ton karbon per tahun dari impor komoditas dan produk yang tercakup dalam peraturan ini,” ujar Vincent Piket, Duta Besar UE, di Kantor Delegasi Uni Eropa, Jakarta, Selasa (31/1/2023).

Meski telah disepakati, regulasi itu direncanakan baru berlaku antara Mei-Juni 2023, dan diwajibkan bagi operator, atau mereka yang menempatkan produknya di pasar Uni Eropa, pada Desember 2024. Sedangkan untuk usaha kecil dan menengah (UMKM) berlaku mulai Juni 2025.

Nantinya, semua operator yang menempatkan komoditas dan produk di pasar UE harus membuat pernyataan uji tuntas, yang ditempuh melalui 2 pembuktian. Pertama, validasi dokumen yang menunjukkan produk-produk tersebut legal serta bebas deforestasi. Kedua, melakukan penelusuran hingga ke bidang tanah tempat produk diproduksi.

UE juga telah membuat sistem acuan negara atau bagian dari negara menurut tingkat risiko deforestasi dengan kategori rendah, standar dan tinggi. Uji tuntas akan disederhanakan untuk negara berisiko rendah, tetapi meningkatkan pengawasan bagi negara berisiko tinggi.

“Tidak ada hukuman untuk deforestasi di masa lalu. Kami akan melihat ke depan untuk membatasi dan mencegah deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut,” tambah Piket.

Non-diskriminatif

UE menjamin, regulasi itu bersifat non-diskriminatif. Artinya, semua negara dapat terus menjual komoditas mereka di pasar UE, selama operator dapat menunjukkan bahwa komoditas mereka bebas deforestasi dan legal.

Indonesia dan Malaysia, dua negara pemasok minyak sawit terbesar di dunia, merasa keberatan dengan regulasi UE tentang produk bebas deforestasi. Keduanya sepakat melindungi kelapa sawit dari kebijakan yang mereka sebut “diskriminatif dan sepihak”.

Komitmen itu disampaikan dalam gelaran bertajuk “The Palm Oil Industrial Dialogue Between Indonesia and Malaysia, Kamis (9/2/2023). Salah satu agendanya adalah mengunjungi kantor UE di Brussel, Belgia, untuk mengkomunikasikan solusi dan konsekuensi dari peraturan tersebut.

Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, menyatakan bahwa pertemuan tersebut tidak membahas penghentian ekspor kelapa sawit ke UE. “Tidak ada boikot-boikotan. Saya, rasa kita tidak perlu merespons apa yang tidak ada,” jelasnya dikutip dari Antara.

Bagi Indonesia, minyak sawit merupakan industri unggulan di sektor pertanian, dengan nilai produksi sebesar 46,8 juta ton pada tahun 2022. Sebagian besar dari jumlah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Beda definisi deforestasi

Ada masalah dasar yang menjadi perdebatan terkait kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa tersebut, yakni perbedaan definisi deforestasi yang digunakan.

UE menggunakan definisi deforestasi yang ditetapkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Deforestasi, menurut FAO, adalah konversi hutan menjadi penggunaan lahan lain, terlepas dari apakah disebabkan oleh manusia atau bukan. Artinya, deforestasi versi FAO mengacu pada perubahan penggunaan lahan, bukan sekadar berkurangnya tutupan pohon.

Sedangkan, menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009, deforestasi berarti perubahan permanen dari areal berhutan menjadi areal tidak berhutan sebagai akibat dari kegiatan manusia.

Aliansi Iklim Hutan Indonesia, mendefinisikan deforestasi sebagai konversi permanen satu kali dari penutupan lahan hutan alam menjadi kategori penutupan lahan lain. Pengertian ini kemudian dipilih untuk kepraktisan, penyederhanaan dan kejelasan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi kelas penutupan lahan.

Logika umum dari definisi tersebut adalah deforestasi bruto, yang hanya menghitung kehilangan tanpa mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan kembali hutan, serta tidak mempertimbangkan serapan karbon dari pertumbuhan kembali hutan. Sementara, deforestasi netto memperhitungkan kembali tumbuhnya hutan sekunder dan penanaman.

Pramono Dwi Susetyo, penulis buku “Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi” menilai, UE tidak menghendaki adanya agroforestry di dalam kawasan hutan produksi, apalagi di hutan lindung dan konservasi.

“UE mendefinisikan deforestasi berdasarkan komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang diproduksi dan dikeluarkan dari kawasan hutan, tidak terkecuali apakah hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi,” tulisnya dalam sebuah kolom di Agro Indonesia.

Dengan kata lain, deforestasi telah terjadi ketika ruang tumbuh dalam kawasan hutan digunakan untuk komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan.

Bagi Pramono, yang pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dinamika dan dampak perubahan iklim semestinya menjadi momentum yang tepat untuk mendefinisikan kembali pengertian deforestasi di Indonesia.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.