RUU KSDAHE belum mengubah model konservasi yang berpusat pada negara. Padahal masyarakat adat berperan penting dalam konservasi.
“Apakah manajemen lingkungan atau keanekaragaman hayati yang dilakukan masyarakat adat sudah dipelajari dalam sekolah formal dan menjadi rujukan pengelola negara kita?”
Pertanyaan itu disampaikan Putu Ardana, anggota masyarakat adat Dalem Tamblingan, pada media brief bertajuk “Pandangan Masyarakat Sipil terhadap RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE)” di Jakarta, Senin (13/2/2023).
RUU KSDAHE telah diusulkan DPR RI untuk mengganti UU nomor 5 tahun 1990. Pada pertengahan Januari lalu, DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati 718 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), serta membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU KSDAHE.
Namun, RUU itu dinilai belum mengubah model konservasi yang berpusat pada negara. Padahal, masyarakat adat dan lokal disebut punya peran penting dalam konservasi. Dampaknya, perbedaan persepsi antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara sering kali tidak terhindarkan.
Untuk menjembatani perbedaan itu, koalisi masyarakat sipil melalui Working Group Indigenous and Community Conserved Areas Indonesia (WGII) mengajak pemerintah dan perumus undang-undang memperbaiki aspek formil dan materil RUU KSDAHE. Usulan perbaikan tersebut dituangkan dalam naskah “Policy Brief Tujuh Catatan Penyempurnaan RUU KSDAHE Untuk Penguatan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konservasi“.
Putu berharap, RUU itu nantinya dapat mensinergikan perbedaan persepsi tersebut. Dia mencotohkan, di Buleleng, Bali, masyarakat adat Dalem Tamblingan mengusulkan hutan Alas Mertajati sebagai hutan adat, wilayah yang disebut sebagai pura suci. Di sisi lain, pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai Taman Wisata Alam.
“Harapan kami, RUU ini tidak semakin menyulitkan perjuangan masyarakat adat dalam hak-haknya menjaga bentang alamnya,” kata Putu.
Kasmita Widodo, Koordinator WGII Indonesia mengatakan, RUU KSDAHE juga perlu memberi kewenangan lebih pada masyarakat adat. Sebab, dalam peraturan perundangan saat ini, masyarakat adat hanya ditempatkan sebagai mitra konservasi, yang secara struktural merupakan subordinasi dari unsur pelaksana teknis (UPT) di suatu kawasan konservasi.
Meminimalisir konflik
Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ada sekitar 1,6 juta hektare (ha) wilayah adat yang tumpang tindih dengan wilayah konservasi. Sementara, menurut laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) terdapat tumpang tindih peta partisipatif seluas 4,5 juta ha di kawasan konservasi, yang 2,9 juta ha di antaranya berada di dalam Taman Nasional. Sehingga, dalam penyusunan RUU KSDAHE, DPR diminta meminimalisir konflik terkait masalah tersebut.
Data HuMawin menunjukkan bahwa dari 86 konflik kehutanan, sebanyak 27 konflik berada di Taman Nasional, di mana 13 kasus diantaranya merupakan kasus kriminalisasi dan kekerasan.
Nadya Demadevina, Research Coordinator HuMa menilai, untuk meminimalisir konflik antara masyarakat adat dengan kawasan konservasi, penting bagi RUU KSDHAE mengakomodasi pendapat dan kepentingan masyarakat adat, serta mempermudah pengakuan wilayah adat.
Sebab, lanjut Nadya, dalam pertemuan-pertemuan internasional pemerintah sering berjanji akan mengakomodasi hak-hak masyarakat. Misalnya, dengan menyebut masyarakat adat sebagai strategi utama dalam Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030.
“Pemerintah membutuhkan keterlibatan masyarakat adat karena target iklim FOLU Net Sink 2030 tidak mungkin dicapai hanya dengan pengawasan dan penertiban konsesi,” ujarnya.
Selain menimbulkan konflik, tumpang-tindih antara kasawan konservasi dengan wilayah adat itu dinilai menyimpan peluang kolaborasi. Syaratnya, RUU KSDAHE harus memberi ruang pengaturan yang seimbang.
Yance Arizona, pengajar di Fakultas Hukum UGM menjelaskan, pengaturan yang seimbang tadi bisa dibuat dengan menerapkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi.
Padiatapa, terangnya, didasarkan pada pengakuan hak yang melekat pada masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri dan kebutuhan untuk menghormati martabat, pengetahuan dan cara hidup tradisional mereka.
“Namun, RUU KSDAHE belum mengaturnya. Pasal 24 ayat (1) RUU itu hanya mempertimbangkan rekomendasi lembaga pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Yance.
Pengakuan masyarakat adat
RUU KSDAHE diharap bisa berdamai dengan masyarakat adat dengan menyederhanakan mekanisme pengakuan.
Monica Ndoen, Staff Khusus Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, DIM RUU itu masih memberi kewenangan pada peraturan daerah (perda) untuk mengatur pengakuan status masyarakat adat.
Namun, berdasarkan pengalaman AMAN, proses permohonan pengakuan masyarakat adat melalui perda membutuhkan waktu paling cepat 2 tahun. Sementara, anggota AMAN sekarang diperkirakan sekitar 20 juta warga masyarakat adat, yang tersebar dalam 2.512 komunitas.
“Di luar itu kan masih banyak. Tidak mungkin kita harapkan harus perda dulu baru diakomodir,” ujar Monica.
Yance Arizona menambahkan, untuk memudahkan proses pengakuan masyarakat adat, RUU KSDAHE harus mengalihkan kewenangan dari perda atau surat keputusan bupati pada pendataan yang dilakukan pemerintah.
“Contohnya proses pendataan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tidak perlu SK Bupati atau bikin perda, karena setiap individu adalah subjek hukum. Masyarakat adat juga begitu, sudah diakui konstitusi,” kata Yance.
Selain aktif melakukan pendataan, masyarakat juga perlu dipermudah dalam pengajuan informasi komunitas, potensi wilayah konservasi, dan pengetahuan tradisionalnya. Menurut Yance, bentuk akhir dari pendataan ini adalah basis data yang terintegrasi dan berisi informasi tentang masyarakat adat, kearifan lokal, dan areal kelola konservasi masyarakat.