Kolaborasi memperkuat literasi perubahan iklim diperlukan untuk meningkatkan kepekaan publik pada kondisi lingkungan.

Tim peneliti Monash University Indonesia menyebut, politisasi isu perubahan iklim telah menyebabkan polarisasi masyarakat di banyak tempat. Karena itu, kolaborasi memperkuat literasi perubahan iklim diperlukan untuk meningkatkan kepekaan publik pada kondisi lingkungan.

Polarisasi — terbelahnya masyarakat menjadi dua kutub berseberangan — akibat politisasi topik perubahan iklim yang paling segar dalam ingatan tampak ketika, pada tahun 2019, sebuah film dokumenter bertajuk “Sexy Killers“, yang membahas pertambangan batu bara dan kontroversi yang menyertainya, dirilis hanya sepekan jelang pemilihan presiden Indonesia.

Namun, hiruk-pikuk percakapan di media sosial tentang film itu, dinilai justru menenggelamkan narasi pentingnya: penyelamatan lingkungan, perubahan iklim atau transisi energi.

Ika Idris, Associate Professor Kebijakan Publik dan Manajemen Monash University menerangkan, sentimen positif akan mendominasi media sosial ketika membicarakan lingkungan.

Banyak masyarakat yang memaklumi terjadinya kerusakan lingkungan karena mereka melihat negara harus melakukannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat –seperti kebutuhan energi yang dibahas dalam film “Sexy Killers“.

Kajian Ika tentang film dokumenter itu menunjukkan, isu lingkungan hanya dipercakapkan 27% pengguna media sosial. Kemudian, percakapan terkait korban juga hanya 12,2%, sisanya membincangkan si pembuat film dokumenter, pemerintah pusat, dan kandidat politik.

“Pertama, kami rasa, film itu terlalu sulit dipahami masyarakat, khususnya terkait lingkungan dan iklim. Kedua, kami percaya, isu lingkungan dipolitisasi waktu itu,” kata Ika dalam seminar bertajuk “Membangun Literasi Perubahan Iklim di Indonesia”, Kamis (23/2/2023).

Derry Wijaya, Associate Professor Data Science Monash University Indonesia menambahkan, politisasi iklim yang meningkatkan polarisasi di seluruh dunia juga disebabkan karena media yang berbeda punya orientasi politik yang juga berbeda.

Perbedaan orientasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan framing atau, yang disebutnya sebagai “tindakan memilih beberapa aspek realitas dan membuatnya lebih menonjol”. Sehingga, isu yang sama bisa jadi berbeda seturut perspektif.

“Contohnya, satu media melihat iklim dari perspektif ekonomi dan satu media melihat dampaknya pada masyarakat,” kata Derry.

Untuk meminimalisir polarisasi di tengah masyarakat, dia menilai perlunya kajian tentang framing media dengan membuat kolaborasi lintas disiplin ilmu. Tujuannya, memetakan topik yang paling banyak dibicarakan, serta menemukan sudut paling efektif untuk mendorong keterlibatan publik dalam aksi-aksi penyelamatan iklim.

Komunikasi non-persuasif

Salah satu pendekatan untuk meningkatkan kepekaan publik pada tema-tema perubahan iklim adalah melalui komunikasi non-persuasif.

David Holmes, Associate Professor Ilmu Komunikasi dan Media Monash University menerangkan, komunikasi non-persuasif merupakan komunikasi dengan fakta yang mudah dipahami masyarakat umum, disampaikan berulang-ulang oleh sumber terpercaya, dan menargetkan khalayak luas dengan menggunakan beragam kanal.

Jika Anda memberi penjelasan panjang dan seseorang memberi penjelasan singkat … orang-orang akan memilih yang singkat.

David Holmes, Associate Professor, Monash University

Pendekatan ini, menurut Holmes, disebut punya dampak luas dengan tingkat advokasi rendah. Khalayak yang terpapar menunjukkan peningkatan dalam perilaku pencegahan perubahan iklim sebanyak 16% dibandingkan mereka yang tidak terpapar komunikasi non-persuasif.

Bahkan, khalayak yang mendapati informasi tersebut menunjukkan 2,8% peningkatan perhatian pada perubahan iklim, sementara yang tidak terpapar menunjukkan 4,8% penurunan perhatian.

Menurut Holmes, pendekatan itu harus didasari prinsip semakin sering pesan disampaikan secara singkat, semakin tinggi tingkat didengar publik.

“Jika Anda memberi penjelasan panjang dan seseorang memberi penjelasan singkat, seperti infografik, orang-orang akan memilih yang singkat. Mereka tidak punya waktu untuk yang panjang,” terangnya.

Selain itu, pembuat pesan juga harus dapat mengidentifikasi ruang dan topik yang menjadi pusat perhatian publik. Penggunaan sumber terpercaya sebagai penyebaran informasi juga dianggap sebagai strategi penting.

David menilai, sumber terpercaya itu tidak selalu harus ilmuwan. Di Australia, pihaknya bekerja sama dengan koran lokal atau presenter cuaca untuk membagikan data-data sains dalam pertemuan mingguan.

“Kami berkolaborasi dengan memberi data pada reporter iklim, karena mereka tidak punya akses ke situ. Meskipun mereka punya, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan,” lanjut Holmes yang juga menjabat Direktur Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH).

“Di universitas, kami punya grafik desainer, sosiolog yang paham membuat topik itu jadi relevan, kami punya ilmuwan komunikasi yang mengerti cara membuatnya jadi lebih jelas. Jadi, tempat yang tepat untuk ini ada di universitas.”

Pengutamaan narasi pemuda

Pengutamaan narasi pemuda di media massa disebut sebagai salah satu cara menyebarkan pesan-pesan penyelamatan lingkungan yang efektif. Argumentesi itu didasari dari hasil riset Yayasan Cerah pada tahun 2021 yang menyebut, 82% pemuda Indonesia sudah menyadari isu perubahan iklim.

Jika anak-anak muda merasa mayoritas rekannya melakukan sesuatu, mereka juga merasa perlu melakukan itu.

Kunto Wibowo, Universitas Padjadjaran

Dr. Kunto Wibowo, Kepala Pusat Riset Komunikasi, Media, dan Kultur Universitas Padjadjaran mengatakan, media sosial sangat mungkin membentuk sikap yang kemudian mendorong pemuda Indonesia terlibat dalam aktivisme lingkungan.

Tantangannya, mengajak anak-anak muda itu dalam partisipasi yang lebih bermakna. Karena itu, sejak Januari 2021-Januari 2022, dia membuat analisis framing terkait aktivisme pemuda, juga aktivitas media sosial dari organisasi masyarakat sipil. Tujuannya, mengetahui konten-konten media sosial yang menarik anak-anak muda dalam pembahasan lingkungan hidup.

“Kami menemukan pemberitaan yang mengulas aktivisme sebagai narasi utama,” terang Kunto.

Baginya, mengajak anak-anak muda terlibat dan bertindak untuk lingkungan bukanlah hal mudah. Namun, menggunakan contoh yang sesuai dengan periode mereka dipercaya dapat menumbuhkan motivasi untuk terlibat dalam aksi-aksi perbaikan lingkungan.

“Jika anak-anak muda merasa mayoritas rekan-rekannya melakukan sesuatu, mereka juga merasa perlu melakukan itu,” kata Kunto. “Ini seperti kampanye pengetahuan subjektif. Kalau kamu bukan aktivis lingkungan, kamu enggak keren.”

Meski demikian, membuat isu lingkungan menjadi lebih relevan bagi pemuda tetap dianggap pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama-sama. Sebab, dalam penelitiannya Kunto menemukan, kerusakan lingkungan yang terjadi di tempat lain masih belum begitu relevan bagi mayoritas anak-anak muda di Jakarta atau Pulau Jawa.


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.