Empat orang tidak dikenal berupaya membubarkan diskusi bertajuk “Masa Depan Orang Utan Tapanuli dan Ekosistem Batang Toru”, yang berlangsung di salah satu kafe di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (9/3/2023). Sejumlah organisasi masyarakat sipil (ormas) mengecam tindakan itu dan menyebutnya sebagai upaya membungkam demokrasi.
Diskusi tersebut diselenggarakan untuk merespons liputan kolaborasi lima media yang mengulas ancaman Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pada bentang alam Batang Toru, Sumatera Utara. Namun ketika akan dimulai pada sekitar pukul 10.30 WIB, datang 4 orang tidak dikenal yang salah seorang di antaranya, dengan suara keras meminta peserta diskusi bubar.
“Enggak jelas ini, bubarkan acara ini. Enggak boleh, enggak boleh. Bubar, semuanya bubar,” begitu kalimat yang dia teriakkan.
Meski begitu, panitia kegiatan tetap berupaya menjelaskan bahwa diskusi itu dihadiri perwakilan pemerintah sebagai pembicara, yaitu anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan dan Executive Vice President Konstruksi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi PT PLN (Persero) Weddy Bernardi Sudirman.
Salah seorang panitia juga sempat memintanya untuk duduk dan bersikap lebih tenang, namun pria itu justru membanting kursi dan membuat gaduh. Adu pendapat tidak terhindarkan. Selama 15 menit situasi di ruang diskusi semakin tegang, dan mulai reda ketika panitia membawa pria tersebut ke lantai bawah untuk berdialog dan menjelaskan konteks acara.
Karena pelaku masih tidak mau menerima penjelasan itu, panitia kegiatan kemudian memanggil petugas keamanan. Belakangan diketahui, salah seorang di antara mereka menyatakan berasal dari Salemba, Jakarta Pusat, tanpa menjelaskan asal lembaganya.
Setelah upaya pembubaran tersebut gagal, diskusi Orangutan dan PLTA Batang Toru dilanjutkan hingga akhir kegiatan.
Usut upaya membubarkan diskusi
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan organisasi jurnalis mengecam upaya pembubaran diskusi oleh orang tak dikenal tersebut. Mereka juga mendesak pihak berwenang mengusut peristiwa tersebut, agar tidak terulang di kemudian hari.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, tidak menyangka diskusi yang menghadirkan narasumber berimbang mendapat respons sekeras itu. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi yang tidak boleh terulang di masa mendatang.
“Kami meminta pihak kepolisian mencegah kejadian serupa terjadi,” ujarnya.
Joni Aswira, Ketua Umum The Society of Environmental Journalist (SIEJ) menambahkan, jika pembubaran diskusi mendapat pembiaran, maka dampaknya akan mengancam kelangsungan demokrasi. Karena itu, dia meminta pemerintah melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat.
“Pihak yang tidak setuju mestinya mengedepankan pendekatan dialog. Sebab, kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi konstitusi,” terang Joni.
Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA) turut menyayangkan upaya pembubaran tersebut. Mereka mendesak pihak berwenang untuk menyelidiki insiden itu dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakan yang telah dibuat.
FORINA juga menyerukan kepada pemerintah untuk melindungi kebebasan berekspresi dan memastikan keamanan semua warga negara yang ingin terlibat dalam diskusi dan debat publik yang damai.
“Kami percaya bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam diskusi dan debat publik, mengekspresikan pandangan dan pendapat mereka, dan didengar tanpa takut akan intimidasi atau pembalasan,” kata Dr. Aldrianto Priadjati, Ketua FORINA.
Desakan untuk mengusut peristiwa tersebut juga diserukan Komite Keselamatan Jurnalis, lembaga yang terdiri dari 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil. Bagi mereka, jika upaya membubarkan diskusi hanya dibiarkan, aksi intimidasi dan pengancaman dikhawatirkan bisa terulang kembali di masa mendatang.
“Bukti-bukti sudah ada dan terlihat jelas dalam rekaman video. Maka harus ditelusuri apakah insiden itu merupakan aksi spontan individual atau sudah direncanakan dan siapa dalangnya,” ujar Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Erick Tanjung.
Komite Keselamatan Jurnalis menyatakan, diskusi publik yang merespons liputan kolaborasi media massa itu, tidak boleh diganggu apalagi dibubarkan paksa, mengingat pentingnya topik yang dibicarakan.
Mereka mengimbau semua pihak untuk menghargai diskusi hasil liputan jurnalistik sebagai bagian dari kebebasan pers di Indonesia. Pihak-pihak yang merasa keberatan atas sebuah karya jurnalistik diminta mengirimkan hak jawab ke perusahaan media, seturut ketentuan di pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.