Ramadan bisa jadi momen untuk juga membersihkan lingkungan dari sampah. Namun menurut KLHK timnbunan sampah justru naik di saat bulan suci tersebut.

Ibadah puasa di bulan Ramadan menjadi momen untuk merefleksikan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya, khususnya dalam pengelolaan sampah. Penilaian itu tersaji dalam diskusi Pojok Iklim dengan tema “Ramadan Minim Sampah” yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (5/3/2023).

Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, manusia harus menjaga bumi yang menyediakan sumber-sumber kehidupan. Caranya, dengan menjaga keberlanjutan lingkungan, tidak merusak dan mencemarinya dengan sampah.

Baginya, sampah merupakan hasil dari perbuatan mubazir, yaitu sesuatu yang masih berguna dibuang begitu saja. Dalilnya, seperti disebutkan dalam surat Al-‘Isra’ [17]:27 yang menyatakan, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Contoh perbuatan mubazir, masih menurut Hayu, bisa dilihat dari sampah sisa makanan. Sebab, butuh setidaknya 6 bulan, terhitung sejak proses tanam, agar nasi benar-benar bisa dikonsumsi. Artinya, dengan membuang sisa makanan, kita juga membuang keberkahan selama 6 bulan tadi.

Dia menceritakan, Rasulullah Muhammad SAW menjilat jari-jari tangannya sebanyak tiga kali usai makan dan mengatakan kepada para pengikutnya untuk membersihkan dan memakan kembali makanan yang jatuh, serta tidak membiarkannya untuk setan.

“Jadi sebelum makan, kita takar dulu. Kedua, simpan atau bagikan ke orang lain. Ketiga, jika berlebih berikan pada ternak. Keempat, kalau tidak bisa, bagikan untuk pengurai atau untuk jadi kompos,” ujar Hayu.

Sebagai organisasi ulama, aktivis dan cendekiawan muslim Indonesia, MUI menunjukkan komitmen perlindungan lingkungan hidup itu dengan menerbitkan Fatwa nomor 41 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan.

Fatwa itu didasari oleh sejumlah dalil, salah satunya surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ramadan jaga bumi

Upaya menerapkan ajaran agama saat Ramadan juga dilakukan melalui gerakan “Ramadan Jaga Bumi” yang digagas Pengurus Pusat Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Gerakan ini merupakan kampanye untuk mempromosikan gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan selama Ramadan.

Hening Parlan, Koordinator Divisi Lingkungan Hidup, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana PP Aisyiyah menerangkan, gerakan itu bertujuan meningkatkan kesadaran, dan memberi panduan kepada umat muslim tentang menjaga lingkungan selama bulan puasa.

Dia mencontohkan, kampanye eko-ta’jil yang menjadi bagian dari gerakan itu, merupakan ajakan pada masyarakat untuk lebih selektif dalam membeli kebutuhan sahur maupun berbuka puasa. Sebab, sisa makanan yang tidak dikelola dapat menimbulkan bakteri, serta menimbulkan berbagai penyakit, polusi maupun bau.

“Kita ini di bulan Ramadan sering lapar mata, semuanya dibeli. Nah mulai sekarang, mari kita tidak lakukan itu,” terangnya.

Melalui kampanye eko-ta’jil, masyarakat diajak untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Saat membeli makanan, Hening menyarankan pemanfaatan wadah yang mudah didaur ulang atau bisa digunakan berkali-kali.

Setiap bulan Ramadan timbunan sampah diperkirakan naik 20% dan mayoritas adalah sampah sisa makanan.

Sinta saptamirna soemiarno, direktur pengurangan sampah klhk

Bagi Hening, praktik menjaga keberlanjutan lingkungan hidup merupakan nilai-nilai yang telah terkandung dalam ajaran agama dan sudah sepantasnya dijalankan. “Dengan kita mengikuti Ramadan Jaga Bumi, Insyaallah kita akan mempraktikkan nilai-nilai lingkungan yang tercermin dari ajaran agama dan memberikan dampak positif pada bumi dan lingkungan hidup kita,” lanjut Hening.

Ramadhan Jaga Bumi adalah bagian dari gerakan Green Ramadan yang diselenggarakan di sejumlah  negara seperti Indonesia, Jerman, Prancis, Amerika, beberapa negara Afrika dan beberapa negara Arab.

Volume sampah naik saat Ramadan

Ketika sebagian besar masyarakat Indonesia menjalankan ibadah puasa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah timbulan sampah meningkat hingga 20%.

Sinta Saptarina Soemiarno, Direktur Pengurangan Sampah, Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK yang memberi kata pengantar dalam diskusi Pojok Iklim mengatakan, sejak pekan sebelumnya, terdapat dua pemberitaan yang menyebut peningkatan sampah sebesar 5 persen di Kota Padang dan peningkatan sebesar 200 ton di Kota Surabaya.

Fenomena ini disebutnya sebagai ironi. Sebab, Ramadan seharusnya jadi waktu untuk menahan diri serta mengistirahatkan bumi, namun ternyata volume sampah mengalami peningkatan. Sinta menilai, permasalahan ini disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya pertumbuhan penduduk, pengelolaan sampah yang tidak memadai hingga perilaku konsumtif masyarakat.

“Setiap bulan Ramadan diperkirakan timbulan sampahnya naik 20% dan mayoritas adalah sampah sisa makanan. Kalau sampah tidak terkelola, selain mempengaruhi kesehatan makhluk hidup juga berpotensi kerusakan dan pencemaran lingkungan serta perubahan iklim,” ujarnya.

Berdasarkan data KLHK, timbulan sampah pada tahun 2022 tercatat sebesar 68,7 juta ton. Dilihat dari jenisnya, yang terbesar adalah sisa makanan yang mencapai 41,2%. Sementara, dari sumbernya, yang terbesar adalah sampah rumah tangga dengan jumlah 39,2%.

Seturut data-data tersebut, Sinta membagikan beberapa tips untuk mengurangi sampah di bulan Ramadan. Di antaranya, menyusun rencana menu sahur dan berbuka, cek persediaan makanan sebelum berbelanja, membuat daftar belanja, serta tidak menggunakan kemasan plastik sekali pakai saat berbelanja.

Dalam proses penyajiannya, dia menyarankan untuk memisahkan bahan makanan sesuai peruntukan dan waktu pengolahan, masak secukupnya, habiskan makanan tanpa sisa serta memanfaatkan sisa bahan makanan dan sisa makanan sebagai kompos.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.