Rumah setengah tembok berdinding pelupuh berlantaikan tanah itu tampak rapi dan bersih. Beberapa ornamen dari barang bekas ditempatkan di ruang tamu berukuran 3X4 meter, menambah semarak keindahan rumah.
Terlihat ada pohon natal dari botol bekas. Ada juga bunga dari botol bekas yang digantungkan di dinding. Beberapa bentuk susunan bungkus rokok yang belum selesai dikerjakan terletak di meja di sudut ruangan.
“Ini mau dibuat menjadi bunga,” ungkap Albina Abong sambil menunjuk tumpukan bungkus rokok di atas meja di sudut ruangan saat ditemui di rumahnya di Lorong TK Immaculata, Waioti, Maumere, Kabupaten Sikka pada Selasa (21/3).
Perempuan berusia 45 tahun itu selalu mengisi waktunya luangnya di rumah atau tempat kerjanya untuk mengubah sampah menjadi aneka hiasan dan perabot rumah tangga.
Jari-jari beruratnya lihai dalam menggunting, menganyam, menyusun hingga memberi warna pada aneka kriya yang dibuat.
Ia duduk beralaskan karpet merah yang dibentang melintang menutup lantai ruangan yang sedikit berlubang. Semua perlengkapan untuk membuat kerajinan tangan ada di situ. Sampah-sampah plastik minuman yang telah dibersihkan diletakkan di salah satu sisi karpet.
“Satu kerajinan tangan seperti pohon natal membutuhkan sekitar sepuluh sampai 11 botol bekas minuman. Sedangkan untuk hiasan dinding hanya membutuhkan satu atau dua botol bekas saja dan manik-manik hiasan,” ujar Albina.
Sampah-sampah plastik tersebut berasal dari Pasar Tingkat Maumere. Salah satu pasar yang terletak di tengah kota. Disebut Pasar Tingkat karena bagian utama adalah sebuah bangunan dua lantai yang dibagi menjadi los-los tempat usaha.
Di sanalah Albina bersama suaminya, Yosep Loku (47) membuka tempat jahitan. Pasangan difabel ini terampil menjahit dan menjadikannya sumber pendapatan keluarga.
Setiap sore, sebelum pulang ke rumah, Albina biasanya memungut aneka sampah berupa bungkus rokok, botol, hingga bungkusan minuman untuk diubah jadi aneka kerajinan. Hasil olahannya tidak dijual melainkan dipakai sendiri atau diberikan ke teman dan tetangga.
Berdiri di samping kontainer sampah dengan menggunakan sarung tangan plastik, Albina memilah sampah yang ada didalam kontainer tersebut untuk mendapatkan bahan-bahan yang ia butuhkan.
Dia tidak pernah malu karena menurutnya, apa yang dia ambil dari tempat sampah adalah barang yang bisa diubah menjadi barang yang bermanfaat.
“Pada intinya, jikalau memungut sampah di tempat sampah jangan sampai menghambur-hamburkan sampah karena akan membuat kotor area pasar. Ambil saja seperlunya,” ujar Albina.
Albina mulai mengumpulkan dan mengolah sampah menjadi kerajinan tangan sejak anak sulungnya masih berusia setahun. Kegiatan itu berlanjut hingga kini, saat anaknya telah menjadi mahasiswa semester akhir di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, NTT.
Albina yakin usaha mengolah sampah menjadi bagian dari pendidikan karakter bagi enam buah hatinya. Ia selalu mengajarkan mereka agar tidak membuang sampah sembarangan. Mereka juga sering diajak bersama membuat aneka kerajinan dari sampah.
“Saat jenuh menjahit, saya manfaatkan waktu untuk olah bahan sampah jadi keset, hiasan, dan lainnya,” ujarnya.
Apa yang ia kerjakan pun dilihat oleh anak-anaknya. Dan ia yakin sekali kelak kesadaran tentang memanfaatkan sampah bakal diikuti anak-anaknya.
Kini anak pertama dan nomor tiga tengah menempuh pendidikan tinggi di kota Maumere. Anak nomor dua memilih membantu orang tuanya. Yang nomor empat saat ini SMP kelas 8, dan nomor lima kelas 6 SD, sementara si bungsu kelas 3 SD.
Albina bercerita pada awalnya sang suami sempat merasa risi melihat banyaknya kumpulan sampah di rumah.
“Sekarang justru dia malah ikut pungut sampah yang bisa saya olah untuk dibawa ke rumah,” ujar Albina sambil tertawa.
Mengedukasi teman sekomunitas
Albina tidak hanya berbagi ilmu dengan suami dan anak-anaknya. Ia juga memberikan edukasi kepada teman-teman penyandang disabilitas tentang pemanfaatan sampah sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tangan bernilai ekonomis.
Dalam beberapa kesempatan, ia melatih para difabel di wilayah Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, untuk membuat keset dari sisa kain-kain.
“Dalam dua hari, teman-teman disabilitas sudah bisa menghasilkan satu buah keset. Mereka bersyukur karena sudah bisa menghasilkan kerajinan tangan sendiri,” kata Albina.
“Teman-teman disabilitas jangan malu untuk belajar dan manfaatkan barang-barang bekas karena dari barang-barang bekas akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi banyak orang dan akan menjadi pekerjaan pokok jika ditekuni dengan baik dan serius,” sambungnya.
Dominika Du’a, 58 tahun, penyandang disabilitas asal Kewapante, mengaku bersyukur setelah mendapatkan pelatihan dari Albina pada pertengahan 2021 lalu. Bersama 14 penyandang disabilitas lainnya, ia belajar pembuatan keset dari sisa kain tak terpakai.
“Banyak pengalaman yang saya dapatkan dari pelatihan itu, terutama soal bagaimana memanfaatkan barang bekas. Dan sebulan setelah pelatihan, saya punya gagasan mendirikan tempat jahit yang berkembang sampai sekarang,” kata Dominika.
Masalah sampah pasar
Di Pasar Tingkat sendiri, sampah adalah pemandangan lumrah bagi pedagang dan pengunjung. Aktivitas jual beli menyisakan beragam sampah, mulai dari sayuran, plastik, hingga perca.
Setiap hari ada petugas yang mengumpulkan sampah untuk ditempatkan di truk sampah di luar pasar dan selanjutnya dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Wae Rii, Sikka.
Tanpa memilah dan memilih dulu mana sampah plastik, organik atau non-organik, semua dicampur sekaligus di dalam kontener sampah.
PD Pasar, pengelola Pasar Tingkat, mengaku tidak memiliki data pasti berapa banyak sampah yang dihasilkan setiap hari dari lokasi tersebut. Namun Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan Perindustrian Kabupaten Sikka, Yosef Benyamin mengatakan, sampah pasar rutin dibersihkan setiap harinya. Sebanyak 16 petugas secara bergantian membersihkan pasar.
Akan tetapi, kata Benyamin, rutinitas pengangkutan sampah dari pasar ke TPA masih menjadi kendala. Pengangkutan sampah adalah tugas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sikka.
“Terkadang dari Dinas Lingkungan Hidup lamban dalam menangani untuk mengangkut sampah yang ditampung di kontainer sampah di sekitar pasar tingkat yang mengakibatkan sampah menumpuk berhari-hari dan menimbulkan bau yang tidak sedap dan sampah berserakan di badan jalan,” keluh Benyamin.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sikka, Silvester Saka, mengakui bahwa pihaknya sering terlambat dalam mengangkut sampah. Menurutnya, hal itu terjadi karena mereka kekurangan armada.
“DLH hanya memiliki tiga truk dan dua truk arm roll untuk mengangkut sampah dari seantero kabupaten. Total hanya 250 meter kubik sampah yang bisa terangkut setiap harinya,” jelas Silvester. “Masih banyak juga sampah yang tidak terangkut dari dalam kota. Sekitar 80,5 meter kubik setiap hari.”
Persoalan sampah harusnya menjadi pekerjaan bersama semua pihak, tegas Silvester, tidak hanya menjadi pekerjaan DLH. Kerja kolaborasi dan koordinasi semua lini dibutuhkan dalam penanganan masalah sampah.
Silvester juga mengimbau masyarakat agar bekerja sama dalam memerangi sampah dan menjaga kebersihan lingkungan. “Jika tidak, Tempat Pembuangan Akhir seluas 2 hektare yang ditargetkan untuk bisa menampung sampah selama 5 tahun akan lebih cepat penuh sebelum waktunya,” katanya.
Tinggalkan pola lama
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT menilai bahwa penanganan sampah di kabupaten/kota di NTT masih menonjolkan skema “kumpul, angkut, dan buang”. Pola ini dinilai tidak menyelesaikan persoalan dan karena itu mesti ditinggalkan.
Dalam keterangan persnya, Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga menjelaskan bahwa pola atau skema penanganan sampah harus sesuai dengan semangat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sampah, kata Yuvensius, mesti dipandang sebagai sumber daya alam yang bisa diolah menjadi barang ekonomis. Misalnya sampah bisa diolah menjadi pupuk kompos ataupun kerajinan tangan bernilai ekonomis. Karena itu, Walhi NTT mendorong keterlibatan semua pihak dalam mengelola sampah, baik itu pemerintah maupun masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh Albina, menurut Walhi NTT, merupakan sebuah inisiatif yang berdampak positif bagi kesehatan lingkungan. Walhi NTT pun mengapresiasi langkah Albina dalam mendaur ulang sampah plastik.
Koordinator Divisi Media Walhi NTT, Mesron Nome menyatakan, kreativitas Albina harus mendapatkan dukungan dari pemerintah. Dengan begitu, muncul banyak Albina lain yang ikut peduli pada persoalan sampah.
“Inisiatif-inisiatif warga yang berusaha untuk memerangi sampah, meskipun tidak berbanding lurus dengan sampah yang dihasilkan tiap harinya, sangat kami apresiasi,” kata Mesron.
Memanfaatkan kembali sampah-sampah untuk kerajinan tangan demi menyambung hidup, kata Mesron, merupakan langkah kreatif menyelesaikan persoalan sampah, khususnya di daerah perkotaan. “Patut untuk dicontoh,” tegasnya.