Pemilahan sampah rumah tangga bisa memberi keuntungan ekonomi, kesehatan lingkungan, hingga menekan emisi gas rumah kaca.

Pemilahan sampah dari rumah bisa memberi manfaat berlipat bagi masyarakat. Mulai dari keuntungan ekonomi, kesehatan lingkungan hingga menekan emisi gas rumah kaca.

Praktik itu telah dimulai lembaga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) RW 16 Kelurahan Penggilingan, Jakarta Timur, ketika membentuk Koperasi Kompos pada tahun 2021. Idenya, berasal dari kegemaran berkebun ibu-ibu di masa pandemi Covid-19.

Koperasi Kompos kemudian jadi motor pembelajaran anggotanya, untuk memilah sampah sisa makanan dan mengolahnya menjadi kompos.

Shanti Syahril, penggagas Koperasi Kompos PKK RW 16 Penggilingan menceritakan, secara teknis, sistem pengolahan kompos komunal itu dilakukan dengan menjemput sampah sisa makanan yang telah dipilah di tiap rumah.

Setelah itu, mereka mengumpulkan sampah daun dan ranting pohon, mencacahnya, lalu mencampurkannya dengan sampah sisa makanan. Kompos kemudian bisa dipanen dalam rentang 4-6 minggu.

Hebatnya lagi, Koperasi Kompos mengembangkan sistem penjemputan terpilah berbasis data. Mereka menjadikan pemuda-pemudi sekitar sebagai kolektor data yang tugasnya menimbang sampah dapur, mencatatnya, kemudian memasukkan data itu dalam laporan koperasi (contohnya bisa dilihat pada situs web Koperasi Kompos PKK RW 16 Penggilingan).

“Menurut kami, data punya kekuatan dan bisa mencerminkan kontribusi anggota dalam praktik pemilahan tersebut,” ujar Shanti dalam diskusi Pojok Iklim di Jakarta, Rabu (22/2/2023).

Sepanjang 2022, Koperasi Kompos telah berhasil mengumpulkan 14 ton sampah dapur, atau sekitar 300 kg tiap minggunya. Pada tahun itu pula, mereka memproduksi lebih dari 2 ton kompos, yang 39% (820kg) di antaranya didistribusikan pada anggota dan 38%-nya (805 kg) dijual.

“Kalau bicara perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca, kami rasa sistem kompos komunal ini ramah lingkungan, karena kami gunakan sepeda (dalam proses pengangkutan) yang sama sekali tidak ada emisinya,” tambah Shanti.

Di Depok, Jawa Barat, sejak tahun 2014 Pemerintah Kota telah mengembangkan program bernama Partai Ember (ekonomis, mudah dan bersih). Seperti halnya Koperasi Kompos, program ini juga ditujukan untuk mengolah sampah sisa makanan menjadi produk kompos.

Sidik Mulyono, Asisten Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Kota Depok menerangkan, sistem pengolahan ini diawali dengan meletakkan sampah dapur ke wadah makanan di masing-masing rumah, lalu menyalinnya pada ember besar yang terdapat di meeting point, yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Kota Depok.

Di meeting point itu, tiap dua hari petugas Unit Pengolahan Sampah (UPS) melakukan pengangkutan. Begitu tiba di UPS, petugas akan menimbang, memilah, mencacah, dan memfermentasi. Prosesnya diperkirakan sekitar 14 minggu hingga menjadi kompos siap panen.

“Kondisi saat ini, peserta Partai Ember mencapai 220 dari 920 RW (30%), 32 UPS, dan kemampuan mengolah sampah organik di UPS sekitar 90-120 ton per hari,” terang Sidik.

Meski telah berlangsung hampir 10 tahun, Pemerintah Kota Depok tetap merasa perlu membuat perbaikan dalam program Partai Ember ini. Misalnya, mengurangi timbulan sampah di UPS yang disebut menghasilkan emisi dan bau. Juga menambahkan teknologi penggilingan pada kendaraan pengangkut sampah.

“Nanti sampah yang diangkut sudah semi bubur, sehingga sampai di UPS langsung diolah. Ada yang jadi pakan magot, ada yang dikomposting,” kata Sidik.

Kehadiran program Partai Ember menjadi penting untuk mengurangi timbulan sampah di Kota Depok, yang pada tahun 2022 telah mencapai 488.370 ton atau 1.338 ton per hari. Sementara, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung yang luasnya 17 hektare, disebut telah kelebihan kapsitas karena menampung sekitar 900-1.000 ton sampah per harinya.

Selain itu, Sidik menambahkan, sampah atau limbah merupakan empat sektor penghasil emisi di Kota Depok dengan kontribusi sebesar 347,07 Gg CO2eq atau 7,76% dari total emisi kota itu. Angka tersebut hanya berada di bawah transportasi jalan yang menyumbang 2.216,07 Gg CO2eq (49,5%), penggunaan listrik 1.131 Gg CO2eq (25,28%) dan gas di perumahan 856,38 Gg CO2eq (13,09%).

Upaya mengurangi emisi

Sampah sisa makanan dapat menghasilkan gas metana (CH4), yang kemampuannya dalam memerangkap panas di atmosfer disebut 25 kali lebih besar dibanding dengan CO2. Karena itu pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berupaya meminimalisir jumlah timbulan gas metana dengan strategi pengelolaan sampah dari hulu hingga ke hilir.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan beracun berbahaya (PSLB3) KLHK menjelaskan, jumlah timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 68,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, 41,27%  berasal dari sampah sisa makanan dan 32,28% sampah rumah tangga.

“Ketika bicara sampah organik di Indonesia memang ada 2 hal yang harus kita perbaiki, pertama belum dilakukannya pemilahan sampah organik. Kedua, sebagian besar sampah organik masih tertahan di TPA, yang kemudian menghasilkan gas rumah kaca,” terang Rosa.

Sebagai upaya menekan permasalahan sampah di hilir, pemerintah disebut akan mengoptimalkan rantai nilai pengelolaan sampah, yang dimulai dengan memperkuat praktik pemilahan sampah dari rumah, serta mendorong industrialisasi pengolahan sampah.

Pada tahun 2050 pemerintah akan mulai memanfaatkan gas metan sebagai sumber energi.

Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen PSLB3 KLHK

Di sisi hilir, pemerintah berencana menyetop pembangunan TPA di seluruh Indonesia pada tahun 2030. Pada masa itu, sampah di TPA akan dikelola dengan metode landfill mining atau penambangan lahan urug. Harapannya, lokasi pengolahan dapat kembali digunakan, berusia lebih panjang, dan berfungsi untuk tujuan lingkungan lainnya.

“Diupayakan juga tidak ada pembakaran liar di tahun 2031, yang juga menimbulkan emisi gas rumah kaca,” jelas Rosa. “Kemudian, pada tahun 2050, pemerintah akan mulai memanfaatkan gas metan sebagai sumber energi.”

Dia memperkirakan, jika pengelolaan sampah organik dilakukan secara maksimal, maka setiap tahunnya terdapat sekitar 10,92 juta ton sampah yang tidak berhakhir di TPA. Juga, berkontribusi menurunkan gas rumah kaca sebesar 6,834 juta ton CO2eq.

Pada akhirnya, Rosa meyakini, praktik pemilahan sampah dari rumah adalah pekerjaan sepele. Namun, dampaknya teramat besar bagi kesehatan lingkungan.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.