Mengatasi sampah di Pedalangan, Kota Semarang, dari hulu, menjadi solusi efektif guna mengurangi volume sampah menuju TPA.

Tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi persoalan sampah. Namun mengatasi sampah dari hulu menjadi solusi efektif guna mengurangi volume sampah menuju TPA secara signifikan. Salah satunya dengan penerapan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) diikuti penguatan partisipasi masyarakat sekitar.

Di Kelurahan Pedalangan, Kota Semarang, masyarakat berpuluh-puluh tahun menumpang TPS kelurahan lain sebelum dibangun TPS3R pada Agustus 2021. Mereka menggunakan jasa pembuangan sampah secara mandiri. Pada 2019, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) mengajukan permintaan mulai dari RW, kelurahan, kecamatan hingga walikota untuk dibuatkan tempat pembuangan sampah (TPS).

“Permintaan warga ditembuskan Pemkot hingga ke Kementerian PUPR dan direspons dengan cek lokasi yang digunakan sebagai TPS. Luas lahan yang tersedia 4.250 m2, tapi 1.725 m2 telah digunakan untuk masjid sehingga sisanya untuk TPS,” terang Ketua Kelompok Penerima dan Pemanfaat (KPP) TPS3R Pedalangan, Sasminto, saat ditemui akhir Maret lalu.

Tempat pengolahan sampah disetujui Kementerian PUPR dibangun di sisi utara Taman Tirtoagung atau tepatnya di Jalan Tirto Agung Raya, Pedalangan, Kecamatan Banyumanik. Alokasi anggaran yang turun sebesar Rp600 juta untuk pembangunan fisik TPS3R beserta sarana penunjang, seperti satu unit armada kendaraan roda tiga pengangkut sampah, alat pencacah sampah dan pengayak kompos.

Meski mendapat anggaran dari pusat, namun tidak menjamin pengoperasian TPS3R bisa berjalan secara berkesinambungan. Sasminto mengatakan, tidak sedikit TPS3R di lain kota yang akhirnya mangkrak, lantaran sebelumnya hanya bergantung pada biaya operasional yang diberikan pemerintah pusat sebesar Rp10 juta-Rp13 juta selama tiga bulan pertama.

Padahal biaya operasional tersebut sifatnya sebagai stimulus untuk menciptakan kemandirian TPS3R. Sasminto pun memutar otak, mencari beragam cara agar TPS3R Pedalangan bisa bertahan.

Langkah awal yang dilakukan adalah memaksimalkan peran aktif masyarakat untuk ikut pengelolaan TPS3R.  Pendekatan persuasif juga dilakukan pada 16 orang operator pengangkut sampah secara mandiri agar mau bergabung. Meski mendapat penolakan dari para operator lantaran upah yang ditawarkan dinilai rendah yakni Rp1 juta/bulan, justru warga yang bergabung ke TPS3R jumlahnya malah semakin bertambah.

Proses penuh liku ini berjalan di tahun pertama pengoperasian TPS3R, di mana dari jumlah warga yang tergabung semula hanya 128 KK hingga akhirnya mencapai lebih dari 300 KK.

“Di Kelurahan Pedalangan ada 11 RW, tapi dua di antaranya sudah memiliki TPS. Empat RW gabung dengan kami dan 5 RW lainnya belum tertangani, karena kami kekurangan armada. Bahkan saya sampai meminjamkan armada pribadi yang biasanya untuk operasional persewaan tenda, supaya sampah dari 300 KK terangkut semua,” ungkap Sasminto.

Sasminto menerapkan iuran angkut sampah dari rumah warga sebesar Rp30.000/bulan dengan intensitas pengambilan sampah setiap dua hari sekali, jauh lebih murah dari yang ditawarkan operator mandiri sebesar Rp50.000/bulan. Sedangkan besaran iuran yang diterapkan pada pelaku usaha resto maupun kafe beragam yakni mulai Rp50.000-Rp200.000/bulan, dengan intensitas pengambilan sampah setiap hari.

Tidak hanya besaran iuran yang jauh lebih murah, tapi hasil pengolahan sampah dimanfaatkan kembali untuk masyarakat. Dari iuran tersebut dikembalikan lagi 10 persen ke masyarakat dalam bentuk uang.

“Kami kembalikan lagi 10 persen dan diserahkan ke masing-masing RT. Peruntukan uang tersebut biasanya untuk bantuan sosial seperti bantuan berobat pada warga kurang mampu maupun santunan anak yatim,” bebernya.

Penguatan partisipasi masyarakat

Sasminto menyadari bahwa memaksimalkan penanganan sampah dalam jangka panjang diperlukan inovasi dari hulu atau sumber. Karena itu, perlu penguatan partisipasi masyarakat sekitar. Sebab jika pengelolaan di hulu berhasil, maka dapat pula menekan anggaran pengangkutan dan masyarakat dapat berhitung nilai ekonomis sampah.

Begitu pun jika sampah terpilah sejak dari sumbernya maka penanganan berikutnya menjadi lebih gampang dan tidak banyak  yang mesti  diangkut ke tempat pemrosesan akhir (TPA). Itu sebabnya, revitalisasi peran lingkungan dalam pengelolaan hulu sampah sangat strategis.

Ia pun mendorong masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik sebelum diangkut ke TPS3R. Saat ini sudah ada satu RT yang bersedia memilah sampah mereka secara mandiri. Sebagai bentuk apresiasi, warga di RT 5 RW 2 itu mendapat pengembalian insentif sebesar 12 persen dari iuran sampah yang mereka bayarkan setiap bulannya.

Edukasi meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah tidak berhenti di situ saja. Sasminto dan Ali Dulkamid (Sekretaris TPS3R Pedalangan) secara bergantian memberikan penyuluhan ke siswa sekolah dasar tentang pentingnya memilah sampah sejak dini.

“Kami punya mindset kebiasaan memilah sampah dilakukan pada anak sejak dini jauh lebih efektif. Sebab aktivitas berulang itu nantinya akan membentuk perilaku mereka hingga dewasa,” imbuhnya.

Ironinya, selama ini masyarakat cenderung enggan memilah sampah lantaran beranggapan sudah membayar iuran. Selain itu, aktivitas masyarakat perkotaan yang lebih tersita waktunya oleh rutinitas kerja.

Adapun kondisi tempat pengolahan sampah di TPS3R Pedalangan dikelola murni secara mandiri. Bahkan intervensi pemerintah hanya sebatas tahap sarana dan prasarana alat transportasi.

…Kebiasaan memilah sampah dilakukan pada anak sejak dini jauh lebih efektif. Sebab aktivitas berulang nantinya akan membentuk perilaku mereka hingga dewasa

Sasminto, Ketua KPP TPS3R Pedalangan

Volume sampah dari rumah tangga dan tempat usaha yang diangkut setiap harinya mencapai 28,25 ton. Sampah tersebut dipilah menjadi dua yakni organik dan anorganik. Untuk sampah anorganik sebanyak 11,384 ton/hari masih dipilah lagi, menjadi sampah yang bisa didaur ulang dan bernilai jual, serta sampah residu yang nantinya akan dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sedangkan sampah organik sebanyak 2,825 ton diolah menjadi kompos dan makanan maggot. Selama enam bulan pertama pengopersian TPS3R Pedalangan, residu yang dikirim ke TPA cuma 10 persen. Itu artinya efektivitas pengolahan sampah di TPS3R ini bisa sampai 90 persen.

Saat itu, masih ada 14 orang petugas pengangkut dan pemilah. Tapi bulan bertambah bulan mereka berhenti.

“Kami tidak mampu lagi memberikan gaji, karena jumlah nasabah belum sebanyak sekarang. Tiga bulan pertama, saya dan Pak Ali rela tidak digaji agar biaya operasional dari pemerintah pusat bisa mencukupi untuk membayar gaji karyawan yang saat itu berkisar Rp 750 ribu-Rp 800 ribu/bulan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, menurutnya, tidak sedikit orang yang terkecoh ketika ingin bekerja sebagai petugas sampah di TPS3R Pedalangan. Mereka mengira tempat pengolahan sampah ini mendapat pendanaan besar dari pemerintah pusat secara terus menerus. Padahal stimulus biaya operasional hanya diberikan untuk tiga bulan pertama. Bulan-bulan berikutnya TPS3R harus mandiri.

Meski pendapatan Sasminto sebagai pengusaha persewaan tenda telah mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan, tapi ia tidak ingin TPS3R ini mangkrak. Sesekali ia rela ikut mengambil dan memilah sampah.

“Saya tidak ingin TPS3R ini berhenti beroperasi. Harusnya konsep pengelolaan TPS3R ini direplikasi, karena terbukti ada pengurangan sampah di hulu signifikan sampai 90 persen,” terangnya.

Sasminto dan Ali Dulkamid berpikir keras, mencari cara agar masih ada petugas sampah yang bertahan di TPS3R. Keduanya mencarikan sumber pendapatan tambahan bagi empat petugas sampah, selain gaji yang diterima dari iuran warga sebesar Rp 1,5 juta/bulan.

Sirkulasi tambahan penghasilan itu berasal dari penjualan sampah anorganik yang sudah dipilah lalu dijual ke pengepul setiap dua minggu sekali. Masing-masing petugas bisa mendapatkan tambahan sebesar Rp 500 ribu/bulan. Total pendapatan yang mereka terima sebesar Rp 2,1 juta/bulan.

Adapun pemasukan TPS3R untuk operasional bulanan murni dari penjualan maggot berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta. Sedangkan penjualan sampah pilahan TPS3R hanya mengambil 10 persen, sebab sisanya untuk tambahan penghasilan petugas.

Sasminto menambahkan, pemasukan TPS3R masa mendatang masih akan mengandalkan budidaya maggot selain ada usaha tambahan seperti penjualan pupuk dan bibit serta budidaya ikan air tawar.

“Budidaya maggot masih bisa dikembangkan dengan menambah biopond berukuran besar. Saat ini, kami sedang uji coba membuat pupuk cair dari lindi atau tetesan cairan sampah sebelum dipasarkan luas,” imbuhnya.

Edukasi potensi sampah

Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro (Undip), Prof Syafrudin menjelaskan, minimnya kesadaran masyarakat dan terbatasnya layanan pengelolaan sampah mengakibatkan pengelolaan sampah menjadi tidak optimal. Di sisi lain, infrastruktur dan pelayanan dalam pengelolaan sampah juga tidak terkelola dengan baik.

“Paradigma dan perilaku masyarakat harus berubah. Sumber sampah berasal dari pola pemilahan di tingkat rumah tangga yang tidak baik,” tuturnya.

Menurutnya, potensi sampah menjadi sumber daya harus dimaksimalkan oleh pemerintah. Jika hal itu dilakukan akan mengurangi penumpukan sampah di TPA Jatibarang yang kini mencapai 7 meter lebih, serta menjadi pemantik perekonomian masyarakat.

Meski demikian, lanjutnya, diperlukan kesadaran lebih dari masyarakat dan edukasi terkait potensi sampah bisa menjadi sumber daya ekonomi dan energi. Ia pun membeberkan potensi perekonomian dari pengolahan sampah secara detail.

Berdasarkan survei yang dilakukan Prof Syafrudin pada 2019, nilai ekonomi sampah plastik berdasarkan harga lapak kecil di Kota Semarang di angka Rp146 juta lebih setiap harinya. Jumlah tersebut baru sebatas sampah plastik, belum sampah logam dan jenis lainnya. Jadi jika diolah dan pilah lalu dijual sampah bisa jadi pembatik perekonomian masyarakat.

“Bahkan saya sempat melakukan survei kecil terhadap pendapatan pemulung di Kota Semarang, mereka bisa mendapatkan Rp150 ribu hingga Rp300 ribu perhari dari sampah yang mereka pilah dan dijual, jika ditotal selama satu bulan hasil tersebut melebihi gaji ASN Golongan IVE,” lanjutnya.

Dari 28 lokasi TPS3R di Semarang, hanya empat yang dikelola secara profesional dan beroperasi dengan baik

Rukuh Setiadi, dosen Undip

Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari menjelaskan, tantangan ekonomi sirkular kini berkutat pada pemilahan sampah dan daur ulang. Konsep bank sampah, misalnya, selama ini hanya berjalan efektif di beberapa daerah. Bank sampah sangat dipengaruhi oleh keaktivan warga memilah sampah di lingkungan setempat.

Terpisah, Rukuh Setiadi, dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Undip bersama Yayasan Bintari melakukan penelitian soal sampah di bawah program Pilah (Peningkatan Daur Ulang dan Kolaborasi Pengelolaan Sampah), yang merupakan bagian dari program hibah dari USAID, menyimpulkan bahwa pembangunan TPS3R dan bank sampah menjadi dua program andalan pemerintah daerah untuk mencapai target pengurangan sampah hingga 30% pada tahun 2025.

“Sayangnya, kedua program ini masih menemui kendala di lapangan dan membuat masyarakat menjadi skeptis terhadap upaya pemilahan sampah yang merupakan upaya awal penting dalam mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir,” ungkap Rukuh yang juga menjadi konsultan Yayasan Bintari.

Keterbatasan fasilitas di TPS3R dan bank sampah juga menjadi masalah. Pemerintah kota seperti di Semarang contohnya terlihat kewalahan memberikan bantuan sarana dan prasarana pendukung untuk bank sampah, seperti gudang, mesin pencacah, armada angkut, maupun pendampingan tentang pengelolaan fasilitas TPS3R. Selain itu, pengelolaan sampah di daerah berjalan tidak maksimal karena tidak ditangani oleh orang yang profesional dan ahli di bidang persampahan.

“Dari 28 lokasi TPS3R di Semarang, hanya empat yang dikelola secara profesional dan beroperasi dengan baik.”

Rukuh merekomendasikan beberapa upaya untuk mendorong kegiatan pemilahan masyarakat di perkotaan. Pertama menghubungkan sistem TPS3R hingga ke tingkat rumah tangga. Hal ini bisa dilakukan dengan misalnya memberikan bantuan atau subsidi (baik secara penuh atau parsial) tempat pilah sampah di tingkat rumah tangga, bantuan gerobak dengan pengumpulan terpisah (organik dan anorganik) dari rumah tangga ke TPS3R, dan pengadaan moda pengangkutan terpisah dari TPS3R ke industri daur ulang. Kedua, penguatan keterampilan dan pengetahuan para operator TPS3R dan bank sampah, sehingga tidak sekadar memberikan bantuan fasilitas atau peralatan.

“Pemerintah kota perlu berkomitmen untuk pendampingan yang lebih lama sehingga TPS3R dan bank sampah bisa mandiri dan beroperasi dengan benar. Misalnya, pemerintah kota bisa mempekerjakan tenaga pendamping lapangan untuk kegiatan daur ulang,” bebernya.

Volume sampah meningkat lagi

Kepala DLH Kota Semarang, Bambang Suranggono mengatakan, semakin melandainya kasus Covid-19 ternyata berdampak terhadap peningkatan jumlah volume sampah di Kota Semarang.

Berdasarkan data dari DLH, sebelum pandemi produksi sampah mencapai 1.437 ton per hari. Sedangkan saat pandemi, atau sekitar awal tahun 2020, sampah mengalami penurunan mencapai 900 ton per hari.

Namun saat ini sampah yang diproduksi masyarakat Kota Semarang kembali meningkat. Rata-rata sampah yang dibuang ke TPA mencapai 1.110-1.150 ton per hari. Dari produksi sampah sebanyak itu, sekitar 15 hingga 17 persennya merupakan sampah plastik.

Dalam Kebijakan dan Strategi Daerah tentang Pengelolaan Sampah, Kota Semarang ditargetkan mampu mengurangi produksi sampah hingga 30 persen. Hingga saat ini baru terkurangi sekitar 26 sekian persen.

Bambang menjelaskan telah diluncurkan berbagai kebijakan dan inisiatif yang relevan untuk membantu mengatasi masalah pengelolaan sampah, seperti program kantong plastik berbayar untuk meminimalkan jumlah sampah plastik, menetapkan jalur khusus untuk truk sampah, dan memasukkan pengolahan sampah ke dalam Projek Energi Listrik kota di TPA Jatibarang.

Upaya lain adalah memberdayakan bank sampah. Hingga saat ini di Kota Semarang terdapat lebih dari 500 rintisan bank sampah yang tersebar di 16 kecamatan di Ibu Kota Jawa Tengah itu. Dari jumlah tersebut, hingga 2023 ini ada sekitar 125 bank sampah sudah aktif beroperasi.

“Tahun ini terdapat 16 pilot project bank sampah yang lima di antaranya diharapkan menjadi rumah pilah sampah,” kata Bambang

Rumah pilah sampah ini yang nantinya akan menjadi cikal bakal terbentuknya kampung pilah sampah. Berbagai upaya pengelolaan sampah dari tingkat rumah tersebut merupakan bagian dari upaya menelan produksi sampah dari tingkat hulu. Berkurangnya produksi sampah juga akan memotivasi masyarakat untuk memperoleh pendapatan tambahan dari kegiatan pemilahan sampah anorganik. Dalam upaya memberikan penghasilan tambahan itu, Dinas Lingkungan Hidup juga mengupayakan standarisasi harga jual sampah-sampah plastik sehingga bisa tercapai keseragaman.

Lebih lanjut, Bambang mengapresiasi upaya DoW Indonesia (perusahaan material science global) yang bekerja sama dengan LSM Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari) menyelenggarakan program pendampingan bank sampah dengan TPS3R sebagai tulang punggung aktivitas daur ulang, serta mengadakan kegiatan yang mendorong sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, masyarakat khususnya pelaku kegiatan di bank sampah lokal, pemerintah daerah dan kelurahan, sampai pengusaha.

“Pendampingan bank sampah dan TPS3R merupakan salah satu kunci dari program unggulan Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang di tahun 2022, yakni gerakan implementasi ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah hulu perkotaan,” kata Bambang.

(Bagian terakhir dari dua tulisan)


Liputan ini didukung oleh program Story Grant yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melalui Ekuatorial.com dengan tema besar “Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan untuk Alam.” Tulisan terbit pertama kali di Suaramerdeka.com pada 1 Juni 2023.


Baca juga:

About the writer

Hartatik

Hartatik is an editor at Suara Merdeka daily newspaper, based in Semarang City, Central Java, and has 14 years of experience as a journalist. She has an interest in covering environmental issues, climate...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.