Budi daya maggot membantu penguraian sampah organik, tidak merepotkan dan bernilai ekonomi tinggi.

Hari mulai beranjak siang. Sinar matahari kian terik. Sasminto membuka baju dan hanya mengenakan celana pendek, ia bergegas menuju bangunan berukuran 4×2 m2 yang berada di belakang Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) “Pedalangan Bersinar”, Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Pria berusia paruh baya ini mengaduk-aduk sisa sampah makanan yang diambil dari puluhan resto dan kafe. Residu sampah organik ini ia berikan untuk makanan maggot.

Maggot adalah larva dari lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF) yang biasa dijadikan pakan ikan dan unggas. Menurut penelitian Dortmans B dkk dalam jurnal “Black Soldier Fly Biowaste Processing: A Step-by-Step Guide”, penguraian sampah organik oleh maggot dapat menurunkan berat basah sampah hingga 80%.

Maggot hidup subur dengan mengkonsumsi limbah sampah organik rumah tangga, sampah sayur-sayuran hingga limbah sampah organik lainnya. Sementara sisa-sisa sampah organik yang tidak termakan oleh maggot bisa menjadi pakan ternak unggas.

Karena itu, Sasminto juga memutuskan untuk memelihara ayam, entok dan bebek. Hasil penjualan ternak tersebut bisa untuk menambah insentif karyawan saat Lebaran.

Sudah dua tahun lebih, budidaya maggot menjadi nilai tambah ekonomi bagi TPS3R yang berdiri di atas bangunan  seluas 220 m2. Meski menjabat Ketua Kelompok Penerima dan Pemanfaat (KPP) TPS3R Pedalangan, Sasminto tidak segan turun langsung. Bahkan bisa dikatakan, ia seorang diri yang mengelola budidaya maggot.

“Siapa lagi yang mau ngurus beginian, kami kekurangan tenaga. SDM yang ada hanya empat orang, fokus pada pengangkutan dan pemilahan sampah,” ungkap pria yang memiliki usaha persewaan tenda dan peralatan pesta pernikahan Satria Tenda ini, saat ditemui akhir Maret lalu.

Sasminto mengatakan, budidaya maggot ini muncul dari keprihatinan TPS3R yang tidak dapat menjual kompos. Padahal saat itu, produksi kompos dari sampah organik bisa mencapai  1 ton. Instansi pemerintah yang semestinya menjadi konsumen terbesar justru menolak, dengan dalih pupuk kompos tersebut belum melalui uji kualitas laboratorium.

Padahal uji kualitas tersebut tidaklah murah. Untuk uji satu variabel saja, Sasminto pernah menanyakan ke laboratorium salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang biayanya sekitar Rp250.000. Sedangkan tidak ada anggaran khusus terkait uji laboratorium tersebut.

“Akhirnya kami hentikan produksi pupuk kompos. Kami hanya melayani penjualan kompos sesuai pesanan dan biasanya dijual satu paket dengan bibit tanaman buah,” imbuhnya.

Setelah produksi kompos terhenti, Sasminto berpikir dan mencari cara agar sisa sampah organik dari kafe serta resto itu bisa termanfaatkan. Ia pun mencari informasi via internet dan menemukan tutorial budidaya maggot.

Gayung bersambut, Sasminto mendapat tawaran secara gratis untuk belajar budidaya maggot di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang. Lahan yang dulunya digunakan sebagai tempat kontainer sampah disulap sebagai kandang lalat BSF dan budidaya maggot.

Tidak hanya tenaga, Sasminto rela merogoh kocek pribadi untuk pembuatan kandang lalat BSF dan rak biopond maggot. Hasilnya sepadan dengan perjuangan anggota Satgas Covid-19 ini. Menurutnya, permintaan maggot tinggi lantaran bisa mencapai 1 ton per minggu. Permintaan itu datang dari peternak ayam petelur di Batang.

“Kemampuan kami hanya 1 kuintal dan cukup dijual ke komunitas penjual maggot atau biasa disebut parang,” katanya

Satu kilogram maggot dijual ke tengkulak Rp5.000/kg. Jika dijual eceran ke peternak bisa Rp10.000/kg.

Maggot bisa digunakan untuk pakan ikan, ternak, maupun burung. Bahkan kulit maggot atau kepompong revulva bisa digiling menjadi tepung pelet dengan harga jual Rp7.000-Rp8.000/kg.

“Harusnya panen maggot bisa setiap hari, tapi karena tenaga terbatas dan orientasi di sini bukan bisnis maggot melainkan pengurangan sampah,” kata Sasmito.

Menurutnya, budi daya maggot merupakan solusi yang sangat menjanjikan untuk permasalahan sampah apalagi banyak berdiri kafe dan resto di wilayah Kelurahan Pedalangan. Sedikitnya ada 35 tempat usaha yang sudah menjadi nasabah TPS3R Pedalangan.

Karena bisa mengurai sampah organik hingga 80 persen, budi daya maggot menjadi solusi yang efisien. Apalagi volume sampah organik dari 300 KK rumah tangga dan 35 resto/kafe yang masuk bisa sampai 2.825 kg per hari.

“Bisa dikatakan sampah organik di sini tidak ada yang tidak termanfaatkan. Budi daya maggot pun tidak butuh modal, karena pakannya dari sayur dan buah busuk, limbah resto serta kafe sehingga TPS3R di sini termasuk paling produktif,” imbuh Sasminto.

TPS3R Pedalangan termasuk satu dari lima TPS3R yang aktif di Kota Semarang. Total ada 25 lokasi TPS3R di ibu kota Jawa Tengah tersebut, namun hanya TPS3R Pedalangan yang dikelola KPP dan berstatus badan hukum.

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang juga memanfaatkan maggot untuk mengurangi sampah organik di TPA Jatibarang. Pengelola dan pengembang maggot di TPA Jatibarang, Joko Hartono menjelaskan, satu kilogram maggot bisa menghabiskan sampah organik 3 kg sampai 5 kg.

Ternak maggot, menurut Joko, sangat sederhana di mana tidak butuh air dan listrik. Ternak maggot bisa dari berbagai skala mulai rumahan, menengah, bahkan industri.

Kepala UPT TPA Jatibarang Wahyu Heryawan menambahkan,  maggot merupakan hewan yang unik. Belatung ini tidak berhenti mengunyah selama 24 jam serta mampu memakan makanan dua kali lipat dari bobot tubuhnya. Saat diberikan makanan sampai lima kali dalam sehari pun pasti akan dilahap habis.

“Budidaya maggot ini perlu diterapkan di semua TPA dan TPS. Perkembangbiakannya sangat cepat, cara berternaknya mudah, tidak merepotkan dan justru punya nilai ekonomi tinggi,” tukas Wahyu. (Bersambung).

Baca bagian ke-2: TPS3R solusi atasi sampah di hulu: Beban ganda, minim dukungan SDM


Liputan ini didukung oleh program Story Grant yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melalui Ekuatorial.com dengan tema besar “Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan untuk Alam.” Tulisan pertama dari dua bagian ini terbit pertama kali di Suaramerdeka.com pada 31 Mei 2023.
About the writer

Hartatik

Hartatik is an editor at Suara Merdeka daily newspaper, based in Semarang City, Central Java, and has 14 years of experience as a journalist. She has an interest in covering environmental issues, climate...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.