Walau berpanorama indah bagi para wisatawan, penduduk asli Pulau Sebesi masih hidup di tengah beragam kesulitan.

Sehari, dua hari, bahkan mungkin sebulan tinggal di sebuah pulau kecil, seperti Pulau Sebesi, mungkin akan menyenangkan untuk para wisatawan.

Pulau yang terletak di Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan ini merupakan salah satu destinasi wisata di Provinsi Lampung. Sebesi adalah pulau terbesar dari 16 pulau di Rajabasa. Luasnya 2.620 hektare.

Pulau ini bisa diakses melalui Dermaga Canti yang letaknya sekitar 154 km dari Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung, atau satu jam perjalanan darat dari Pelabuhan Bakauheni.

Dari Dermaga Canti menuju Sebesi dibutuhkan waktu berlayar sekitar 1,5 hingga 2 jam. Setiap harinya ada dua hingga empat perahu yang melayani penumpang dari dan menuju pulau tersebut.

Tiba di tujuan, para turis dapat menikmati suasana alam yang begitu mempesona. Anak Krakatau di kejauhan, deretan tanaman pohon kelapa, pasir yang begitu bersih, biota laut yang sesekali berlarian ke tepian pantai amat memanjakan mata.

Angin sepoi-sepoi diiringi dengan deburan ombak, lalu lalang perahu kecil yang ditumpangi nelayan yang sumringah membawa hasil tangkapan nan segar, bisa membuat pikiran ini rehat sesaat dari hiruk pikuk keramaian kota.

Tetapi, apakah kenyamanan serupa juga dirasakan oleh warga lokal, penduduk setempat yang sejak lama tinggal di pulau tersebut?

Saya penasaran dan berupaya mencari tahu bagaimana kehidupan sehari-hari warga di Pulau Sebesi.

Ternyata, bagi warga pulau tersebut, kehidupan tidaklah seindah pemandangan alam atau bayangan. Mereka harus siap menanggung risiko tinggal di pulau yang relatif terpencil itu. Saya bisa katakan bahwa orang yang tinggal di pulau kecil adalah orang-orang yang kuat.

Maysaroh (52), salah satu warga asli Desa Tejang, Sebesi, yang saya temui akhir Juni lalu, menceritakan bagaimana sulitnya hidup di sebuah pulau kecil.

Ia berkisah mengenai sulitnya mendapatkan layanan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil dan melahirkan di pulau tersebut. Hanya ada tiga bidan yang bergantian melayani 2.785 penduduk dari 815 kepala keluarga.

Beberapa bulan yang lalu, kata Maysaroh, ada seorang ibu melahirkan tetapi bidan setempat tidak berani mengambil tindakan medis lantaran kehamilannya beresiko tinggi. Tindakan medis yang cepat dan tepat pun tidak bisa diberikan kepada ibu tersebut lantaran transportasi ke luar pulau yang tak mendukung.

Setiap harinya hanya tersedia dua kali waktu penyeberangan dari Sebesi ke Dermaga Canti, yakni pukul 7 pagi dan pukul 3 sore. Bagaimana jika kaum perempuan yang akan melahirkan atau pasien lainnya harus mendapat tindakan yang cepat di luar dari jam tersebut?

Sang ibu tadi akhirnya mengembuskan napas terakhir di kapal yang tengah membawanya ke Dermaga Canti setelah sempat melahirkan anaknya dengan selamat. 

“Ya mau bagaimana lagi, memang ini (tinggal di Sebesi, red.) pilihan kami,” kata Maysaroh.

Aliran listrik dan pendidikan adalah masalah lain yang harus mereka hadapi saat hidup di pulau kecil. Warga Pulau Sebesi baru merasakan listrik mengalir 24 jam sejak Maret 2020. Setelah selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya hanya mengalir selama 6 jam per hari.

“Dahulu, hanya gedung impres yang bisa mengakses aliran listrik penuh, sisanya warga hanya bisa mengakses sampai pukul 12 malam,” kata Rahmad, warga pulau tersebut.

Soal pendidikan, saat ini hanya ada dua SD Negeri dan masing-masing satu SMP dan SMA swasta di daerah tersebut.

Rawan bencana

Risiko lain yang mengancam adalah bencana alam. Pulau Sebesi hanya berjarak 10,7 mil dari laut atau 20 km dari Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. 

Masih hangat dalam ingatan kita, bencana tsunami akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang melanda perairan Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018.

Ketika itu, menurut Maysaroh, penduduk Pulau Sebesi menjadi yang paling akhir mendapatkan pertolongan.

“Ketika itu, awan begitu gelap karena kepulan asap dari Gunung Anak Krakatau,” kisah Maysaroh.

Saat melihat air laut tiba-tiba surut –salah satu tanda akan datangnya tsunami– penduduk segera lari ke pegunungan, meninggalkan harta benda mereka. Setelah tiga hari dalam ketakutan, ujar Maysaroh, barulah ada kapal ferry datang mengangkut warga untuk mengungsi ke Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lamoung Selatan.

“Semua orang berebut untuk naik duluan ke kapal karena kami semua ingin selamat,” tuturnya lagi.

Seluruh warga selamat. Hidup di pengungsian yang tidak menentu dan rindu akan kampung halaman mendorong mereka untuk kembali ke huniannya masing-masing.

Kerinduan itu, membuat mereka melupakan semua kesulitan yang menimpa dan akan selalu pulang ke pulau tersebut.

Pemulihan pesisir pantai

Menyadari tempat tinggal mereka rawan bencana, warga Pulau Sebesi berupaya untuk menjaga alam sekitar, terutama mangrove yang bisa mendorong ekosistem laut tumbuh dengan baik dan membantu memecah ombak.

Ketika tsunami menerjang pada 2018 lalu, ekosistem mangrove yang terjaga di dusun 1 dan 2 membantu mencegah kerusakan tidak separah dusun-dusun lain di pulau itu.

Sekretaris Desa Tejang, Firdaus, menyatakan ada sekitar 6 hektare kawasan mangrove yang tengah dalam proses konservasi.

“Beberapa area harus dilakukan penanaman ulang karena mengalami kerusakan akibat tumpahnya minyak dari kapal tanker,” kata Firdaus.

Desa Tejang mendapat bantuan dari PLN Nusantara Power UPK Tarahan dan Mitra Bentala — LSM yang fokus pada isu lingkungan di pesisir dan pulau terpencil — melakukan penanaman pohon mangrove sejak tahun 2020.

“Konservasi mangrove ini begitu menjanjikan di sini, selain me-recovery mangrove yang rusak, kami juga mencoba membangun kembali wisata yang sempat sepi setelah dilanda tsunami dan Covid-19,” kata Rezki Anggoro, Manajer Keuangan dan Umum PLN Nusantara Power UPK Tarahan.

Untuk membantu meramaikan kembali wisata ke Pulau Sebesi pasca-pandemi, mereka membangun beberapa area tracking sepanjang 60 sampai 100 meter di kawasan konservasi mangrove tersebut.

“Wisata pinggir pantai menjadi trending. Apa yang kami lakukan adalah bagian dari isu global dalam penyelamatan pesisir, terutama dalam hal perubahan iklim,” kata Rizani.

About the writer

Eni Muslihah

Eni Muslihah is a freelance journalist who has been reporting news from Lampung Province since 2010. Currently she's a regular contributor for PortallNews Lampung after writing for Kompas.com (2010-2019)...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.