Kotim, Gary, dan Ginting terus bertekad menanam mangrove di pesisir Pulau Batam. Tebang timbun ancam pelindung alam mereka dari dampak krisis iklim.

Rembulan Boru Ginting perlahan membersihkan area pembibitan mangrove di Tanjung Piayu, Kota Batam. Ibu rumah tangga satu ini aktif membantu NGO Akar Bhumi Indonesia dalam konservasi mangrove di dekat rumahnya.

Sudah terlalu banyak mangrove yang ditanam Ginting, sampai dirinya tak ingat lagi jumlah bibit mangrove yang tumbuh di tangan wanita satu ini. “Sudah banyaklah, pernah waktu itu saya ikut menanam 25 ribu batang bibit mangrove,” kata wanita yang akrab disapa Ginting itu kepada Mongabay, pertengahan Juli 2023 lalu. 

Ginting bercerita dulunya banyak warga Tanjung Piayu, Kota Batam yang ikut bersama Akar Bhumi menanam mangrove. Namun, belakangan jumlahnya berkurang, salah satu alasannya karena proses penanaman memiliki tantangan. “Tantangannya banyak, mulai dari lumpur, bau limbah, kadang-kadang ada ular juga ketika kita menanam,” kata Ginting.

Bagi Ginting mangrove bukan tumbuhan biasa, mangrove adalah benteng pesisir Pulau Batam. Semua pemahaman itu ia dapatkan setelah ikut bersama Akar Bhumi Indonesia menanam mangrove. “Kalau tidak ada mangrove ini, sudah banjir semua ini Batam,” kata Ginting dengan logat bataknya.

Begitu juga yang dikatakan Gary Smith, pengelola desa wisata Pandang Tak Jemu, Nongsa, Kota Batam. Bersama warga Gary mengubah perkampungan yang berada di pesisir itu yang dulu kumuh menjadi desa wisata. 

Gary menjaga ekosistem mangrove dengan menjadikan kawasan ini sebagai destinasi desa wisata hutan mangrove. Tidak hanya destinasi juga terdapat program edukasi dan juga konservasi hutan mangrove. “Ini upaya  untuk melindungi mangrove di kampung kami,” katanya. 

Di desa wisata yang dikelola Gary juga kerap dilaksanakan acara seremonial penanaman mangrove. Baik oleh pemerintah atau swasta. “Setidaknya ada 7 hektar hutan mangrove di kawasan ini,” kata Gary.

Upaya konservasi hutan mangrove semakin kuat dilaksanakan oleh warga Kampung Tua Bakau Serip. Apalagi krisis iklim seperti gelombang ombak besar, badai, cuaca yang tidak menentu menerpa kampung mereka. “Mangrove pelindung bagi kampung kami,” kata Gary.

Begitu juga upaya yang dilakukan Ahmad Kotim. Pria 35 tahun ini menanam mangrove di sisi selatan Pulau Batam. Ribuan bibit sudah ditanamnya secara sukarela, dirinya juga menjadi mitra Akar Bhumi untuk melakukan penanaman mangrove dari program pemerintah atau swasta. 

Kotim menemukan kenyaman tersendiri ketika bekerja menjaga mangrove dan menanamnya. Awalnya dirinya merupakan seorang karyawan swasta. “Saya merasa nyaman saja menanam mangrove ini,” kata Kotim. 

Sedari kecil orang tua kotim sudah menanamkan rasa peduli lingkungan kepada dirinya. Kotim sering diajak membersihkan lingkungan oleh orang tuanya, seperti sering ikut gotong royong. “Jadi sejak itu sudah tertarik pada lingkungan,” katanya. 

Belakangan dirinya semakin paham upaya manusia sangat diperlukan untuk menyelamatkan lingkungan, salah satunya dengan upaya menanam mangrove. Tidak hanya sekedar untuk menjadi benteng pulau-pulau, tanaman mangrove bagi Kotim juga membuat udara disekitarnya sejuk. “Makanya saya berharap semua kita ini menanam mangrove, satu saja nggak papa, yang penting ikhlas,” katanya. 

Baca juga: Pembabatan mangrove dan masyarakat pesisir yang kian terpinggirkan

Berhadapan dengan kerusakan

Gary, Ginting dan Kotim memahami pentingnya mangrove untuk lingkungan, apalagi pulau-pulau kecil. Terutama dari ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Namun ada yang lebih menakutkan bagi mereka, yaitu kerusakan hutan mangrove untuk pembangunan.

“Disini kita menanam, di tempat lain mangrove di timbun, disitu sulitnya sekarang,” kata Gary. Ia semakin khawatir apalagi hutan mangrove yang dikelolanya bukanlah dibawah perusahaan besar, murni milik masyarakat kampung tua.

Begitu juga yang disampaikan Kotim, lokasi penanaman mangrove yang dilakukannya di pesisir selatan Batam ini bahkan menjadi target lokasi penimbunan. Beberapa waktu lalu kasus penimbunan di kawasan ini sempat muncul ke publik.

Setelah dilakukan advokasi oleh Akar Bhumi, penimbunan mangrove untuk kepentingan pembangunan sekolah tersebut dihentikan. “Miris memang, kalau bisa mereka yang tidak bertanggung jawab itu ditangkap saja, kita sudah berupaya menanam, tetapi dengan melanggar aturan mereka seenaknya menimbun,” kata kotim. 

“Kenapa tidak miris, disini kita tanam, disana ditimbun,” sambung Ginting. Ginting tidak hanya melihat mangrove dirusak dengan cara ditimbun di Kota Batam. Tetapi juga ditebang untuk dijadikan arang dan dijual ke luar negeri. “Memang itu cari duit, tetapi kan masih banyak pekerjaan lain,” tegasnya.

Data kerusakan hutan mangrove di Batam

Dalam liputan jurnalisme data Mongabay belum lama ini, hasil pemantauan satelit hutan mangrove di Pulau utama Batam terus berkurang. Tahun 1990 hutan mangrove di Batam hampir 6000 hektar. Namun, saat ini hanya tersisa 2000 hektar lebih.

Dari data Nusantara Atlas tersebut dijelaskan beberapa faktor penyebab hilangnya tutupan hutan, mulai dari deforestasi, reklamasi, hingga pembangunan waduk.

Data itu sejalan dengan temuan Akar Bhumi Indonesia — NGO yang fokus edukasi, advokasi dan rehabilitasi lingkungan hidup — pada dua tahun belakang tim mereka setidaknya melaporkan 22 kerusakan lingkungan yang terjadi di Kota Batam. Sebagian besar dari kerusakan itu merupakan kerusakan hutan mangrove.

“Jadi ancaman kerusakan mangrove disini banyak, mulai dari reklamasi, pembangunan, tambak udang, dan lainnya,” kata Founder Akar Bhumi Indonesia Hendrik Hermawan, belum lama ini.

Hendrik juga menjelaskan, modus pelaku memang kucing-kucingan. Setelah dilaporkan pekerjaan berhenti. Tetapi setelah itu jalan kembali. “Ini sering terjadi, modusnya selalu seperti itu, tetapi kita tidak akan bosan untuk mengawal ini,” kata Hendrik saat meninjau perusakan hutan mangrove di Piayu Laut. 


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship dengan tema ‘Adaptasi, Mitigasi, dan Resiliensi Masyarakat Pesisir menghadapi Krisis Iklim’ yang diadakan oleh Ekuatorial dan didukung oleh Society of Indonesian Environmental Journalists dan EcoNusa. Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 7 September dan 7 Oktober 2023.

About the writer

Yogi Eka Sahputra

Yogi Eka Sahputra is a journalist who recently focused on climate change, women, and coastal communities. His journey as a journalist began in college, where he was active in the Suara Kampus Student Press...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.