Saat ini tantangan orang muda adat Papua bukan hanya soal sumber daya alam yang dikuras, tetapi juga mempertahankan budaya yang terancam.

Menjadi orang muda adat adalah keistimewaan. Anak adat memiliki jati diri yang berbeda–dengan kekhususannya yang berbasis pada identitas, wilayah adat dan seluruh kekayaannya, serta praktik kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun dan berkelanjutan.

“Itu sebabnya, anak muda adat adalah mediator; penghubung lintas zaman dan generasi, termasuk dengan dunia luar,” demikian awal tulisan Samuel Moifilit dan Budiarti Putri yang dikutip dari laman Greenpeace Indonesia.

Tulisan ini menceritakan Tresya Imelda Yoshua, pegiat di Suara Grina, komunitas jurnalisme warga di Papua, dan Robert Meanggi, anak muda adat dari suku Awyu yang berkisah tentang gerakan melawan sejumlah perusahaan sawit di Boven Digoel. Berikut ini tulisan lengkap Samuel Moifilit dan Budiarti Putri:

Bagi Tresya Imelda Yoshua, bergabung dengan Suara Grime Nawa atau Suara Grina membuka matanya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat suku Namblong di tempat asalnya di Lembah Grime Nawa, Jayapura, Papua. Tresya bergabung dengan Suara Grina pada Januari 2023, saat komunitas jurnalisme warga itu membuat perekrutan anggota baru.

“Banyak hal yang awalnya saya tidak tahu, saya jadi tahu setelah bergabung dengan Suara Grina dan mengikuti pelatihan,” kata Tresya, anak muda adat dari suku Namblong.

Suara Grina terbentuk sejak 2019, di tengah-tengah perjuangan masyarakat adat suku Namblong melawan perusahaan sawit PT Permata Nusa Mandiri yang hendak beroperasi di Lembah Grime Nawa. Belakangan, Suara Grina juga memuat cerita tentang budaya masyarakat adat suku Namblong, serta keanekaragaman hayati di Lembah Grime Nawa yang akan rusak jika perusahaan sawit beroperasi.

Tresya dan kawan-kawannya bahkan menginisiasi sekolah budaya untuk anak-anak muda Namblong. Mereka meminta para mama untuk mengajarkan bahasa lokal dan tari-tarian adat Namblong, menganyam noken, dan sebagainya.

“Saat ini tantangan orang muda Papua bukan hanya soal sumber daya alam kami yang dikuras, akan tetapi juga ancaman serius yang kami generasi muda hadapi adalah mempertahankan budaya. Bagaimana kami tidak kehilangan tanah dan hutan, karena itu juga identitas kami masyarakat adat,” kata Tresya.

Tresya merupakan salah satu peserta Forest Defender Camp yang digelar pada 20-23 September 2023 di Kampung Manggroholo-Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan. Ia bergabung dengan lebih dari 100 anak muda adat yang datang dari sejumlah daerah di Tanah Papua.

Dalam Forest Defender Camp, onak muda adat berbagi cerita tentang masalah yang dihadapi masyarakat adat di Tanah Papua, termasuk perampasan hutan dan tanah adat yang terus terjadi.

orang adat papua
Warga Papua dari suku Tenit berdiri di depan pohon Merbau besar di hutan. (Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace)

Orang muda adat dari suku Awyu

Selain Tresya, ada Robert Meanggi, orang muda adat dari suku Awyu, yang berkisah tentang gerakan melawan sejumlah perusahaan sawit di Boven Digoel. Masyarakat adat suku Awyu berjuang dengan pelbagai cara, salah satunya dengan menggugat izin lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. Putusan pengadilan pada 2 November 2023 menolak gugatan yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, tersebut. Namun, suku Awyu tak menyerah. Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi, setelah pengadilan tingkat pertama tak berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua.

Robert Meanggi berasal dari Kampung Anggai, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel. Setelah lulus SMK pada 2014, ia sempat bekerja di perusahaan sawit PT MJR. Tatkala itulah Robert melihat langsung masalah-masalah yang dihadapi para buruh perkebunan sawit, termasuk para perempuan lanjut usia yang menjadi buruh kasar.

Misalnya, para mama tersebut hanya diupah 25 hari kerja, padahal mereka bekerja selama 30 atau 31 hari saban bulan. Mereka juga tak dibekali dengan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan untuk memegang pupuk kimia.

“Pada saat beristirahat untuk makan siang, biasanya mereka sudah tidak lagi mencuci tangan karena air yang ada di sekitar lokasi kerja sudah tercemar akibat pembongkaran lahan untuk perkebunan sawit itu,” kata Robert.

Gelisah dengan situasi tersebut, Robert berdiskusi dengan mandor di tempatnya bekerja. Para buruh lantas mengajukan proposal pengadaan peralatan kerja yang akhirnya disetujui perusahaan.

Kendati begitu, Robert masih melihat adanya pelanggaran hak-hak buruh kebun sawit ketika dia dipindahkan ke divisi lain. Robert pun memutuskan untuk keluar dari perusahaan sawit tersebut.

“Saya berpikir bagaimana bisa membangun kampung jika terus bekerja di perusahaan sawit itu. Jadi saya putuskan keluar untuk mencari ilmu, agar saya bisa mendampingi masyarakat adat dan buruh menghadapi persoalan yang mereka alami,” ujarnya.

Robert kemudian berkuliah di Universitas Musamus Merauke. Sembari kuliah, ia banyak belajar tentang hak-hak masyarakat adat dan lingkungan, serta terlibat dalam advokasi masyarakat adat bersama organisasi masyarakat sipil Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Pilihan itu bukannya tanpa bahaya. Menurut Robert, setiap kembali ke kampung, ia kerap dicap sebagai provokator oleh pihak perusahaan. Namun, Robert tak menyerah dan tetap membagikan cerita tentang apa yang dialami suku Awyu kepada orang-orang yang ia jumpai.

Di Forest Defender Camp, Robert berharap anak muda adat bersatu dalam perjuangan masyarakat adat di Tanah Papua. Ia berujar, persoalan masyarakat adat dari Sorong hingga Merauke adalah masalah yang harus mereka hadapi bersama.

“Jika ada persoalan jangan hanya diam dan diam, tapi mari orang muda harus bisa berada di garis depan untuk melihat persoalan-persoalan hak masyarakat adat dan lingkungan. Siapa lagi kalau bukan sa (saya), ko (kamu), dan kita semua? Kapan lagi kalau bukan sekarang? Mari kita sama-sama bergandengan tangan selamatkan manusia, tanah dan hutan  Papua, untuk keberlangsungan hidup orang banyak di muka Bumi ini. Ujung tombak dan masa depan masyarakat adat Papua berada pada kita sebagai orang muda Papua,” kata Robert.

Anak muda adat yang mengikuti Forest Defender Camp juga menyampaikan tujuh seruan penyelamatan hutan Papua dan pengakuan masyarakat adat kepada pemerintah Indonesia. Salah satu poin tuntutan yakni mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang berpihak kepada masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat penting sebagai penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat, baik itu hak atas tanah, budaya, dan sumber daya alamnya. Pelindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat pun harus berasaskan partisipasi, keadilan, kesetaraan, transparansi, hak asasi manusia, serta kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup,” kata Tresya Imelda Yoshua.

*Cerita ini ditulis oleh Samuel Moifilit dan Budiarti Putri. Samuel adalah tim komunikasi kampanye hutan Greenpeace Indonesia yang berbasis di Sorong, Papua Barat Daya. Ia anak adat suku Moi dari Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan Putri merupakan juru kampanye komunikasi Greenpeace Indonesia di Jakarta.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.